Bab 4

Gendhis; dalam bahasa Jawa berarti gula atau bisa juga dimaknai anak perempuan yang manis.

Apsarini; memiliki arti cantik seperti bidadari.

Pramesti; berasal dari bahasa sansekerta yang bermakna dewi, atau permaisuri yang baik hati.

Gendhis berpikir, dari makna-makna yang terkandung dalam namanya merupakan anugrah terindah yang diberikan oleh almarhum kedua orangtuanya.

Dan semoga kelak, bisa menjadi anugerah terindah dalam kehidupan yang dilaluinya. Itulah secercah harapan yang Gendhis masih jaga sampai detik ini.

Guratan langit senja mulai melabur di angkasa raya. Rutinitas kala senja, Gendhis mengisi spirtus ke dalam wadah lampu petromaks, lantas menyalakan sumbu-sumbu lampu petromaks, guna menerangi teras depan rumah.

Memang pemakaian sumberdaya listrik sudah menjamah di berbagai daerah di desa-desa dan pemukiman penduduk di awal tahun sembilan puluhan ini. Kendati demikian, Bibi Jaitun masih takut, atau lebih tepatnya wanita kikir itu enggan mengeluarkan dana lebih hanya untuk menggunakan sistem operasi kelistrikan. Itulah sebabnya, lampu petromaks dan lampu teplok berbahan dasar spirtus dan minyak tanah yang menjadi penerang di kala malam telah tiba.

Adapun elektronik yang digunakan di dalam rumah Bibi Jaitun, hanyalah sebuah radio bersumber daya batu baterai.

Sedangkan tv tabung ukuran 14 Inc yang sedang trend di tahun ini hanya di miliki oleh juragan, atau orang-orang yang memiliki banyak uang untuk membelinya, itupun yang menontonnya sampai satu kampung berkumpul di depan rumah sang orang kaya, dan di pungut biaya 5 perak persatu kali menonton televisi tabung 14 Inc.

Gendhis menerawangkan pandangannya menatap langit yang sudah berwarna gelap, jangankan untuk menonton televisi, di izinkan untuk mendengar siaran radio pun tidak. Gendhis menghela nafas panjang.

“Sampai kapankah, aku bisa terbebas dari sini?” gumamnya lirih.

Bibi Jaitun dan Winarsih keluar dari dalam rumah, suara garang Bibi Jaitun membuyarkan lamunan Gendhis.

“Heh Gendhis, aku mau kondangan, jangan kemana-mana. Awas kalau kamu sampai keluar rumah kaya tempo hari, beneran ta gundul rambutmu itu!” kata Bibi Jaitun memperingati Gendhis.

Gendhis menatap kepergian Winarsih dan Bibi Jaitun yang memakai pakaian kebaya, dengan tatapan tajam, "Suatu saat aku pasti akan terbebas dari sini, kemudian kalian akan tahu seperti apa Gendhis Apsarini Pramesti ini!"

Peringatan Bibi Jaitun, bukan tanpa sebab. Gendhis masih ingat satu bulan lalu. Saat Bibi, Pamannya dan Winarsih sedang pergi menonton pertunjukan wayang di desa sebelah. Ia sembunyi-sembunyi menemui temannya. Yang bernama Guntur, untuk meminjam buku catatan sekolah milik Guntur.

Setidaknya, Gendhis masih bersyukur karena masih mempunyai teman yang perduli dan mau berbagi buku catatan sekolah kepadanya. Sehingga Gendhis dapat belajar membaca dan menulis. Namun, pertemuannya dengan Guntur menjadikan Gendhis mendapat pukulan dan sabetan dari kedua orang sangar itu.

Setelah menunaikan sholat di keremangan cahaya dari lampu teplok berbahan dasar minyak tanah.

Saat seperti inilah, Gendhis dapat bernafas lega. Setidaknya tidak ada orang di rumah ia bisa sejenak bersantai namun dengan buku dan pensil yang ada di tangannya, dengan pencahayaan remang kekuningan dari cahaya pelita.

[Pelita merupakan salah satu alat penerangan ruangan yang menggunakan minyak tanah, getah tumbuhan atau lemak hewan sebagai sumber energinya. Alat penerangan.]

Meskipun tidak mempunyai kesempatan untuk mengurus diri dan mengenyam pendidikan. Karena Bibi Jaitun sangat tidak manusiawi terhadapnya. Sama halnya seperti di era penjajahan Jepang 3,5 tahun menjajah bumi Nusantara.

Kendati hanya tiga setengah tahun, tapi bagi rakyat Indonesia sudah seperti tiga abad lamanya.

Karena Bibi Jaitun selalu berkata kepada Gendhis, saat Gendhis baru di asuh Bibi Jaitun. Kala itu Gendhis ingin melanjutkan sekolahnya di kelas 2 SD. *“Cah wedok kui ra sah sekolah! Wong penggaweane gor masak! Ngurusi anak! Lan ngeloni bojo!

* [Anak perempuan itu gak usah sekolah! Orang kerjaannya Cuma masak! Ngurusi anak! Dan melayani suami!]

Bukan hanya melarang Gendhis agar tidak bersekolah, Bibi Jaitun juga membakar buku-buku pelajaran Gendhis, termasuk beberapa catatan sejarah yang di tulis oleh Romo Gandhi. Salah satu buku yang dapat Gendhis sembunyikan iyalah, karya dari. [ Raden Ajeng Kartini berjudul Habis gelap terbitlah terang. Kumpulan surat-surat Kartini yang kemudian dibukukan pertama kali diterbitkan pada 1911.]

Akan tetapi, Gendhis ingin mematahkan anggapan Bibi Jaitun, ia percaya sepenuhnya terhadap setiap surat-surat yang di tulis oleh RA Kartini, bahwasannya ada sebuah keyakinan. Habis gelap terbitlah terang!

Gendhis selalu belajar membaca dan menulis buku secara mandiri juga keterbatasan waktu, ia selalu sembunyi-sembunyi kendatipun secara otodidak Gendhis tetap harus semangat, demi bisa mewujudkan impian. Guna memperluas batas cakrawalanya jika suatu saat bisa terbebas dari jeratan Bibi Jaitun. Setidaknya Gendhis sudah punya pedoman kemana ia akan melangkah, setidaknya ia tidak buta huruf di era ini.

Saat tengah membaca dan menyalin tulisan di dalam buku catatan yang di berikan Guntur. Samar-samar suara yang tidak asing membuyarkan konsentrasi belajar Gendhis. Ia memang di tempatkan dalam kamar di pojokan dapur. Persisnya samping tungku perapian dan rak piring yang terbuat dari kayu.

“Jaitun!”

“Winarsih!”

“Jaitun!”

Suara dari Paman Martana semakin lama semakin terdengar keras sampai ke bagian belakang.

“Winarsih!”

“Jaitun!”

Gendgis pun meletakkan buku dan pensilnya di tas yang terbuat dari anyaman jerami. Lalu menyembunyikannya di bagian bawah tikar yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang ia anyam sendiri. Gendhis heran, mengapa Paman Martana bisa keluar dari jeratan juragan Buyan yang terkenal kejam.

“Jaitun! Winarsih!” lagi, Paman Martana mencari istri dan anaknya yang tidak menyaut-nyaut panggilannya sampai ke dapur. Dalam minimnya penerangan, pria berusia empat puluh empat tahun ini celingukan.

“Pada kemana sih ini, tidak Jaitun! tidak Winarsih!” kata Paman Martana kesal. Ia pun teringat dengan keponakannya, “Gendhis!”

“Gendhis!!!” lagi Paman Martana memanggil Gendhis bernada suara tinggi.

Mendengar namanya di panggil, cepat-cepat Gendhis keluar dari kamarnya yang hanya berdindingkan anyaman bambu yang di apit. “Bibi sama Winarsih lagi keluar Paman.”

Paman Martana berkacak pinggang.

“Kenapa tidak nyaut-nyaut dari tadi! Tidur kamu yah?! Saya kasih makan anak orang cuma buat tidur-tiduran!” bentak Paman Martana, menatap Gendhis dalam keremangan cahaya lampu teplok di dinding pager dapur.

Gendhis menunduk, “Maaf Paman!”

“Alahh... Maaf! Maaf!” berangnya, masih dengan suara keras. Paman Martana pun melihat Gendhis dari ujung kaki yang tak beralas sampai ujung kepala dari jarak dua meter. Kemudian muncul suatu firasat gairah, setelah berhari-hari di kurung oleh juragan Buyan akibat kalah judi sabung ayam.

"Hem.. enak kali yah, dia masih perawan? Yah walaupun gak terlalu cantik, tapi yang penting si otong puas! Toh gak ada orang juga di rumah." Monolognya, menahan hasrat seksuall.

Paman Martana mulai berjalan mendekati Gendhis, “Sini kamu!”

Gendhis terkejut terhadap cekalan tangan Paman Martana di lengannya, seketika rasa takut menjalari dirinya.

“Paman! Paman mau ngapain? Paman!” teriak Gendhis sambil memukul-mukul lengan besar Paman Martana.

***

Bersambung

Terpopuler

Comments

Endang Purwati

Endang Purwati

aduuuuuhhh, jgn di apa2 in gendhismyaaa

2022-11-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!