Yah, tentang jasa dan balas budi? Lagi-lagi menjadi momok yang selalu di ungkit-ungkit oleh sebagian orang. Terlebih-lebih Bibi Jaitun.
~~
Sedikit maupun banyak namanya pemberian pasti suatu saat nanti akan di ungkit-ungkit.
Namun, seburuk apapun perlakuan Bibik Jaitun padanya, Gendhis tidak pernah lupa pada jasa Bibi Jaitun yang sudah menolongnya, ketika rumah peninggalan orangtuanya ambruk akibat tidak terawat pasca meninggalnya sang Ayah. Tapi, Gendhis juga tak menerima jika Bibi Jaitun akan menjualnya ke rumah bordil!
“Gendhis masih ingat Bi, Gendhis ingat jelas. Bibi adalah orang yang sudah berjasa menolong ku, tapi jangan anggap Gendhis ini sama seperti wanita nakal yang ada di rumah bordil itu, Bi!” Rintih Gendhis menahan tangan Bibinya, agar tidak menarik lagi rambutnya terlalu kuat.
Bibi Jaitun membuang ludahnya, ke lantai tanah dapur; “Cuwihh... Lagian kamu itu kalau ndak jadi wanita nakal, mau jadi apa kamu hah?! Apa yang bisa di banggakan dari wajah buruk rupa sepertimu, lagian di sana kamu bakalan enak-enak, tidak perlu kerja capek-capek, banyak duit juga!”
Air mata mulai membasahi kelopaknya, Gendhis merasa hidupnya memang tidak berarti apa-apa, tapi bukan berarti ia akan pasrah saja dengan tindakan Bibi Jaitun yang akan menjadikannya wanita pemuas nafsuu! Sedangkan cita-cita, dan cinta Gendhis begitu tinggi. Meskipun nantinya hanya bayangannya saja.
“Tapi Bi. Setidaknya biarkan Gendhis mempertahankan kehormatan ini! Inilah satu-satunya hal yang ingin Gendhis pertahankan, biar pun Gendhis jelek, hitam, dekil, tidak cantik. Tapi Gendhis mau menjaga harga dan martabat Gendhis sebagai seorang wanita, Bi!” ujar Gendhis, dengan suara memelas, sambil menangkupkan kedua tangannya didepan dada. Mengharap agar bisa menyentuh belas kasihan dari Bibinya. Kendati hanya secuil.
*"Halah! Koe ki yen ngomong asal nggo dengkul!" tidak cukup menjambak rambut Gendhis, Bibi Jaitun menampar keras pipi keponakannya itu tanpa rasa belas kasih. Plak... “Ingat ya Gendhis, kamu itu harus balas jasa mu sama aku, kamu harus manut saja, mengerti! Besok sore, germo Roselin akan datang kesini untuk menjemput mu, kamu harus mandi terus dandan seng ayu! [Yang cantik!]”
*[Kamu itu kalau bicara suka pakai lutut]
Terhempasnya Gendhis, lagi ia bersimpuh di lantai tanah dapur. Gendhis mengusap sudut bibirnya yang berdarah, tangannya beralih meraba pipinya yang serasa memanas akibat tamparan keras dari tangan Bibi Jaitun. Eluhnya semakin deras, tak tertahankan lagi kesedihan yang menjalari sanubari hatinya.
“Jangan bawa Gendhis ke rumah bordil Bibik, Gendhis mohon.” dengan segenap hati Gendhis memohon kepada Bibiknya yang bernama Jaitun.
“Halah, nurut saja kamu! Kalau kamu jadi pelac*r kan hidup mu nanti enak!” bentak Bibik Jaitun.
Gendhis menangis mengharap iba seraya menangkupkan kedua tangannya memohon agar Bibiknya tidak membawanya ke rumah bordil, “Gendhis mohon Bibik.”
“Ibu, ada apa ini?!” seru seorang remaja seusia Gendhis, berdiri di tengah-tengah pintu masuk dapur.
Bibi Jaitun berkacak pinggang, memutar kepalanya menatap anaknya yang baru pulang dari sanggar tari, “Winarsih,”
Gadis remaja berpakaian dress retro ini mendekat serta menyalami tangan Ibunya, ia melihat Gendhis dan beralih menatap Ibunya, “Memangnya keributan apa lagi yang di lakukan Gendhis, sampai Ibu semarah ini?”
“Ini si Gendhis, Win. Bisa-bisanya dia melupakan jasa-jasa Ibu, dia tidak mikir kenapa dia bisa hidup sampai sekarang, itu karena jasa Ibu!” kata Bibi Jaitun, menunjuk-nunjuk kepala Gendhis.
Winarsih menghela nafasnya, “Memang harus dengan cara kekerasan seperti ini, Bu?”
“Dia kalau tidak di kerasin tidak bakalan nyaut otaknya! Tau sendiri kalau dia itu bodoh!” maki Bibi Jaitun, dengan suara sedikit melunak.
Winarsih berniat menghampiri sepupunya, namun sebelum ia mengulurkan tangannya membantu Gendhis untuk berdiri, suara peringatan Ibunya menghentikan tangannya yang hampir menyentuh lengan Gendhis.
“Winarsih! Jangan nolongin dia! Biarkan dia di situ sampai besok, bahkan kalau bisa sampai mati pun tidak pa-pa!” sentak Bibi Jaitun, mempelototi Winarsih.
“Ibu.” Kata Winarsih menatap sang Ibu dan beralih menatap Gendhis, seolah memberi isyarat kata 'maaf' yang mengejek pada sepupunya.
“Sudah tinggalkan saja dia!” Bibi Jaitun pun mengalungkan tangannya di lengan putri satu-satunya. Lantas membawanya pergi dari dapur.
Gendhis menatap kepergian Bibi Jaitun dan Winarsih. Ia tidak mengerti, dengan peranan sepupunya itu, terkadang baik terkadang tak jauh berbeda dari Bibi Jaitun. Sekuat tenaga, Gendhis mencoba untuk berdiri karena badan yang babak belur akibat pukulan-pukulan yang di layangkan Bibi Jaitun.
Tertatih menyeret langkah kakinya, seraya membenarkan kain jariknya yang sudah lusuh dan beberapa bagian sudah bolong-bolong. Saat seperti ini, Gendhis akan berjalan ke belakang rumah. Memandang lurus kearah pepohonan rindang seperti alas kecil di belakang rumah Bibi Jaitun yang berjarak lima belas meter dari belakang rumah Bibinya.
Ingin rasanya meninggalkan rumah Bibi Jaitun, ingin rasanya terbebas, terlepas dari jeratan Bibi yang kejam itu. Satu kali pernah kabur namun gagal, dan akhirnya Gendhis mendapatkan hukuman yang menyakitkan membuatnya trauma.
Hukuman yang di berikan oleh Bibi Jaitun dan Paman Martana membuat Gendhis takut, benar-benar mengerikan. Di gantung dengan cara terbalik, serta di sabet dengan menggunakan kayu rotan. Membuat Gendhis berdarah-darah.
“Romo, Ibu! Gendhis kangen. Kenapa kalian pergi tanpa membawa Gendhis. Benarkah Romo sama Ibu menyayangi Gendhis...” tangisnya kembali pecah, kala membayangkan sosok kedua orangtuanya.
Gendhis merunduk lusuh, darah segar melumuri telapak tangannya yang baru saja ia gunakan untuk mengelap sudut bibirnya. Seperti inikah cara ia bertahan hidup? Harus dengan cara inikah? Tidak bisakah nasib berkata lain? Mengapa harus ia yang menjalani? Ia merasa tidak adil!
Ia menadahkan wajahnya menatap langit biru yang mempesona mata, beberapa burung beterbangan ke sana kemari. “Ingin sekali rasanya aku menjadi burung, yang bebas terbang kemanapun sayapnya ia kepakkan!”
Sudah waktunya untuk memberikan makan-makan sapi dan bebek, tidak ingin lagi mendapatkan pukulan. Gendhis mencoba untuk bangkit dari rasa sakit di sekujur tubuhnya yang mendapat luka sabetan.
Berjalan sempoyongan menuju rerumputan yang ada di dalam karung. Ia mengambil setangkup rumput lalu ia berikan kepada sapi-sapi pedhet [anakan sapi]. Air mata tak dapat ia bendung, ia menangis tapi tak bersuara.
“Sapi, makan yang banyak yah. Kalau aku sudah pergi dan bebas dari sini. Jangan jadi sapi kurus yah,” Gendhis menatap belakang rumah Bibiknya, “lihat saja nanti, aku pasti akan bebas dari sini!” lalu kemudian mengalihkan atensinya menatap langit biru yang memperlihatkan awan-awan berarak seperti kapas, “Akan pasti bisa seperti burung bebas yang terbang tanpa rasa takut, aku akan buktikan ketika waktunya tiba. Aku tidak akan pernah melupakan perlakuan buruk bibi dan paman padaku, terlebih lagi kamu Winarsih. Ejekan mu padaku, suatu saat pasti akan kembali padamu! Aku janji!”
Menangis sesenggukan, menarik nafas yang serasa tersengal-sengal. Gendhis bertekad, bukan, bukan hanya tekad. Akan tetapi ia pasti akan membuktikan kepada semua orang yang meremehkan dan memperlakukannya dengan buruk. Bahwa seorang Gendhis Apsarini Pramesti akan bisa terbebas meskipun harus berdarah-darah!
~~
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Endang Purwati
"gudel" bukan anaknya kebo ya kak?
mungkin "pedhet" yg dimaksud🙏🙏🙏
2022-11-18
1