Di tengah malam, Gendhis tidak bisa tertidur, matanya tidak bisa terpejam. Bahkan ingin sekali rasanya ia bisa bangun dan segera pergi dari tempat asing ini.
Namun apalah daya, tenaganya memang sangat lemah. Beberapa kali ia mencoba untuk mengangkat tangannya namun selalu gagal. Gendhis heran mengapa berbeda pada saat ia baru tersadar dari pingsannya.
"Kenapa aku ini?" monolognya dalam hati, "ayolah Gendhis bangun!" bahkan bibirnya sulit untuk ia gerakan.
Pada akhirnya karena masa percobaannya selalu gagal untuk menggerakkan bagian anggota tubuhnya. Gendhis memperhatikan seisi kamar, dalam keremangan cahaya dari lampu tidur.
Ia bisa melihat ada enam lemari pakaian di sisi sebelah kiri ranjang dan ada enam ranjang berukuran cukup untuk satu orang, masing-masing sisi kanan ranjang ada sebuah meja kecil, dan satu diantaranya adalah ranjang kosong.
"Disini sudah dialiri listrik.” gumam Gendhis dalam hati. Ia memperhatikan satu-persatu gadis yang tengah tertidur pulas. Gendhis mengingat nama-nama dari santriwati yang ada di kamar ini.
Tepat di sebelahnya adalah ranjang Sifa, gadis yang mempunyai tutur kata pedas. Namun Gendhis tidak tersinggung, karena memang dirinya adalah orang asing. Bahkan ia tidak menyangka pelariannya sampai masuk kedalam lingkungan pesantren. Dan juga Gendhis tidak pernah membayangkan sebelumnya seperti apa itu hidup di lingkungan pesantren.
Yang ada dalam pikiran dan tekadnya, hanyalah bisa keluar dari rumah Bibi Jaitun adalah merupakan suatu keajaiban. Karena sudah terhitung banyak sekali cara yang dilakukannya untuk bisa kabur, tapi hasilnya nihil. Gendhis selalu gagal untuk kabur, dan pada akhirnya harus menerima kenyataan pahit. Pukulan dan sabetan dari akar rotan lah yang ia terima.
Lamanya Gendhis merenung, ia merasa kejanggalan, "Sebentar?” ia berpikir lagi dan mencoba mengingat apa yang di katakan Umi Salma.
"Siapa yang menolong dan membawaku kesini? Kalau nggak salah dengar, wanita menyebut dirinya Umi Salma, orang yang membawaku kesini adalah anaknya?” Gendhis mengingat kembali, ia melewati pematang persawahan dengan badan yang di penuhi lumpur. Sampai di pinggir jalanan hutan karet. Ia menginjak batu tajam yang membuatnya beringsut terduduk di atas batu kerikil dan ada seseorang yang memegang pundaknya setelah itu ia tidak tahu lagi apa yang terjadi.
"Sebenarnya ini di daerah mana? Apa Bibi Jaitun nggak bisa menemukanku, lalu bagaimana dengan Paman Martana, apa dia masih hidup atau sudah mati?” masih berseloroh dalam hati, Gendhis kembali merasa takut jika mengingat kedua orang kejam itu.
Ia mencoba memejamkan matanya dalam-dalam dan kembali membuka mata guna memastikan bahwa apa yang dilihatnya sekarang ini bukanlah suatu mimpi. Rasa haus kembali mendera tenggorokannya, bagaikan sawah kering di musim kemarau.
Ia menoleh ke sisi kanan ranjang dan melihat teko berukuran sedang serta gelas yang berisi air. Gendhis mencoba mengambilnya, dengan mengumpulkan segenap tenaganya yang mungkin bisa mendukungnya untuk mengambil gelas itu.
Ketika rasanya sangatlah sulit untuk bisa tangannya meraih gelas, membuat Gendhis ingin menyerah dan membiarkan tenggorokannya mengering. Tapi tidak, ia bukanlah manusia yang gampang untuk menyerah begitu saja. Perlahan tangannya mulai bisa bergerak-gerak.
Akan tetapi tiba-tiba saja ada seseorang yang membantu Gendhis mengambil gelas serta memberikan arahan agar Gendhis bisa menggunakan sedotan dengan benar.
Gendhis terkejut siapa orang yang mau membantunya. Dialah Sifa, Gendhis segera menyingkirkan rasa terkejutnya dan segera meminum air melalui sedotan yang dibantu Sifa. Takut-takut kalau Sifa tiba-tiba berubah pikiran. Gendhis meminum sampai tandas.
Sifa kembali menaruh gelas di atas meja. Setelahnya ia kembali ke ranjangnya dengan sikap acuh, menarik selimut dan memunggungi orang yang barusan saja ia bantu untuk minum.
Gendhis ingin sekali mengucapkan terimakasih, tapi Sifa sudah buru-buru kembali keranjangnya. Gendhis memandangi punggung Sifa, perasaannya berkata, "Ternyata sikapnya nggak sepedas kata-katanya.”
~
Pagi menjelang subuh tiba, anak-anak santri sudah bersiap diri untuk pergi ke mushola guna menjalankan ibadah.
Gendhis melihat satu persatu santriwati penghuni kamar dimana ia berada, semua santriwati sudah memakai mukenah. Tidak ada seorang santriwati pun yang menyapanya, seolah memang ia tiada.
Ia mengedarkan pandangannya menatap kamar yang sudah menyala terang, ia melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 05:30, sudah hampir dua jam santriwati itu pergi untuk menjalankan ibadah sholat subuh. Namun juga belum kembali.
Gendhis mencoba untuk bangkit dari pembaringan, ia merasa jauh lebih baik dari semalam. Sayup-sayup santriwati bercengkrama dan memasuki kamar. Ia pun mengurungkan niatnya untuk bangkit, dan hanya bisa melihat ke-empat santriwati yang begitu beruntung memiliki hidup yang jauh lebih baik darinya.
Siti pun melihat Gendhis yang masih berbaring di atas kasur, ia lantas menghampiri, “Hay Gendhis apa kabar?”
Gendhis perlahan membuka bibirnya dan bersuara lirih, “Baik,”
Siti tersenyum senang, “Wah kamu sudah bisa bicara? Apa sekarang keadaan mu sudah jauh lebih baik dari kemarin?”
Gendhis mengangguk pelan, “Iya.”
"Syukur alhamdulilah," balas Siti.
Siti melihat Gendhis nampak ingin duduk, ia berinisiatif untuk menawarkan diri guna membantu Gendhis, "Apa kamu mau duduk?"
Gendhis menatap Siti, dan mengangguk pelan.
"Mari aku bantu." tawar Siti.
Gendhis pun duduk dengan bersandarkan bantal yang didekatkan ke dinding bercat hijau.
"Makasih." kata Gendhis, dan mendapati Siti mengangguk.
~~
Esok hari menjelang, fajar terlihat lebih terang.
Keesokan harinya, Gendhis jauh lebih baik. Ia sudah bisa duduk di bangku kayu area taman pondok dibantu juga oleh Siti. Ia bersyukur bahwa sekian banyaknya santriwati yang bersikap tak acuh padanya.
Siti menjadi satu-satunya santri yang menawarkan diri untuk membantunya. Iya, inilah kedua kalinya Gendhis bersyukur, pertama rasa syukurnya bisa terlepas dari Bibik Jaitun dan kini ia bersyukur ada orang baik yang mau membantunya.
Umi Salma mendekati Gendhis yang duduk seorang diri dibangku memanjang taman area pondok.
“Apa kamu sudah merasa lebih baik cah ayu?” tanya Umi Salma sangat lembut.
"Baik," Gendhis menganggukkan kepalanya, dan seulas senyuman kecil.
Di belakang Umi Salma ada Luthfi, reaksi pemuda ini seperti biasanya. Dingin dan tak acuh. Bahkan tak sedikitpun suara yang menyeruak dari pita kerongkongannya.
Luthfi hanya menatap Gendhis sekilas, selebihnya ia mengedarkan pandangannya menatap dedaunan rimbun di taman.
“Ini anak Umi yang sudah menemukan mu, Gendhis,” Umi Salma menujuk putranya.
Gendhis melihat pria muda di belakang Umi Salma, ia menghela nafas, “Terima kasih.”
Bagaikan angin lalu yang tidak ada artinya sama sekali, Luthfi menanggapi kata terimakasih dari perempuan yang ditolongnya hanya dengan mengangguk singkat.
"Umi," panggil Luthfi kepada Ibunya.
Umi Salma mengalihkan atensinya menatap Gendhis, lalu menoleh ke arah putranya, "Iya ada apa Le?"
"Karena Luthfi sudah bertemu dengannya, maka Lutfhi izin pergi dari area pondok pesantren putri, ndak baik Luthfi terlalu lama di sini." ujar Luthfi.
Umi Salma mengangguki ucapan putranya, "Baiklah."
Luthfi berlalu pergi dari kamar santriwati tanpa melihat secuil pun kearah Gendhis.
"Umi juga pergi ya Gendhis, kamu harus istirahat." ujar Umi Salma.
Gendhis mengangguk kecil, "Iya U-umi, terimakasih."
"Semoga lekas sembuh." kata Umi Salma sebelum pergi untuk melakukan aktivitas paginya dalam mengecek setiap kamar santriwati, karena beliau selalu menerapkan sistem kebersihan untuk para santrinya.
Gendhis melihat Umi Salma, mengingatkannya pada masa kecilnya. Ia sangat rindu pada almarhum kedua orang tuanya.
Bagai gelombang laut tak pernah putus. Bagai sinar mentari yang terus berjalan meski kadang tertutup awan. Terus melangkah pasti, meski langkah kaki kadang gontai.
Ingin ia gapai langit biru. Meniti pelangi selagi warnanya tidak pudar. ingin mencari tempat pelarian agar tak menimbulkan gempar.
Seperti lembayun pagi mengundang cakrawala. Membawa angan, serta asa. Sejuk semilir menerpa raga.
Terkatup kalbu membawa rindu pada Kersaning Hyang.
Semoga saja pagi ini adalah awal yang baik, baik pula untuk hidupnya, baik pula untuk masa depannya.
Gendhis memandang hamparan birunya langit. "Semoga saja."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Arif Sunoe
ditunggu kelanjutannya
2022-11-05
1