Bab 5

Gendhis terkejut terhadap cekalan tangan Paman Martana di lengannya, seketika rasa takut menjalari isi kepalanya.

“Paman! Paman mau ngapain? Paman!” teriak Gendhis sambil memukul-mukul lengan besar Paman Martana.

~~

“Diam kamu, kali ini balas jasa kebaikan ku dan menggantinya dengan tubuhmu!” bentak Paman Martana, terus berjalan dan menghempaskan Gendhis ke lantai ruang tengah yang beralaskan tikar anyaman jerami.

Gendhis tergelak membelalakkan matanya. Sekuat tenaga ia mendorong tubuh Paman Martana yang akan mengungkungi dirinya, “Paman! Gendhis mohon Paman, jangan! Gendhis mohon Paman Martana jangan lakukan ini!”

Gendhis terus meronta-ronta, kakinya menendang, serta tangannya mencakari dada Paman Martana yang akan menarik jarik yang di pakainya.

Paman Martana membuka baju atasan, lalu kedua tangannya kembali mencengkram kuat jarik yang di pakai Gendhis.

“Alah... Sudahlah manut saja Gendhis! Toh sama-sama enak! Sekarang kamu menolak, tapi pas saat pusaka ku masuk ke dalamnya pasti nikmat!” kata Paman Martana dengan suara yang terdengar berat, akibat birahinya yang sudah memuncak.

“Jangan Paman, Gendhis mohon!” lagi ia berteriak diselingi dengan isak tangis sesenggukan.

Dalam keadaan takut, Gendis meraba-raba apa pun yang ada di sekitarnya, dan mengambil kendi tanah liat yang biasa di pakai untuk menaruh air minum dan menghantamkannya ke kepala Paman Martana.

Prang... Seketika kendi air minum pecah berserakan jatuh ke lantai tanah.

Dan seketika membuat Paman Martana merasa lunglai saat kepalanya di hantam, pria ini pun melepaskan cekalan tangannya yang sedang menarik jarik yang di pakai Gendhis, lantas meraba kepalanya sendiri dan ia merasakan ada sesuatu yang basah dan kental lalu menarik tangannya dari sana, tercium bau anyir darah!

Paman Martana kembali menatap Gendhis yang sudah menarik diri dari kungkungannya, “Awas kamu!” saat tangannya akan meraih tangan Gendhis, tiba-tiba saja kepalanya terasa berat dan membuatnya bersimpuh telungkup di alas tikar seraya memegangi kepalanya.

Gendhis ketakutan melihat reaksi pria bejad yang hampir saja merenggut mahkotanya. Gendhis membenarkan kembali kain jarik dan pakaiannya yang tersingkap.

Dengan tubuh gemetar hebat, peluh membasahi sekujur tubuhnya, kala memandangi pria bejad itu tak bergerak. Dengan setengah keberanian, Gendhis menjulurkan kakinya dan menendang Paman Martana.

Benar saja, Pamannya itu pingsan! Gendhis menutup mulutnya sendiri, Ketakutannya semakin terasa berat, Gendhis kemudian berpikir apa yang akan dikatakannya kepada Bibi Jaitun. Jika ia mengakui, otomatis Bibi Jaitun akan menggantungnya hidup-hidup. Dan beranggapan bahwa ialah pelaku yang telah mencoba membunuh Paman Martana.

Gendhis segera menjauhi Paman Martana yang tidak sadarkan diri atau sudah mati. Ia lantas berlari kebelakang. Tujuannya adalah kamarnya sendiri.

Sayup-sayup terdengar teriakan dari halaman depan rumah Limasan. Ya, suara teriakan Bibi Jaitun yang memanggil-manggil Gendis dengan suara lantang.

“GENDHIS!!!”

“Bibi!” gumam Gendhis gemetaran.

“Apa yang akan aku jawab kalau Bibi menemukan keadaan Paman Martana yang tidak sadarkan diri.”

Sangat takut, sungguh Gendhis sangat ketakutan dan gemetar hebat, dalam situasi semacam ini. Berulang kali Gendhis menggigit ujung kuku-kukunya.

“Tidak! Aku tidak salah! Aku tidak salah! aku melakukannya untuk menjaga kehormatan ku!” Gendhis menggeleng keras, lalu menyambar benda yang paling berharga di bawah tikar anyaman daun kelapa kering.

Tergesa-gesa, Gendhis keluar dari kamar yang sebenarnya lebih pantas di sebut kandang ayam dan berlari lalu membuka pintu belakang.

Terpampang jelas suasana gelap nan senyap, di belakang rumah. Gendhis menoleh ke belakang, persisnya dimana ia dibesarkan dengan cara yang sangat kejam. Ia merasa; “Inilah saatnya seorang Gendhis Apsarini Pramesti keluar dari lingkaran setan! Atau kalau tidak, maka pintu neraka ini akan tertutup, sementara aku akan terkurung selamanya!” Gendhis menggeleng keras.“Yah, Aku harus pergi!”

~~

Bibi Jaitun memasuki rumah bersamaan dengan Winarsih dalam minimnya penerangan yang dihasilkan dari lampu teplok berbahan bakar minyak tanah.

Bibi Jaitun heran, mengapa Gendhis tidak menyahut panggilannya, “Mana si Gendhis? Kalau ketahuan pergi lagi, bakal ku gundul beneran kepalanya!”

“Yah palingan si Gendhis molor Bu!” sahut Winarsih, terus melenggang memasuki ruang tengah. Tepat pada saat kakinya melangkah, ia menyandung sesuatu dan membuat Winarsih terjatuh, “Aduh!”

“Kenapa kamu Winarsih?” tanya Bibi Jaitun. Remang-remang ia melihat Winarsih dan beralih melihat seseorang yang tidur dengan cara telungkup.

“Win, Winarsih siapa ini Win?” kata Bibi Jaitun bertanya kepada anaknya.

“Bapak kali Bu?” jawab Winarsih, seraya mengusap lututnya karena terjatuh di lantai tanah.

“Ah, masa Bapak? Bapakmu kan lagi di tahan sama juragan Buyan, Win!” jawab Bibi Jaitun.

“Tapi kan gak ada salahnya Bu, siapa tau itu memang Bapak?” Kata Winarsih menyarankan.

Bibi Jaitun pun, mendengar atas saran anaknya, dengan perlahan ia memanggil-manggil Martana. “Pak! Hey Martana!”

Tidak ada jawaban

Bibi Jaitun semakin penasaran, begitu juga dengan Winarsih. Bibi Jaitun pun menggoncang kaki seseorang yang tengah berbaring telungkup di atas tikar anyaman jerami di ruang tengah.

“Pak!” seru Winarsih, ia dan Ibunya pun saling pandang dalam keremangan lampu teplok.

Winarsih berinisiatif mengambil pelita yang terdapat di meja tak jauh dari ruang tengah, lalu mendekatkan pelita ke seseorang yang berbaring telungkup.

Sekarang lebih jelas dari pada sebelumnya. Perasaan Bibi Jaitun semakin tidak enak, sebab dari postur tubuh dari seseorang yang tidur dengan telungkup sangat mirip seperti Martana suami yang dinikahinya sembilan belas tahun silam.

Bibi Jaitun pun membalikkan tubuh seseorang itu, dan betapa terkejutnya ia kala mendapati wajah suami berdarah. “Martana!” teriaknya histeris, terperangah dengan apa yang ia lihat.

Begitu pula dengan Winarsih kala melihat wajah sang Ayah sudah berlumuran darah, “Bapak!!”

Kedua wanita ini sontak saja menangis tersedu-sedu melihat sebuah kejanggalan yang di alami Paman Martana.

“Martana!” rintih Bibi Jaitun memanggil suaminya, “Aku sudah bilang sama preman Juragan Buyan, akan menepati janji dan menjadikan Gendhis sebagai jaminan, tapi apa? Mereka ingkar janji!”

“Kenapa bisa begini Bu, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Winarsih di sela tangisnya.

“Bapak mu hutang sama juragan Buyan tiga juta, Win. Dan Ibu sudah berjanji akan membawa Gendhis esok hari sebagai jaminannya, kepada istri Juragan Buyan untuk mendandani Gendhis agar bisa di jual ke rumah bordil...” jelas Bibi Jaitun, menangisi suaminya.

Winarsih pun mencari-cari Gendhis, “Gendhis! Gendhis!” teriak Winarsih memanggil-manggil sepupunya. Dan ia tidak mendapati Gendhis menjawabnya. Winarsih pun beranjak, dan berjalan ke belakang lalu segera menuju kamar Gendhis, “Gendhis!” nihil, sepupunya itu memang tidak ada.

Winarsih kembali ke ruang tengah, “Gendhis tidak ada Bu!” kata Winarsih, resah.

Bibi Jaitun seketika mencurigai bahwa Gendhis lah pelakunya, “Ini pasti ulah Gendhis! Dia pasti akan membunuh kita semua satu persatu!” ucapnya mengeratkan giginya, “Cari Gendhis sampai ketemu, Win!” titahnya pada Winarsih.

Winarsih segera menjalankan perintah Ibunya untuk mencari keberadaan Gendhis, yang entah pergi kemana!

~~

Bersambung

Terpopuler

Comments

Endang Purwati

Endang Purwati

ayo, gek lungo sing adooh gendhis.

ora usah mikirne wong3 toxic kui.


pasti ono dalam kanggo awakmu gendhis

2022-11-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!