Tak terasa seminggu telah berlalu, luka-luka di kaki dan tangan juga kini sudah mengering, dan tidak terasa sakit. Tidak seperti beberapa hari yang lalu.
Hanya beberapa memar yang masih sedikit nampak, tapi tak mengapa. Bagi Gendhis kecantikan bukan hal yang ia elu-elukan seperti kebanyakan dari wanita.
Gendhis kini sudah mulai sedikit akrab di lingkungan para santri. Bahkan tak jarang ia mengikuti kegiatan para santriwati, seperti menghadiri acara mengaji dan sholat berjamaah di mushola area pondok pesantren khusus putri.
Ponpes yang memiliki jumlah santri dua puluhan santri berbeda usia. Kata Siti, ponpes ini baru berdiri empat tahun lalu. Namun, sudah dikenal banyak orang dari berbagai daerah, sebab itulah hampir setiap minggunya akan kedatangan santri-santri baru.
Dan kemungkinan akan menambah jumlah bilik kamar. Seperti yang sedang dikerjakan Pak Sarmian selaku pengurus pondok dan beberapa tukang bangunan dalam membangun pondasi untuk membangun rumah gedhek.
Setelah kemarin sempat di ajarkan untuk membuat ilir, atau biasanya disebut kipas dari anyaman bambu. Kali ini Gendhis di ajak oleh Maemunah dan Siti untuk menanam bibit jagung di ladang samping kanan Ponpes. Sebenarnya bukan hanya ada Siti dan Maemunah.
Ada juga Sifa dan beberapa santri yang tidak melanjutkan sekolah sedang melakukan kegiatan di pagi hari ini.
Karena ponpes santriwati ini, menerapkan konsep alam dan lingkungan serta membangun kreatifitas para santri, sebab itulah selain kegiatan mengaji dan menjadi Tahfiz Qur'an. Ada kreativitas yang dikerjakan.
Hal-hal semacam ini, membuat Gendhis lebih bersemangat.
Saat sedang berjalan ada seorang santri yang sepertinya sengaja menyenggol Gendhis dari arah belakang, membuat Gendhis terjatuh di kubangan air setelah semalam di guyur hujan.
"Astaghfirullah." nyaring Gendhis bersuara menggemakan istighfar karena terkejut, baju yang diberikan Siti kotor berlumuran tanah berlumpur dan rerumputan liar.
Mendengar seruan Gendhis, membuat Siti yang berjalan lebih dahulu kembali menoleh kebelakang, ia segera berlari kecil menghampiri Gendhis yang sedang terjatuh di kubangkan air berwarna kecokelatan, "Astaghfirullah Gendhis!"
Maemunah menghampiri Laras, seorang santri yang telah menyenggol Gendhis, "Hey Laras, kamu itu kenapa? Tidak bisakah jangan mencari keributan, hah?"
Laras membusungkan dada, tidak terima mendengar suara lantang Maemunah, dilemparnya cangkul kesembarang arah sampai terjatuh ke tanah merah, "Siapa yang kamu kata cari keributan?"
Maemunah melotot sembari menunjuk bahu Laras.
"Ya kamu! Siapa lagi? Kamu sengaja kan lewat terus nyenggol Gendhis supaya jatuh di kubangan air!" berang Maemunah emosi.
Laras melihat Gendhis yang sudah kembali berdiri dengan dibantu Siti, sedetik kemudian, Laras kembali menatap lawan bicaranya, "Dia aja yang jalannya pincang, sok lemah, sok manis. Biar orang-orang di sini kasihan sama si Gendhis ini!"
"Laras, jaga bicaramu! Kalau kamu terluka kakinya, masih bisakah kamu berjalan dengan langkah yang benar?" seru Siti tajam melihat Laras.
"Aku tidak asal bicara, tapi memang dia ini buruk rupa. Dan jalannya saja pincang. Itu kenyataannya Siti! Sadarkah kalian, si Gendhis ini sedang mencari simpati kita!" Laras semakin nyaring mengata-ngatai Gendhis.
"Wah ni bocah jaluk gelut!" Maemunah menghampiri Laras lantas ditariknya kerudung yang dipakai Laras.
Laras tidak tinggal diam, ia juga membalas perbuatan Maemunah. "Awas kamu ya Mae, bukan hanya kerudung mu yang ta copot, rambut mu juga bakal ta gundul!"
Tentu saja semua santriwati yang akan melakukan kegiatan menanam jagung, berlarian mendekati Maemunah dan Laras. Mereka melerai pertikaian antara Laras dan Maemunah yang semakin menjadi-jadi.
Begitu pula dengan Gendhis dan Siti.
Dibiarkan tubuhnya yang kotor dan basah, Gendhis menarik lengan Maemunah.
Sedangkan Sifa pergi entah kemana, ia tidak perduli dan tidak ingin terlibat.
"Maemunah!" seru Siti memanggil Maemunah yang terlihat amat sangat ngotot menarik baju dan kerudung Laras.
"Laras!" seru Rumi mencoba menarik Laras yang terlihat ngotot membalas cengkeraman tangan Maemunah.
"Maemunah sudahlah Mae!" kata Danis memisahkan Maemunah.
Seorang teman dari Laras yang bernama Sekar juga melerai pertikaian antara Laras dan Maemunah, "Laras ojo koyo ngene toh Ras!"
"Aku ndak akan melepaskan mu, Laras!" nyaring Maemunah saling adu kekuatan tangan, mana yang lebih unggul antara tangannya dan tangan Laras.
Laras berang, dan semakin mengeluarkan tenaganya untuk menarik paksa kerudung Maemunah, "Memangnya cuma kamu yang bisa menarik kerudung dan mencambak rambut! Bahkan aku juga bisa membuat rambutmu gundul Mae!"
"Awas kamu ya Ras!" berang Maemunah.
"Apa kamu Mae! Aku ndak takut sama anak haram seperti mu!" maki Laras sangat-sangat tersulut emosi.
"Jangan lagi kamu sebut aku anak haram! Tahu apa kamu tentang hidup ku, Laras! Bahkan kamu pun tidak lebih baik dariku!" teriak Maemunah garang.
"Sudahlah Maemunah! Jangan dengarkan ucapan pedas Laras, lepaskan saja dia!" seru Ica melerai pertikaian Maemunah dan Laras.
"Maemunah, jangan seperti ini. Jangan berantem, Laras tidak sengaja menyenggol ku!" kata Gendhis menarik lengan Maemunah.
Maemunah tidak mengindahkan ucapan Gendhis, "Tidak! Gendhis ini bukan karena mu, aku sudah dendam kesumat sama Laras! Dia selalu menghina ku tapi aku tetap diam!"
"Laras sudahlah, Ras!" seru Kia.
Saling tarik menarik berteganggan tinggi seperti plastik yang tersulut kobaran api kian lengket dan panas dalam pertikaian dan penarikan pakaian dan kerudung di antara Maemunah yang memang sudah dendam kesumat terhadap Laras yang menurut Maemunah selalu menghinanya.
Dan Laras yang memang membenci Maemunah. Ia mengira ada hubungan gelap antara Sulastri nama dari Ibunya Maemunah dan Bapaknya Laras yang bernama Rukimin.
"Dasar anak haram, Ibu kamu itu seorang wanita murahan. Dan kamu pun sama, makanya berteman sama wanita murahan juga macam Gendhis!" lantang Laras.
Gendhis terperangah mendengar namanya disebut oleh Laras. Bahkan di sangka bahwa dirinya adalah wanita murahan.
Tak ingin tinggal diam Gendhis meradang, "Laras jangan sembarangan kalau bicara? Aku tidak seperti yang kamu tuduhkan!"
"Halah wanita murahan ya tetap saja murahan!" dengan lantangnya Laras bersuara.
"Tuhkan kamu tahu sendiri Gendhis, nih mulutnya si cacing kremi harus di sambal setan biar kapok!" teriak Maemunah lantang.
"Ya sesama wanita murahan saling membela, itu bagus!" seru Laras, menatap nyalang Maemunah dan Gendhis.
"Astaghfirullah, Laras!" seru Gendhis meradang.
"Kamu kan kabur dari rumah karena takut di jual ke rumah bordil padahal kamu sendiri wanita murahan, makanya merengek minta tolong ke Mas Luthfi, sok-sokan pingsan di pinggir jalan hutan karet kan alasan kamu saja, Ndhis!" kata Laras masih tidak melunakkan suaranya.
Gendhis melepaskan cengkraman tangannya di lengan Maemunah, ia mundur menjauhkan diri dari Maemunah dan Laras yang terus saja saling tarik menarik berteganggan tinggi.
Gendhis lari menjauhi keributan, ia lari sekencang-kencangnya. Tak perduli sandal jepitnya terlepas dan menyebabkan jahitan di kakinya terkoyak.
Antara Maemunah dan Laras, keduanya nyaring memaki satu sama lain.
Setelah berhasil melepas kerudung yang dipakai Laras, Maemunah mencambak rambut Laras.
Begitu pula sebaliknya dengan Laras, ia mencambak dengan sangat kuat membersamai dengan makian-makian pedasnya terhadap Maemunah.
Saat kehebohan sedang terjadi, ternyata seorang santri mengadu kepada Ustadzah Rahma dan Ustazah Fadillah serta kepada Umi Salma.
"Ada apa ini?" nyaring Ustadzah Rahma, guru ngaji yang terkenal akan ketegasannya dalam mendidik santriwati.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Arif Sunoe
Gendhis jangan lari kabur sari pondok Ndis.....bahaya
2022-11-11
0
R.F
semangat kk
2022-11-11
1