"Begini Umi, inikan pendapat Sifa yah,” Sifa menghela nafas lantas menatap dari samping Umi Salma yang masih fokus sambil mengusap lembut wajah asing yang masih belum juga sadar.
“Umi Salma, apa Umi tidak takut kalau-kalau wanita yang di temukan Mas Luthfi di pinggir jalanan hutan karet ini orang gila atau semacamnya, lebih-lebih lagi kalau dia ini maling atau apa gitu, kalau menurut Sifa mah, Sifa takut buat nolongin orang yang tidak Sifa kenal” jelas Sifa tanpa putus, sampai-sampai setelahnya ia berbicara terengah-engah lantas menarik dalam dalam-dalam.
Penuturan Sifa pun sependapat dengan Rumi, "Iya Umi, kan pas Mas Luthfi bawa dia ke pesantren juga dalam keadaan yang karut marut. Udah gitu pakaiannya juga kaya model-model wanita jaman dulu yang masih pakai kain jarik sama kemben udah gitu kotor dan basah kuyup,”
Siti berpikir bahwa apa yang diucapkan Sifa dan Rumi masuk akal, ia lantas ikut-ikutan bersuara menurut persepsinya, "Iya juga, pas aku gantiin pakaiannya juga dia tidak pakai pakaian dalam, persis sama kaya wanita dari jaman-jaman kerajaan dulu, yang belum mengenal modernisasi pakaian saat ini."
Umi menghentikan tangannya, beliau mengangkat kepalanya. Netra hitamnya memandang satu persatu dari ketiga muridnya, "Sudahkah kalian berbuat baik terhadap orang lain. Meskipun kita tidak kenal sama sekali sama orang yang kita tolong?"
Sifa dan Rumi terdiam, seakan suaranya hilang begitu saja untuk menjawab penuturan Umi.
"Tapi kan Umi, kan kita sebagai manusia biasa juga harus memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi. Kita kan tidak tau bahaya apa yang nantinya akan menjadi bomerang di masa depan,” jawab Rumi, gadis berusia sembilan belas tahun ini memang pandai mendebat dan menjawab, sekalipun pertanyaannya sulit.
Umi Salma tersenyum lembut, "Ingat kutipan sahabat Nabi, Sayidina Ali bin Abi Thalib?”
Ketiga gadis ini hanya terdiam
"Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain,” sambung Umi Salma, lantas beliau mengusap kembali tangan gadis yang tidak dikenalnya sangat pelan, karena terdapat bekas luka goresan yang cukup dalam. Namun betapa terkejutnya beliau, kala melihat mata dari gadis yang terlihat lemah dan pucat membuka matanya, bahkan sedang menatap Umi Salma.
"Astaghfirullah!” seru Umi Salma hampir terjungkal kebelakang.
"Astaghfirullah!” seru Umi Salma spontan berdiri sehingga membuat Sifa, Rumi dan Siti ikut terkesiap.
"A-ada apa Umi?” Sifa menghampiri Umi, tatapannya mengikuti arah tangan Umi Salma yang menunjuk pada gadis pucat yang tidak diketahui namanya.
Sifa pun ikut terkejut, "Astaghfirullah,”
Begitu juga diikuti Siti dan Rumi yang ikut terkejut namun tidak berkata-kata, keduanya hanya membelalakkan matanya menatap gadis asing itu.
Sesaat kemudian Umi Salma kembali tersadar dari rasa terkejutnya, beliau mendekati ranjang dan memeriksa kening lantas beralih ke pipi gadis yang belum beliau belum tahu namanya. Namun, tiba-tiba saja tangannya di pegang kuat-kuat oleh gadis tersebut.
Meskipun rasa terkejutnya begitu besar, akan tetapi Umi Salma mencoba untuk bersikap tenang dalam kondisi seperti ini. Umi Salma menatap dalamnya manik mata gadis itu yang terlihat sangat ketakutan, "Tenanglah nduk, kamu jangan takut,”
"Bibi Jaitun mana, Bibi dimana? Ja-jangan-jangan sampai Bibi jahat itu menemukanku, atau kalau tidak aku bakal di jual di rumah bordil, aku tidak mau, aku tidak mau!” gadis ini membuang begitu saja genggaman erat tangan wanita seumuran bibinya. Dengan histeris dan penuh rasa takut serta tubuh yang menggetar gadis ini lantas menarik diri serta menjauhkan dirinya dari keempat orang yang tidak dikenalnya.
Umi Salma menoleh ke arah Siti, "Siti tolong kamu ambilkan air minum, nak.” sesaat kemudian Umi Salma mengalihkan atensinya menatap Rumi, "Rumi, tolong kamu minta ustadzah Dila, bilang ke ustadzah tolong telpon dokter Farah,"
Siti mengangguk lantas bergegas ke dapur untuk mengambil air.
Rumi pun menyusul Siti, "Siti tungguin aku, aku ikut."
Umi Salma kembali menatap dengan tatapan sedih, gadis itu terus mundur sampai di sudut ranjang. Lalu beliau mencoba untuk membujuk agar gadis yang tidak dikenalnya itu tenang. "Tenang nduk tenang, ini saya Umi Salma,”
"Enggak Bi, Gendhis tidak mau jadi gundik Bi, Gendhis tidak mau, Gendhis mohon Bi, Gendhis mohon!” memohon dengan suara sesak, gadis yang menyebut dirinya Gendhis mengatupkan kedua tangannya dihadapan wanita asing. Air mata mengucur deras, tarikan nafasnya tersengal-sengal.
Sifa bingung harus berbuat apa, ia hanya bisa melihat dengan perasaan ngilu kepada gadis yang menyebut namanya Gendhis.
Umi tidak ingin menyerah, dengan kelembutan hatinya untuk mencoba lagi menenangkan gadis itu. Tanpa sadar air matanya menetes melihat gadis yang terlihat sangat terpuruk.
"Namamu Gendhis, iyah?” bujuk Umi Salma bersuara sangat lembut. Namun sepertinya gadis itu tidak bergeming dengan ucapannya. Umi Salma mengangkat tangannya hendak mengusap kepala gadis yang menyebut namanya Gendhis, akan tetapi gadis itu menepis tangan Umi Salma.
"Jangan sentuh aku!" sentak Gendhis bersuara gemetar.
Umi Salma menghela nafas panjang, kedua sudut bibirnya menarik senyuman kecil, "Jangan takut, disini kamu aman nak, anak Umi menemukan kamu pingsan di pinggir jalanan hutan karet, kamu sekarang ini sedang berada di pesantren,”
Gendhis menatap kedua mata asing yang sama sekali tidak ia kenal. Seketika itu pula Gendhis teringat akan pelariannya, dari mulai ia mendapat perlakuan buruk dari Bibi Jaitun, dan betapa bejadnya paman Martana. Sampai ia merasa lelah dan pingsan di pinggir jalanan hutan karet yang sepi dan sunyi malam lalu. Air mata kembali tumpah ruah tak terbendung mengenang betapa kejamnya dunia. Entah perasaan sedih atau rasa syukur bisa keluar dari rumah Bibinya yang persis seperti lingkaran setan.
Tiada daya dan upaya yang bisa Gendhis lakukan seorang diri, seorang anak yatim-piatu yang diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh keluarga orangtuanya. Gendhis memeluk dirinya sendiri sambil menangis sesenggukan, lantas tangannya mengayun hendak mengusap kepalanya akan tetapi ada kejanggalan, bukan rambut yang ia dapati, tapi sebuah kain yang menutupi rambutnya. Tangannya terus menurun dan meraba pundaknya, Gendhis melihat ke kanan dan kiri pundaknya. Betul-betul bukan seperti Gendhis yang tinggal di rumah Bibi kejam itu.
Umi Salma melihat Gendhis dalam keadaan bingung, beliau lantas mendekati gadis itu sesaat kemudian beliau memeluk Gendhis, seolah-olah bisa merasakan betapa terpuruknya gadis yang di tolong anaknya empat hari lalu, "Kamu baik-baik saja sekarang, jangan khawatir.”
Gendhis terkejut namun ada perasaan hangat seperti dipeluk oleh seorang Ibu. Yah memang sudah sangat lama Gendhis tidak lagi merasakan kehangatan dan kelembutan sentuhan tangan dari seorang Ibu.
"Gendhis benar-benar rindu, Gendhis benar-benar ingin menyusul Ibu dan Romo. Dunia ini sangat kejam, Ibu, Romo." dalam hati Gendhis meratap merindukan sosok kedua orangtuanya.
• •
Selama berada di perjalanan ke dapur untuk mengambil air, Siti maupun Rumi tak henti-hentinya membicarakan tentang gadis asing itu.
"Aku padahal penasaran sama perempuan itu, Rum,” Siti tak henti-hentinya meracau tidak karuan sampai-sampai ia menjadi pusat perhatian dari beberapa santri yang sedang berlalu lalang di koridor pesantren khusus perempuan.
"Ih sama aku juga Ti, aku penasaran siapa namanya dan darimana asalnya,” balas Rumi tidak kalah heboh dari Siti.
"Rumi, Siti.” panggilan dari salah satu santri menghentikan langkah kaki Keduanya.
"Apa An,” jawab Siti menatap Ana.
"Tadi aku denger kamu membicarakan perempuan yang pingsan itu yah?” jawab Ana.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments