Bab 14

Orang tua? Rasanya pedih jika sudah ditanyakan mengenai almarhumah kedua orang tuanya.

Terbayang menjadi gamblang, kepedihan dan kesengsaraan yang Gendhis rasakan setelah kedua orangtuanya tiada.

Seseorang yang diharapkan bisa menjadi pengayom dan pelindung, malah justru memperbudak Gendhis.

Helaan tarikan nafasnya yang dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Menyelaraskan perasaannya yang menahan pedih selama ini.

Gendhis menunduk sendu, sambil mengusap luka goresan di telapak tangan, "Aku yatim-piatu sejak usiaku tujuh tahun. Dan selebihnya aku hidup dibawah pengasuhan Bibik dan Paman ku, aku bahkan tidak pernah mengaji bahkan sholat ku sangat jarang,"

Siti tertegun mendengar kisah hidup Gendhis, dilihatnya tangan dan kaki Gendhis yang terluka.

"Apa kamu kabur dari rumah Bibik mu?" Siti bertanya atas spekulasi yang tiba-tiba saja muncul dalam benaknya.

Gendhis masih menunduk, ia mengangguki ucapan Siti. Toh tidak ada untungnya jika ia berbohong, "Iya, aku kabur. Aku tidak mau hidup bersama dengan Bibik lagi, dan aku juga tidak mau di jual ke rumah bordil,"

Bukan lagi tertegun. Kini Siti tercengang dan teringat kembali saat Gendhis baru siuman setelah empat hari pingsan, "Bordil?" kata Siti mengulangi rumah tempat pelacur*n. Ia menatap Gendhis yang berwajah sendu, sedih dan terdapat juga ruam kebiruan yang masih samar-samar nampak.

Gendhis menghela nafasnya, ia mengangguk tipis.

"Jika Bibik mu orang baik, mana mungkin kamu kabur dalam keadaan seperti ini?" kata Siti bersungut-sungut.

Gendhis hanya diam, ia mengingat kembali kekejaman yang sudah Bibik dan Paman lakukan terhadapnya. Diusapnya pipinya yang selalu saja mendapat tamparan keras dari Bibik Jaitun. Ketika setitik saja kesalahan atau kelalaian yang tak sengaja diperbuatnya.

"Aku rasa Umi Salma tidak keberatan mengizinkan mu untuk tinggal di pesantren ini, jika beliau tahu permasalahan yang membelit mu, Ndhis," kata Siti lagi menyarankan agar Gendhis tetap tinggal di pesantren ini.

Gendhis menggeleng kecil.

"Aku tidak mau merepotkan siapapun termasuk kamu, Siti. Setelah luka-luka ini mengering, aku akan pergi dari sini," kata Gendhis, ia menyadari tidak semua orang bisa menyambutnya dengan baik seperti Siti dan Umi Salma.

"Tapi Ndhis, memangnya kamu mau kembali ke rumah Bibik mu?" tanya Siti memastikan.

Gendhis menggeleng, "Tidak,"

"Memangnya kamu tidak mempunyai kerabat lain, selain Bibikmu?" tanya Siti lagi dalam mencari tahu seluk-beluk keluarga Gendhis.

Siti dibuat penasaran seperti apa Gendhis hidup, mengapa pada saat Genghis di bawa ke pondok pesantren ini, pakaian Gendhis seperti pada saat kerajaan jaman dulu kala.

Hanya memakai kain jarik lusuh, sobekan dimana-mana dan kemben beserta Surjan yang biasa dipakai oleh wanita bahkan Surjan pun sudah dalam keadaan terkoyak, memang di zaman awal tahun 90han ini masih ada beberapa wanita yang menggunakan kain jarik, namun kebanyakan yang memakainya hanyalah orang tua. Semacam Simbah Rukiyem, nama dari Simbahnya Siti.

Gendhis menggeleng, "Tidak. Bibik ku adalah satu-satunya keluarga ku. Dan aku akan mencari kehidupan ku sendiri seperti seorang musafir setelah ini,"

Diraihnya tangan Gendhis yang menampilkan luka di telapak tangan, "Dengarkan aku Gendhis, tidak baik seorang wanita berkeliaran seorang diri di luar sana. Orang tua ku selalu menasehati ku, bahwa pendidikan terbaik bagi seorang wanita adalah mendalami ilmu agama agar bisa diturunkan kepada anak-anaknya kelak,"

Gendhis bersitatap dengan Siti, "Aku takut merepotkan semua orang di sini, aku tidak punya apa-apa yang bisa ku berikan untuk pesantren ini, aku hanya mempunyai diriku dan aku hanya akan menjadi benalu di sini, Siti,"

Siti menggeleng, tidak sependapat dengan ucapan Gendhis.

"Kamu bukan benalu, kamu sama sepertiku. Kamu membutuhkan tempat tinggal yang aman, agar Bibik mu tidak menemukan mu Gendhis. Biar nanti aku yang bicara sama Umi Salma. Beliau pasti mengizinkan mu tinggal di sini," tukas Siti.

Sifa dan Rumi baru masuk setelah beraktivitas dalam mencuci pakaiannya, keduanya melihat Siti terlihat akrab dengan gadis asing bernama Gendhis.

"Siti, kamu tidak pergi ke mushola?" tanya Rumi, seraya berjalan menuju lemari kayunya.

Siti mengalihkan atensinya menatap kedua teman sekamarnya yang baru masuk kedalam bilik kamar berluaskan tujuh meter. "Iya, ini baru mau ke mushola,"

"Jangan selalu berbuat baik kepada orang yang baru kita kenal Siti, bahkan orang yang sudah lama kita kenal pun bisa berbuat jahat," tukas Sifa, seraya mengambil mukenanya di dalam lemari.

Siti, Rumi, dan Gendhis menatap kearah Sifa. Seorang gadis yang selalu saja mempunyai tutur kata blak-blakan tanpa memperdulikan baik atau tidaknya ucapan yang terlontar.

Merasa mendapatkan tatapan intimidasi dari ketiganya, membuat Sifa mengangkat bahunya, "Ada apa? Apa perkataan ku salah? Kan aku hanya bilang, orang yang sudah lama kita kenal pun bisa menikam kita dari belakang, apalagi orang yang baru kita kenal?"

Siti menggeleng.

"Tidak! Tidak salah," jawab Siti turun dari tepian ranjang yang ditempati Gendhis, ia berjalan mendekati Sifa dengan membawa mukenanya, "tapi kamu terlalu berpikiran sempit, Sifa. Tidakkah kamu ingat dalam Al-Qur'an, surat Al-Isra’ ayat 7 yang berbunyi, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.”terangnya.

Uraian kata dari ayat suci Al-Qur'an membuat Sifa tertegun, tapi tetap saja pada pendiriannya, "Tapi kan aku cuma manusia biasa Siti, kamu menerangkan ayat itu seolah-olah kamu adalah orang paling baik di muka bumi ini!"

Siti tersenyum, ia menepuk pundak Sifa, "Kebaikan untuk orang lain akan mendatangkan kebaikan untuk diri sendiri. Sebaliknya, perbuatan buruk kepada orang lain juga akan mendatangkan keburukan bagi siapapun yang melakukannya,"

Rumi dan Gendhis melihat Siti dan Sifa secara bergantian.

"Sudahlah Siti, kamu itu tahu apa tentang kebaikan. Secara hidup kamu kan enak, tinggal minta sama orang tua mu yang juragan tanah itu. Bahkan perkebunan karet pada saat si Gendhis ditemukan kan punya orang tua mu! Jadi kamu tidak bakalan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak! Karena hidupmu sudah digariskan oleh kedua orang tua mu yang kaya raya itu!" cecar Sifa melepaskan tangan Sifa yang bertumpu dipundaknya.

Rumi mendekati kedua teman sekamarnya yang kelihatan sedang berbeda argumen dan bersitegang, "Sudah-sudah, kenapa kalian harus bersitegang? Bukankah kita di sini diajarkan untuk saling mengenal satu sama lain?"

"Tau nih Sifa, di ajak bicara jawabnya tegang mulu, ntar urat syaraf mu putus!" tukas Sita mengacungi Sifa dengan jari telunjuknya.

"Ya suka-suka aku!" sergah Sifa menatap Rumi dan Siti bergantian, "memangnya orang harus mempunyai pendapat yang sama? Dan tidak semua orang yang lemah adalah orang baik, bisa saja orang yang lemah sedang berusaha menyembunyikan sesuatu keburukannya, dengan cerita-cerita yang dikarang-karang supaya orang yang mendengarnya mempercayainya!" cecar Sifa, masih tidak melunakkan suaranya, seraya sekilas melirik Gendhis yang duduk menunduk di atas ranjang.

Ucapan Sifa yang pedas mengingatkan Gendhis semalam, pada saat Sifa membantunya mengambilkan gelas.

Azan duhur berkumandang, tepat pukul 12:00 wib.

"Udah yuk Rum, kita ke mushola. Biarkan Sifa ngadem dulu," kata Siti merangkul pundak Rumi, namun sebelum keluar dari bilik kamar Sifa kembali melihat Gendhis, "Ndhis, jangan lupa sama apa yang tadi aku ajarkan ke kamu tentang tata cara wudhu tayamum, ya?"

Gendhis mengangkat wajahnya menatap Siti yang sudah berada di ambang pintu kamar, ia mengangguk kecil.

Siti dan Rumi pun berlalu dari bilik kamar.

Dilihatnya Sifa yang berwajah muram durja. Gendhis terus mengamati sampai Sifa yang membungkuk dalam mengambil mukena putih yang terjatuh di ubin berwarna abu-abu.

Sifa merasa tak perlu lah mengajak Gendhis ke mushola toh Gendhis sedang terluka, sholat tidak sholatnya Gendhis, toh bukan kesalahannya. Itu hak dari Gendhis, kecuali kalau Gendhis adalah murid dari pondok pesantren ini.

Sifa berjalan hendak meninggalkan kamar, namun langkahnya terhenti kala Gendhis memanggilnya.

"Sifa!" seru Gendhis melihat punggung Sifa.

Sifa tertegun, ada apa Gendhis memanggilnya?

"Ada apa?" jawabnya tanpa menoleh kearah Gendhis.

"Terimakasih, sudah mau mengambilkan gelas untukku semalam." kata Gendhis, tidak mendapati Sifa menoleh. Tapi ia sama sekali tidak kecewa, mungkin saja perangai Sifa memanglah seperti itu.

Tidak menoleh, bahkan tidak menjawab kata terimakasih dari Gendhis, Sifa kembali melanjutkan langkah kakinya menuju mushola yang jaraknya dua puluh meter dari bilik kamar santriwati.

Siti mengatakan setelah sholat dhuhur usai, maka Siti akan mengajarkan tata cara wudhu tayamum dan bagaimana mengerjakan sholat hanya dengan gerakan terbatas.

Dengan bacaan yang sederhana, belum sepenuhnya dapat Gendhis pahami. Ia melakukan wudhu tayamum hanya dengan kata bismillah dan berikut melaksanakan sholat dhuhur di atas ranjang beralasan kasur tipis.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Endang Werdiningsih

Endang Werdiningsih

belajar ilmu agama bukan'a buat dipraktekan tp hanya buat pantas"an thok,,,
sifa opo gunane ilmu sing mbok oelajari neng oesabtren yen ati karo lambemu sadis bgt...

2023-03-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!