Tiga orang pemuda dengan usia tidak jauh berbeda sedang berjalan kearah masjid untuk melaksanakan ibadah sholat ashar. Salah satu dari ketiga pemuda ini adalah seorang anak dari pemilik pondok pesantren Salafiyah di Sleman Yogyakarta.
Namun anak dari seorang pemilik pondok pesantren yang termasyur ini, terkenal sangat cuek, dingin dan terkenal juga tidak mudah untuk bergaul kepada sembarang orang.
Bahkan tak jarang pula banyak santri-santri yang menganggap sikap dinginnya adalah kesombongan serta keangkuhan. Dan ada pula yang beranggapan pemuda berhidung mancung serta berkulit kuning langsat ini dikarenakan anak dari seorang pemilik pondok pesantren terkenal maka dari itu bersikap demikian. Dialah Luthfi Hadi Muttaqin, pria berusia dua puluh dua tahun bernama Ayah Majid Abdullah Muttaqin.
Meskipun demikian Luthfi yang terkenal dengan sebutan si balok es ini, dia masih mempunyai teman yang setiakawan. Bernama Abbas dan Mulyadi kedua orang inilah yang setia berkawan dengan Luthfi.
"Luthfi, Aku dengar-dengar perempuan yang kamu tolong malam lalu sudah sadar,” seorang pemuda bernama Abbas membuka topik obrolan yang ia dengar siang tadi.
Masih terus mengayunkan langkah kakinya Luthfi hanya menjawab singkat, “Aku sudah tahu,”
"Benarkah?" seru Abbas, ikut mengimbangi langkah kaki Luthfi yang semakin cepat saja jalannya sampai-sampai lipatan sarungnya melorot. "Walah dalah iki sarung piye kok ucul ngene to yoh!"
"Terus kenapa kamu tidak mau cari tahu siapa sebenarnya dia atau darimana asalnya?" tanya teman Luthfi yang bernama Mulyadi ikut menyambung pertanyaan Abbas, secara spontanitas pemuda berbadan bongsor ini berdiri di hadapan Luthfi hingga membuat Lutfi seketika menghentikan langkahnya.
”Astaghfirullah Gembul!” seru Luthfi terkejut kala mendapati teman bongsornya sudah berdiri dihadapannya.
Mulyadi yang punya sebutan lain si Gembul ini tidak merasa bersalah sudah menghadang jalan temannya. Mulyadi malah memasang cengiran kuda. "Hehe.."
Setelah membenarkan kelinan kain sarungnya Abbas menyusul Lutfhi dan Mulyadi, "Iya Lut, memang kamu tidak penasaran siapa dia?"
"Tidak!" lagi-lagi respon Luthfi begitu singkat. Luthfi berjalan kesamping guna menghindari kedua temannya.
Mulyadi dan Abbas saling bersitatap heran, keduanya lantas menatap punggung Luthfi si balok es yang mulai menjauh.
Abbas segera mengejar Lutfhi, banyak sekali pertanyaan yang ingin dia tanyakan kepada sahabat kecil itu. Seperti biasa Abbas merangkul pundak Lutfhi, "Kamu yakin tidak penasaran sama perempuan yang kamu tolong?"
Mulyadi pun ikut mengejar kedua temannya yang sudah menjauh, "Iya Lut, aku saja penasaran kenapa dia bisa di pinggir jalanan hutan karet, bahkan di malam gelap gulita lagi,”
"Ho-oh, tentang siapa dia? namanya siapa? Keluarganya tinggal dimana? Ya Mul?” ujar Abbas membeberkan satu-persatu spekulasinya.
"Iya Bas, siapa tahu kan keluarganya sedang mencari-cari.” imbuh Mulyadi.
"Aku tidak perduli,” spontan Luthfi menjawab.
"Terus kenapa kalau kamu tidak perduli kamu bawa pulang? Bahkan kamu kan tidak kenal sama dia? Siapa tau perempuan itu, perempuan gila?” Abbas masih terus mengorek informasi, entah mengapa jika sudah menyangkut tentang si manusia es balok ini. Ia selalu ingin mencari tahu. Abbas tahu betul, meskipun bersikap dingin namun rasa toleransi dan rasa kemanusiaan Luthfi sangat tinggi.
Luthfi menghentikan langkahnya sampai keduanya temannya sama-sama berhenti seperti halnya paskibraka bendera. Luthfi melihat ke kanan ada Abbas dan ke kiri ada Mulyadi, "Dengar ya kalian berdua, aku hanya merasa kasihan jika harus meninggalkan dia di pinggiran hutan sendirian dalam keadaan pingsan. Terlepas dia itu siapa dan darimana asalnya, baik atau jahat. Aku hanya menolong sebagai sesama manusia dan membawanya ke pesantren Putri juga semata-mata karena aku tidak tahu dia itu tinggal dimana. Lagi pula mau dia gila atau edan, itu bukan urusan kalian!"
Jarang sekali Luthfi melontarkan kata-kata panjang kali lebar seperti matematika yang membuat pusing isi kepala. Abbas terdiam, mungkin sudah cukup ia bertanya perihal siapa sebenarnya perempuan yang ditolong oleh Luthfi.
Sementara Mulyadi belum merasa puas, "Ya paling tidak, kamu jenguk dia Lut."
Luthfi dleming, keengganannya membahas orang asing yang ditolongnya membuat Luthfi ingin segera berlari secepat kilat guna menghindari Abbas dan Mulyadi.
"Halah kebiasaan ini loh tidak hilang-hilang, kalau lagi di ajak ngomong tidak di jawab yo ditinggal begitu saja.” gumam Mulyadi melihat kepergian Luthfi. Ia mengalihkan atensinya menatap Abbas yang terbengong.
"Bas woy, Abbas kenapa kamu malah bengong saja?" Mulyadi menepuk pundak Abbas.
Tepukan Mulyadi membuyarkan lamunan Abbas, "Hem iya, aku rasa kita memang harus bersikap biasa saja. Seolah-olah kita tidak tahu apa-apa Mul,"
Mulyadi terdiam, sesaat kemudian ia mencerna ucapan Abbas. "Kamu benar Bas, meskipun kita berteman sedari kecil. Tapi nyatanya aku tidak pernah bisa memahami karakter Luthfi."
Lamanya kedua orang ini terdiam dan memandangi Luthfi yang mulai memasuki pelataran masjid di area pondok pesantren. Lantunan Khomad terdengar seperti petir menyambar telinga Abbas maupun Mulyadi.
"Walah biyung, khomad Bas, khomad!” Mulyadi segera tancap gas menuju masjid. "Luthfi tungguin aku, Lut!” seru Mulyadi memanggil-manggil Luthfi yang sudah menghilang dari balik tiang-tiang penyangga Masjid.
"Woy Mul, gembul tungguin aku mbul,” seru Abbas ikut menyusul Mulyadi dengan berlari-lari kecil, namun kelinan kain sarungnya terasa agak sulit untuk diajak kerjasama. Abbas melihat cepatnya si bongsor itu berlari menuju kearah Masjid. "Haduh-haduh, sarung ku iki piye, kok angel temen diajak kompromi. Sesok-sesok meneh wegah aku anggo sarung lunyu koyo ngene!”
"Wes copot wae Bas sarunge!” seru Mulyadi berbalik kearah Abbas yang tengah gukur (kesulitan) membenarkan kelinan sarungnya. Sedikit kemudian kembali berlari-lari kecil menuju masjid.
"Wah bahaya kalau dilepas bisa gondal-gandul iki. Besok aku mau pakai sabuk ajalah biar tidak belibet kayak gini.” Abbas terlihat kesusahan, sampai-sampai ia berjalan seperti seorang anak kecil yang baru di sunat. Cara berjalan Abbas membuat orang-orang yang berlalu lalang menuju masjid terkekeh-kekeh.
"Hehehe... Ayo Bas sudah mulai rakaat pertama tuh.” ujar Topan, lantas bergegas menuju masjid di susul jamaah lainnya.
~~
Malam semakin larut, Lutfhi baru saja pulang dari acara mengaji di masjid. Setelah mengucapkan salam dan di rasa tidak ada orang yang menjawabnya. Luthfi segera saja bergegas ingin menuju kamarnya.
Namun mendadak langkah Luthfi terhenti, kala Umi Salma memanggil putra bungsunya, “Luthfi,” dilihatnya putranya itu sedang berada di tengah-tengah ruang keluarga.
Luthfi menghadap sang Ibu, “Ya Umi,” ditatapnya mata yang teduh.
“Kamu sudah tahu Le, kalau gadis yang kamu temukan di jalanan hutan karet sudah siuman?” kata Umi.
Dilihatnya tangan Umi yang membawa nampan berisikan teh hangat untuk sang Ayah yang menderita penyakit stroke sudah lima bulan lalu, Luthfi hanya mengangguk.
“Kamu tidak berniat untuk menjenguknya?” tanya Umi.
Luthfi menggelengkan kepalanya, “Nanti saja Umi,”
“Kamu yang menemukan dia, paling tidak temuilah dia,” kata Umi Salma memberikan saran.
Tak ingin membantah, akhirnya Luthfi mengiyakan apa yang Uminya katakan, “Baik Umi, besok Luthfi akan menjenguknya. Sekarang sudah malam, Umi harus istirahat,”
“Kamu juga Le,” kata Umi.
Luthfi mengangguk, lalu berjalan menuju kamarnya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Arif Sunoe
wah daerah Mlangi ya
2022-11-03
0