~Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip.~
[ Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup. ]
~
Selamat membaca!
“Ibu...” lirih Gendhis menangis, meraung rintih dalam mengingat sosok seorang Ibu yang penuh dengan welas asih, yang selalu mendandaninya. Menyanggul rambutnya, memakaikannya jarik dan kemben.
“Romo....” lagi hanya untaian air mata, sang pengiring duka lara. Luka tak berdarah, namun mampu membuat Gendhis tertatih-tatih seperti bernanah, menjadi semakin antah-berantah.
Asap putih mengepul di atap-atap Pawon \[dapur\] yang sudah menghitam akibat pembakaran yang dihasilkan dari tungku perapian. Rumah bergaya Limasan, rumah khas masyarakat Jawa. Gendhis remaja duduk di depan tungku luweng, menerawangkan pandangannya menatap api yang di hasilkan dari pembakaran kayu.
Meskipun demikian, penggunaan minyak tanah dan kompor sudah ada di desanya. Namun, Bibi Gendhis yang bernama Jaitun ini sangat pelit meskipun peternakan sapi milik Bibi dan Paman Gendhis cukup makmur. Namun, Bibi Jaitun masih mempertahankan kayu bakar.
Melihat kepulan asap putih keabu-abuan dari luweng. Mengingatkan Gendhis pada sosok sang Ibu, saat ia di manja, di belai lembut oleh tangan Ibu Sriyandini. Dan kini kenangan manis nan indah itu hanya tinggal kenangan tragis yang masih tersimpan rapat nan jelas di memori Gendhis. Kenangan saat Gendhis mengkhayal tentang suatu pendidikan dan pernikahan yang manis.
\[Luweng merupakan tempat pembakaran. Luweng biasanya digunakan untuk memasak. Dan alat ini, masih sering dipakai oleh masyarakat di pedesaan sejak zaman dahulu. Cara membuat kerajinan tanah liat ini sangat mudah. Sebab, bentuknya seperti tungku. Namun hanya saja, bentuknya sedikit memanjang dibandingkan dengan tungku.\]
Tapi kini, hidupnya tak jauh beda dari seorang pengemis!
Saat usia Gendhis tujuh tahun, sang Ayah meninggal karena serangan jantung dan menyusul satu tahun berikutnya sang Ibu pun meninggal karena penyakit aneh di usia Gendhis yang baru genap delapan tahun.
Kini, Gendhis hanya bisa mengharap iba pada Paman dan Bibinya, mengharap ada pengayom yang rela menghidupinya. Namun, itu hanya harapan dan angan-angannya saja, ketika dunia tak seindah apa yang diharapkan. Karena Paman dan Bibiknya hanya menganggap Gendhis sebagai beban.
Kenyataannya, meskipun tinggal bersama Paman dan Bibinya, ada harga yang harus di bayar mahal untuk mendapatkan sesuap nasi.
Setidaknya, setiap hari Gendhis harus mencari rerumputan empat karung dalam sehari untuk pakan sapi-sapi milik Paman dan Bibinya, ia juga harus memberi makan bebek yang jumlahnya sampai ribuan.
Bukan hanya itu, selama sebelas tahun Gendhis harus menjadi pemerah susu sapi, bahkan ia pernah di tendang oleh sapi-sapi yang mengamuk saat Gendhis baru memegang ujung penttil dari si sapi. Hingga menyebabkan luka yang membekas di keningnya.
Luka yang menambah penderitaan untuk Gendhis, wajahnya yang dulu mungil, cantik. Kini, bagaikan tiada lagi yang bisa di pandang dari seorang gadis bernama lengkap Gendhis Apsarini Pramesti!
Di era modernisasi di awal tahun sembilan puluhan ini, Gendis bukan hanya sekedar menjadi babu kongkongan \[pembantu\] Paman dan Bibinya, lebih dari itu. Ia menjadi budak hanya untuk dua porsi nasi siang dan sore. Ya, Kendati demikian Ia sudah bekerja keras, nyatanya jatah yang di dapatkan Gendhis hanya dua porsi nasi dengan lauk ala kadarnya. Bahkan kadang, tanpa lauk!
Jika bisa di jabarkan, Gendhis yang malang, ia lelah menghadapi Paman dan Bibinya. Namun, ia tak punya saudara lainnya. Gendhis berpikir, mengapa Bibi, adik dari mendiang Ibunya harus memperlakukannya dengan cara seperti budak!
Gendhis ingin lari, ingin pergi. Atau bila perlu, ia ingin menyusul Romo \[Ayah\] dan Ibunya.
Pernah mencoba untuk kabur saat usianya menginjak empat belas tahun. Namun, Pamannya berhasil menemukannya di desa sebelah. Gendhis mendapatkan hukuman dari Bibi Jaitun, ia di gantung dengan kakinya yang di atas sedang kepalanya di bawah. Benar-benar membuatnya merasa sangat menderita, sampai muntah darah!
Setelah di telisik, silsilah suami dari Bibi Jaitun memiliki ras dari seorang Veteran Jepang. Maka dari itu, Paman yang bernama lengkap Martana asashimoto ini sangat kejam.
Namun, ada yang membuat Gendhis bersyukur dari kaburnya lima tahun lalu. Karena itulah Gendhis mengenal seorang teman bernama Guntur.
Dan Guntur juga seorang penggembala kambing akan tetapi nasib Guntur lebih beruntung. Karena Guntur menggembalakan kambing milik orangtuanya dan di perbolehkan sekolah.
Dari seorang Guntur inilah Gendhis dapat berbagi pengetahuan tentang persoalan pendidikan negeri. Karena Bibi Jaitun melarang keras, untuk Gendhis bersekolah.
Kala mengingat semua penderitaan yang tidak berkesudahan, membuat Gendhis merasa hidupnya tidak berarti apa-apa! Ia kangen Ibu dan Romo nya.
“GENDHIS!!!”
Teriakkan Bibi Jaitun membuyarkan lamunan Gendhis, wanita berusia empat puluh tahun itu, selalu berbicara dengan nada keras dan tegas. Bukan, bukan hanya tegas, tapi lebih dari itu. Bibi Jaitun memanglah galak dan sangar.
“I-iya Bi!” sahut Gendhis, lalu mengangkat wajan berisikan masakan tempe bacem dari atas luweng. Agar tidak gosok, jikalau di tinggal.
Cepat-cepat Gendhis menyeka air matanya, tanpa sadar langes \[warna hitam dari tungku perapian\] mengotori wajahnya yang tidak terawat. Jangankan untuk merawat diri, untuk menyisir rambutnya pun ia tak mempunyai kesempatan waktu untuk itu, hanya sanggul ala kadarnya. Bisa di ibaratkan Gendhis adalah seorang wanita yang berparas buruk rupa! Jelek dan tidak sedap di pandang mata.
Bahkan, untuk sehelai pakaian yang layak pun Gendhis tidak punya. Setiap harinya, Gendhis hanya memakai kain jarik dan kemben, serta rambut yang di sanggul tak beraturan.
Gendhis berjalan dengan sangat tergesa-gesa, atau kalau ia tidak segera tiba di hadapan wanita itu, Gendhis tidak akan mendapatkan jatah makannya. Karena, kehidupan Gendhis tak jauh beda pada saat bumi Nusantara di jajah Jepang di tahun 1942.
Karena tidak hati-hati, Gendhis menyenggol kendil kecil, untung saja kendil itu tidak pecah. \[Kendil kecil, adalah kerajinan dari tanah liat, atau biasa disebut gerabah\]
“Apa itu yang jatuh Gendhis? Kalau sampai pecah, jangan harap kamu bisa makan!” teriak Bibi dari ruang tamu.
“Bu-bukan apa-apa Bi.” Sahut Gendis, gagap. Lantas membenarkan kendil yang jatuh. Sungguh aktivitasnya harus cepat dan hati-hati dalam setiap langkah di dalam rumah Limasan Bibi Jaitun. Gendhis seolah berada di lingkaran api neraka, yang bisa menghanguskannya dalam sekejap mata.
“A-ada apa Bibi memanggil ku?” tanya Gendhis, tergagap. Hanya sekilas ia melihat kedua tamu yang duduk di kursi kayu jati. Secepatnya Gendhis kembali menundukkan pandangan. Karena ia memang tidak berani menatap wajah garang Bibi Jaitun.
“Sini kamu!” sungut Bibi Jaitun, mengibaskan tangannya, agar keponakannya itu mendekat.
Masih dengan wajah yang tertunduk, Gendhis berjalan mendekati Bibi Jaitun. Namun, ia berhenti lantas menekuk lututnya dengan jarak satu meter, ia tidak berani mendekati Bibinya, karena Bibi Jaitun selalu memukul kepala Gendhis jika duduk bersebelahan dengan wanita sangar itu.
Benar saja meskipun Gendhis berlutut dari jaraknya satu meter dengan wanita sangar itu. Tangan Bibi Jaitun masih mampu menggeplak ujung kepala Gendhis.
Plak...
"Reneo koe adoh men to!" sentak Bibi Jaitun.
\*\[Sinian kamu jauh banget sih!\]
Bibi Jaitun menggeplak ujung kepala Gendis, namun ia pandai menutupi kebusukannya kepada setiap tamu yang datang, seolah ia adalah Bibi Jaitun yang penyayang. Dengan jijik, Bibi Jaitun mengusap rambut Gendhis yang terasa lengket; “Ini adalah keponakan ku satu-satunya, dia bisa bekerja apa saja,”
Dengan setengah keberaniannya, Gendhis melihat kedua pria sangar yang menjadi tamu Bibi Jaitun. Ia memutar otaknya, dan mengingat siapa kedua pria itu. Mereka adalah preman di pasar Beringharjo yang selalu membuat keonaran! Yah, Gendhis mengingatnya dengan jelas, karena pada saat kedua preman itu berulah. Gendhis berada di tempat kejadian saat menjual susu sapi perah.
“Dia bisa menjadi pelayan untuk melakukan hal apapun, dia juga sudah akhir baligh, bisa untuk melayani pemuas nafsuu,” ujar Bibi Jaitun.
Gendhis tercengang, dan beberapa kali mengerjapkan matanya, mendengar perkataan Bibi Jaitun. "*Opo meneh iki? \[Apa lagi ini*?\]"
Salah satu preman ini tersenyum menyeringai menatap Gendhis. Namun, agaknya temannya yang satu lagi tidak menyetujui pendapat Bibi Jaitun.
“Bagaimana bisa kamu menebus suamimu dengan gadis buruk rupa ini. Penampilannya juga ora ayu \[tidak cantik\], awud-awudtan!” bentak preman, “Mana mungkin bisa di jual di rumah bordil!” sambungnya bersungut-sungut.
Gendhis masih menunduk seraya membelalakkan matanya, "*Apa! Rumah bordil*!" kejutnya dalam hati.
\*\*\*
Bersambung...
Jejake Sedulur... Ben atiku ayem, karyaku yo lancar... -\_-
Gendhis masih menunduk seraya membelalakkan matanya, "Apa! Rumah bordil!" kejutnya lirih.
~~
Gendhis pernah mendengar Ayahnya yang seorang sejarawan dalam membahas mengenai rumah bordil! Ia masih mengingat jelas setiap sejarah yang pernah di ceritakan oleh Romo Gandhi dahulu. Kendati usianya kala itu baru tujuh tahun, namun Gendhis ingat apa yang Romonya pernah ceritakan.
Bahwa rumah bordil adalah rumah yang di jadikan sebagai tempat pelacuran bagi tentara Jepang di tahun-tahun penjajahan Negara yang terkenal gunung fujiama itu.
“Te-tenang!” kata Bibi Jaitun gemetar, “Dengan sedikit polesan dia bisa jadi cantik,” bujuk rayunya, agar kedua pria itu mau membebaskan suaminya yang ditahan oleh rentenir kejam di daerahnya tinggal dan menjadikan Gendhis sebagai jaminan.
Bibi Jaitun, mendekati kedua preman itu, dan kemudian berbisik pelan, “Dia masih perawan! Pasti bisa di jual mahal!”
“Tenan Iki?! [Beneran ini]” Kedua preman ini pun manggut-manggut, dan mengatur siasat untuk kesepakatan bersama dengan Bibi Jaitun.
“Bener loh yah, masih perawan? Awas kalau kamu bohong!” ancam preman menunjuk Bibi Jaitun garang.
Bibi Jaitun mengangguk cepat, “Beneran! Buat apa aku bohong! Toh suamiku lebih berharga daripada si keponakan tidak guna ini!”
Gendhis mulai kalang kabut, tatkala kedua preman sangar itu mengiyakan bujuk rayu Bibi Jaitun. Ia mulai mencari akal, dan pemikiran cerdik. "Ayo Gendhis, ayo mikir! Mikir biar ndak di bawa ke rumah bordil! Ayo Gendhis!"
Dalam hati, Gendhis terus menerus komat kamit, untuk mencari ide luar biasa! Ide gila yang membuat kedua preman tidak membawanya. "Romo, Ibu. Tolong Gendhis! Tolong anakmu!"
Seperti kejatuhan gong paling besar, Gendhis menemukan Ide...
Duang! Sebuah ide brilian muncul begitu saja dalam pikiran Gendhis untuk bertindak selayaknya seseorang yang kesurupan, “Aaaa....” teriak Gendhis sekuat tenaga, lalu mencakari dirinya sendiri, dan mengacak-acak rambutnya secara brutal. Meskipun bodoh, dan tidak berpendidikan, namun ada satu hal yang ingin Gendhis jaga. Yaitu, harga dirinya! Kehormatannya! Ia tidak mau menjadi budak sekss untuk para pria hidung belang!
Seperti yang sudah di duga oleh Gendhis. Kedua preman serta Bibi Jaitun melihat Gendhis seperti orang kesurupan.. Atau lebih berspekulasi memandang orang yang mempunyai gangguan mental!
“Loh! Loh! Ono opo iki, Tun! [Ada apa ini, Tun]” tanya salah satu preman, kepada Bibi Jaitun.
Bibi Jaitun menghampiri Gendhis, “ Dis! Hey Gendhis?! Koe ngopo toh?! [Kamu kenapa sih?!]”
“Bahahaha...” Gendhis tertawa cekikikan. Dan merubah menjadi tertawa lebar. Bukan hanya tertawa di mulutnya, ia juga tertawa dalam hati, saat netranya sekilas melihat kedua preman dan Bibi Jaitun yang tengah memperhatikan sikapnya..
“Ahahaha... Aku bisa melihat kalian akan mati! Hahaha!!” lagi Gendhis meracau lepas sambil tertawa-tawa. Menunjuk satu persatu preman yang terlihat bingung dengan situasi yang tiba-tiba berubah haluan.
“Dasar Jaitun! wanita gila kamu tawarkan jadi gundik!” bentak preman kepada Bibi Jaitun.
“Heh-hey tunggu, jangan pergi. Dia ndak gila! Dia cuma pura-pura” kata Bibi Jaitun menahan kedua preman yang akan meninggalkan ruang tamunya.
Kedua preman ini berhenti, dan melihat Jaitun serta Gendhis yang masih terlihat ngamuk-ngamuk dan berteriak sambil mencakari dirinya sendiri.
Plak... Plak... Bibi Jaitun melayangkan tamparan keras di pipi keponakannya yang sedang berteriak-teriak sambil tertawa-tawa. Bukan hanya menampar, Bibi Jaitun juga menjambak kuat rambut lepek Gendhis, “Heh, Gendhis! Kamu jangan bikin malu yah! Aku tau kamu cuma pura-pura gila, Gendhis!”
Gendhis masih sama, ia mempertahankan kehormatannya dengan berpura-pura menjadi gila! Ia tidak ingin di jual, di gadaikan, ataupun di perdagangkan. Karena setiap wanita pantas memiliki hak atas dirinya sendiri.. “Hahaha... Aku mau wayang golekku..”
Kelakuan Gendhis, membuat Bibi Jaitun semakin berang! Plak .. untuk ketiga kalinya Bibi Jaitun melayangkan tamparan keras di pipi keponakannya.
“Sudahlah Jaitun, kalau memang keponakan mu gila, ya tetap gila!” kata salah seorang preman kepada Bibi Jaitun, “Ayo, Njul. Kita pergi!” ajak seorang preman kepada temannya. Kedua preman pun pergi dari kediaman Bibi Jaitun yang masih sangat marah terhadap keponakannya.
Setelah kedua preman itu pergi...
Pukulan dan sabetan dari kayu rotan lagi-lagi Gendhis terima. Seluruh tubuhnya babak belur di hajar oleh Bibi Jaitun. Menangis pun percuma, karena Bibinya tidak akan selesai memukulinya sampai Gendhis berdarah-darah.
Watak dan perangai Bibi Jaitun murka, sangat murka laksana Rahwana. Sedikit pun Bibi Jaitun tidak merasa iba pada keponakannya, *"Kapok ora koe hah! Kapok ora?! Kenopo, kenopo koe itok-itok kesurupan! Koe ra mikir balas budi karo awakku seng wes ngurusi koe awet cilik tekan gedi semene, hah! Kapok ora koe!"
*[Kapok tidak kamu, hah! Kapok tidak?! Kenapa, kenapa kamu pura-pura kesurupan! Kamu tidak mikir balas budi sama aku yang sudah ngurusi kamu dari kecil sampai besar ini, hah! Kapok tidak kamu!]
Maki Bibi Jaitun berang, dengan menyabetkan kayu rotan ke seluruh tubuh Gendhis.
Blezzhhh... Untuk kesekian kalinya sabetan rotan mengayun di punggung Gendhis. Sebisa mungkin ia tahan meskipun sangat panas, sakit dan perih, namun sesaat kemudian ada hal yang mendorongnya untuk menangkap kayu rotan yang di ayunkan oleh tangan Bibi Jaitun. Gendhis berbalik badan tangannya mengayun lantas meraih rotan, dan kemudian menghempaskannya begitu saja.
Mata Bibi Jaitun terbelalak menatap Gendhis yang telah berani menangkap rotan yang sedang ia sabetkan!
"Cukup Bi! Apa pikir Bibi selama ini baik sama Gendhis? Tidak Bi, Bibi Jaitun selalu memperlakukanku seperti seorang budak, Bibi Tidak pernah menganggap ku keponakan Bibi, bahkan Bibi dengan kejamnya akan menyerahkan ku sebagai tebusan Paman ke rumah pelacurann! Tidak Bik! Tidak!” bentak Gendhis, sekuat tenaga sampai urat syarafnya menegang di lehernya, rasa panas menjalari kelopak matanya.
Bibi Jaitun terperangah melihat keberanian Gendhis, Jaitun berkata dalam hati, "Tahu dari mana dia tentang rumah bordil adalah rumah pelacurann? Bahkan selama ini ke kota pun bersamaku, dan Cuma ke pasar aku membawanya."
Bibi Jaitun menjambak rambut keponakannya. Hingga Gendhis mengangkat wajahnya sempurna mendongak ke atas! “Tau apa kamu tentang pelacurann, hah?! Tau apa kamu mengenai rumah bordil! Yang kamu tau itu cuma cari rumput!”
Bibi Jaitun menghempaskan Gendhis begitu saja. Sampai wajah Gendhis hampir menyentuh tanah Pawon.
Gendhis enggan menjawab perkataan Bibi Jaitun yang terlihat sangat marah, mengenai darimana ia tahu tentang rumah haram itu!
“Jangan harap Gendhis mau menjadi tebusan untuk Paman Martana, Bik! Karena sampai kapan pun Gendhis tidak akan mau menjadi wanita penghibur!” tukas Gendhis dengan gigi yang dikeratkan.
Mendengar kata demi kata penolakan terlontar dari mulut berdarah Gendhis, membuat Bibi Jaitun murka! Bibi Jaitun kembali menarik rikma Gendhis dengan sangat kuat, *"Wani- wani koe yo karo aku! Wani koe karo wong seng berjasa Karo uripmu?! Yen ora ono aku, koe wes mati, kimutan ora koe, koe meh mati, Gendhis! Omah wongtoumu wes ambruk, koe ra due panggonan!"
*[Berani-berani kamu ya sama aku! Berani kamu sama orang yang berjasa sama hidupmu?! Kalau tidak ada aku, kamu sudah mati! Ingat tidak kamu, kamu hampir mati, Gendhis! Rumah orangtuamu sudah ambruk, kamu tidak punya tempat tinggal!]
Yah, tentang jasa dan balas budi? Lagi-lagi menjadi momok yang selalu di ungkit-ungkit oleh sebagian orang. Terlebih-lebih Bibi Jaitun.
***
Bersambung
Yah, tentang jasa dan balas budi? Lagi-lagi menjadi momok yang selalu di ungkit-ungkit oleh sebagian orang. Terlebih-lebih Bibi Jaitun.
~~
Sedikit maupun banyak namanya pemberian pasti suatu saat nanti akan di ungkit-ungkit.
Namun, seburuk apapun perlakuan Bibik Jaitun padanya, Gendhis tidak pernah lupa pada jasa Bibi Jaitun yang sudah menolongnya, ketika rumah peninggalan orangtuanya ambruk akibat tidak terawat pasca meninggalnya sang Ayah. Tapi, Gendhis juga tak menerima jika Bibi Jaitun akan menjualnya ke rumah bordil!
“Gendhis masih ingat Bi, Gendhis ingat jelas. Bibi adalah orang yang sudah berjasa menolong ku, tapi jangan anggap Gendhis ini sama seperti wanita nakal yang ada di rumah bordil itu, Bi!” Rintih Gendhis menahan tangan Bibinya, agar tidak menarik lagi rambutnya terlalu kuat.
Bibi Jaitun membuang ludahnya, ke lantai tanah dapur; “Cuwihh... Lagian kamu itu kalau ndak jadi wanita nakal, mau jadi apa kamu hah?! Apa yang bisa di banggakan dari wajah buruk rupa sepertimu, lagian di sana kamu bakalan enak-enak, tidak perlu kerja capek-capek, banyak duit juga!”
Air mata mulai membasahi kelopaknya, Gendhis merasa hidupnya memang tidak berarti apa-apa, tapi bukan berarti ia akan pasrah saja dengan tindakan Bibi Jaitun yang akan menjadikannya wanita pemuas nafsuu! Sedangkan cita-cita, dan cinta Gendhis begitu tinggi. Meskipun nantinya hanya bayangannya saja.
“Tapi Bi. Setidaknya biarkan Gendhis mempertahankan kehormatan ini! Inilah satu-satunya hal yang ingin Gendhis pertahankan, biar pun Gendhis jelek, hitam, dekil, tidak cantik. Tapi Gendhis mau menjaga harga dan martabat Gendhis sebagai seorang wanita, Bi!” ujar Gendhis, dengan suara memelas, sambil menangkupkan kedua tangannya didepan dada. Mengharap agar bisa menyentuh belas kasihan dari Bibinya. Kendati hanya secuil.
*"Halah! Koe ki yen ngomong asal nggo dengkul!" tidak cukup menjambak rambut Gendhis, Bibi Jaitun menampar keras pipi keponakannya itu tanpa rasa belas kasih. Plak... “Ingat ya Gendhis, kamu itu harus balas jasa mu sama aku, kamu harus manut saja, mengerti! Besok sore, germo Roselin akan datang kesini untuk menjemput mu, kamu harus mandi terus dandan seng ayu! [Yang cantik!]”
*[Kamu itu kalau bicara suka pakai lutut]
Terhempasnya Gendhis, lagi ia bersimpuh di lantai tanah dapur. Gendhis mengusap sudut bibirnya yang berdarah, tangannya beralih meraba pipinya yang serasa memanas akibat tamparan keras dari tangan Bibi Jaitun. Eluhnya semakin deras, tak tertahankan lagi kesedihan yang menjalari sanubari hatinya.
“Jangan bawa Gendhis ke rumah bordil Bibik, Gendhis mohon.” dengan segenap hati Gendhis memohon kepada Bibiknya yang bernama Jaitun.
“Halah, nurut saja kamu! Kalau kamu jadi pelac*r kan hidup mu nanti enak!” bentak Bibik Jaitun.
Gendhis menangis mengharap iba seraya menangkupkan kedua tangannya memohon agar Bibiknya tidak membawanya ke rumah bordil, “Gendhis mohon Bibik.”
“Ibu, ada apa ini?!” seru seorang remaja seusia Gendhis, berdiri di tengah-tengah pintu masuk dapur.
Bibi Jaitun berkacak pinggang, memutar kepalanya menatap anaknya yang baru pulang dari sanggar tari, “Winarsih,”
Gadis remaja berpakaian dress retro ini mendekat serta menyalami tangan Ibunya, ia melihat Gendhis dan beralih menatap Ibunya, “Memangnya keributan apa lagi yang di lakukan Gendhis, sampai Ibu semarah ini?”
“Ini si Gendhis, Win. Bisa-bisanya dia melupakan jasa-jasa Ibu, dia tidak mikir kenapa dia bisa hidup sampai sekarang, itu karena jasa Ibu!” kata Bibi Jaitun, menunjuk-nunjuk kepala Gendhis.
Winarsih menghela nafasnya, “Memang harus dengan cara kekerasan seperti ini, Bu?”
“Dia kalau tidak di kerasin tidak bakalan nyaut otaknya! Tau sendiri kalau dia itu bodoh!” maki Bibi Jaitun, dengan suara sedikit melunak.
Winarsih berniat menghampiri sepupunya, namun sebelum ia mengulurkan tangannya membantu Gendhis untuk berdiri, suara peringatan Ibunya menghentikan tangannya yang hampir menyentuh lengan Gendhis.
“Winarsih! Jangan nolongin dia! Biarkan dia di situ sampai besok, bahkan kalau bisa sampai mati pun tidak pa-pa!” sentak Bibi Jaitun, mempelototi Winarsih.
“Ibu.” Kata Winarsih menatap sang Ibu dan beralih menatap Gendhis, seolah memberi isyarat kata 'maaf' yang mengejek pada sepupunya.
“Sudah tinggalkan saja dia!” Bibi Jaitun pun mengalungkan tangannya di lengan putri satu-satunya. Lantas membawanya pergi dari dapur.
Gendhis menatap kepergian Bibi Jaitun dan Winarsih. Ia tidak mengerti, dengan peranan sepupunya itu, terkadang baik terkadang tak jauh berbeda dari Bibi Jaitun. Sekuat tenaga, Gendhis mencoba untuk berdiri karena badan yang babak belur akibat pukulan-pukulan yang di layangkan Bibi Jaitun.
Tertatih menyeret langkah kakinya, seraya membenarkan kain jariknya yang sudah lusuh dan beberapa bagian sudah bolong-bolong. Saat seperti ini, Gendhis akan berjalan ke belakang rumah. Memandang lurus kearah pepohonan rindang seperti alas kecil di belakang rumah Bibi Jaitun yang berjarak lima belas meter dari belakang rumah Bibinya.
Ingin rasanya meninggalkan rumah Bibi Jaitun, ingin rasanya terbebas, terlepas dari jeratan Bibi yang kejam itu. Satu kali pernah kabur namun gagal, dan akhirnya Gendhis mendapatkan hukuman yang menyakitkan membuatnya trauma.
Hukuman yang di berikan oleh Bibi Jaitun dan Paman Martana membuat Gendhis takut, benar-benar mengerikan. Di gantung dengan cara terbalik, serta di sabet dengan menggunakan kayu rotan. Membuat Gendhis berdarah-darah.
“Romo, Ibu! Gendhis kangen. Kenapa kalian pergi tanpa membawa Gendhis. Benarkah Romo sama Ibu menyayangi Gendhis...” tangisnya kembali pecah, kala membayangkan sosok kedua orangtuanya.
Gendhis merunduk lusuh, darah segar melumuri telapak tangannya yang baru saja ia gunakan untuk mengelap sudut bibirnya. Seperti inikah cara ia bertahan hidup? Harus dengan cara inikah? Tidak bisakah nasib berkata lain? Mengapa harus ia yang menjalani? Ia merasa tidak adil!
Ia menadahkan wajahnya menatap langit biru yang mempesona mata, beberapa burung beterbangan ke sana kemari. “Ingin sekali rasanya aku menjadi burung, yang bebas terbang kemanapun sayapnya ia kepakkan!”
Sudah waktunya untuk memberikan makan-makan sapi dan bebek, tidak ingin lagi mendapatkan pukulan. Gendhis mencoba untuk bangkit dari rasa sakit di sekujur tubuhnya yang mendapat luka sabetan.
Berjalan sempoyongan menuju rerumputan yang ada di dalam karung. Ia mengambil setangkup rumput lalu ia berikan kepada sapi-sapi pedhet [anakan sapi]. Air mata tak dapat ia bendung, ia menangis tapi tak bersuara.
“Sapi, makan yang banyak yah. Kalau aku sudah pergi dan bebas dari sini. Jangan jadi sapi kurus yah,” Gendhis menatap belakang rumah Bibiknya, “lihat saja nanti, aku pasti akan bebas dari sini!” lalu kemudian mengalihkan atensinya menatap langit biru yang memperlihatkan awan-awan berarak seperti kapas, “Akan pasti bisa seperti burung bebas yang terbang tanpa rasa takut, aku akan buktikan ketika waktunya tiba. Aku tidak akan pernah melupakan perlakuan buruk bibi dan paman padaku, terlebih lagi kamu Winarsih. Ejekan mu padaku, suatu saat pasti akan kembali padamu! Aku janji!”
Menangis sesenggukan, menarik nafas yang serasa tersengal-sengal. Gendhis bertekad, bukan, bukan hanya tekad. Akan tetapi ia pasti akan membuktikan kepada semua orang yang meremehkan dan memperlakukannya dengan buruk. Bahwa seorang Gendhis Apsarini Pramesti akan bisa terbebas meskipun harus berdarah-darah!
~~
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!