Gendhis masih menunduk seraya membelalakkan matanya, "Apa! Rumah bordil!" kejutnya lirih.
~~
Gendhis pernah mendengar Ayahnya yang seorang sejarawan dalam membahas mengenai rumah bordil! Ia masih mengingat jelas setiap sejarah yang pernah di ceritakan oleh Romo Gandhi dahulu. Kendati usianya kala itu baru tujuh tahun, namun Gendhis ingat apa yang Romonya pernah ceritakan.
Bahwa rumah bordil adalah rumah yang di jadikan sebagai tempat pelacuran bagi tentara Jepang di tahun-tahun penjajahan Negara yang terkenal gunung fujiama itu.
“Te-tenang!” kata Bibi Jaitun gemetar, “Dengan sedikit polesan dia bisa jadi cantik,” bujuk rayunya, agar kedua pria itu mau membebaskan suaminya yang ditahan oleh rentenir kejam di daerahnya tinggal dan menjadikan Gendhis sebagai jaminan.
Bibi Jaitun, mendekati kedua preman itu, dan kemudian berbisik pelan, “Dia masih perawan! Pasti bisa di jual mahal!”
“Tenan Iki?! [Beneran ini]” Kedua preman ini pun manggut-manggut, dan mengatur siasat untuk kesepakatan bersama dengan Bibi Jaitun.
“Bener loh yah, masih perawan? Awas kalau kamu bohong!” ancam preman menunjuk Bibi Jaitun garang.
Bibi Jaitun mengangguk cepat, “Beneran! Buat apa aku bohong! Toh suamiku lebih berharga daripada si keponakan tidak guna ini!”
Gendhis mulai kalang kabut, tatkala kedua preman sangar itu mengiyakan bujuk rayu Bibi Jaitun. Ia mulai mencari akal, dan pemikiran cerdik. "Ayo Gendhis, ayo mikir! Mikir biar ndak di bawa ke rumah bordil! Ayo Gendhis!"
Dalam hati, Gendhis terus menerus komat kamit, untuk mencari ide luar biasa! Ide gila yang membuat kedua preman tidak membawanya. "Romo, Ibu. Tolong Gendhis! Tolong anakmu!"
Seperti kejatuhan gong paling besar, Gendhis menemukan Ide...
Duang! Sebuah ide brilian muncul begitu saja dalam pikiran Gendhis untuk bertindak selayaknya seseorang yang kesurupan, “Aaaa....” teriak Gendhis sekuat tenaga, lalu mencakari dirinya sendiri, dan mengacak-acak rambutnya secara brutal. Meskipun bodoh, dan tidak berpendidikan, namun ada satu hal yang ingin Gendhis jaga. Yaitu, harga dirinya! Kehormatannya! Ia tidak mau menjadi budak sekss untuk para pria hidung belang!
Seperti yang sudah di duga oleh Gendhis. Kedua preman serta Bibi Jaitun melihat Gendhis seperti orang kesurupan.. Atau lebih berspekulasi memandang orang yang mempunyai gangguan mental!
“Loh! Loh! Ono opo iki, Tun! [Ada apa ini, Tun]” tanya salah satu preman, kepada Bibi Jaitun.
Bibi Jaitun menghampiri Gendhis, “ Dis! Hey Gendhis?! Koe ngopo toh?! [Kamu kenapa sih?!]”
“Bahahaha...” Gendhis tertawa cekikikan. Dan merubah menjadi tertawa lebar. Bukan hanya tertawa di mulutnya, ia juga tertawa dalam hati, saat netranya sekilas melihat kedua preman dan Bibi Jaitun yang tengah memperhatikan sikapnya..
“Ahahaha... Aku bisa melihat kalian akan mati! Hahaha!!” lagi Gendhis meracau lepas sambil tertawa-tawa. Menunjuk satu persatu preman yang terlihat bingung dengan situasi yang tiba-tiba berubah haluan.
“Dasar Jaitun! wanita gila kamu tawarkan jadi gundik!” bentak preman kepada Bibi Jaitun.
“Heh-hey tunggu, jangan pergi. Dia ndak gila! Dia cuma pura-pura” kata Bibi Jaitun menahan kedua preman yang akan meninggalkan ruang tamunya.
Kedua preman ini berhenti, dan melihat Jaitun serta Gendhis yang masih terlihat ngamuk-ngamuk dan berteriak sambil mencakari dirinya sendiri.
Plak... Plak... Bibi Jaitun melayangkan tamparan keras di pipi keponakannya yang sedang berteriak-teriak sambil tertawa-tawa. Bukan hanya menampar, Bibi Jaitun juga menjambak kuat rambut lepek Gendhis, “Heh, Gendhis! Kamu jangan bikin malu yah! Aku tau kamu cuma pura-pura gila, Gendhis!”
Gendhis masih sama, ia mempertahankan kehormatannya dengan berpura-pura menjadi gila! Ia tidak ingin di jual, di gadaikan, ataupun di perdagangkan. Karena setiap wanita pantas memiliki hak atas dirinya sendiri.. “Hahaha... Aku mau wayang golekku..”
Kelakuan Gendhis, membuat Bibi Jaitun semakin berang! Plak .. untuk ketiga kalinya Bibi Jaitun melayangkan tamparan keras di pipi keponakannya.
“Sudahlah Jaitun, kalau memang keponakan mu gila, ya tetap gila!” kata salah seorang preman kepada Bibi Jaitun, “Ayo, Njul. Kita pergi!” ajak seorang preman kepada temannya. Kedua preman pun pergi dari kediaman Bibi Jaitun yang masih sangat marah terhadap keponakannya.
Setelah kedua preman itu pergi...
Pukulan dan sabetan dari kayu rotan lagi-lagi Gendhis terima. Seluruh tubuhnya babak belur di hajar oleh Bibi Jaitun. Menangis pun percuma, karena Bibinya tidak akan selesai memukulinya sampai Gendhis berdarah-darah.
Watak dan perangai Bibi Jaitun murka, sangat murka laksana Rahwana. Sedikit pun Bibi Jaitun tidak merasa iba pada keponakannya, *"Kapok ora koe hah! Kapok ora?! Kenopo, kenopo koe itok-itok kesurupan! Koe ra mikir balas budi karo awakku seng wes ngurusi koe awet cilik tekan gedi semene, hah! Kapok ora koe!"
*[Kapok tidak kamu, hah! Kapok tidak?! Kenapa, kenapa kamu pura-pura kesurupan! Kamu tidak mikir balas budi sama aku yang sudah ngurusi kamu dari kecil sampai besar ini, hah! Kapok tidak kamu!]
Maki Bibi Jaitun berang, dengan menyabetkan kayu rotan ke seluruh tubuh Gendhis.
Blezzhhh... Untuk kesekian kalinya sabetan rotan mengayun di punggung Gendhis. Sebisa mungkin ia tahan meskipun sangat panas, sakit dan perih, namun sesaat kemudian ada hal yang mendorongnya untuk menangkap kayu rotan yang di ayunkan oleh tangan Bibi Jaitun. Gendhis berbalik badan tangannya mengayun lantas meraih rotan, dan kemudian menghempaskannya begitu saja.
Mata Bibi Jaitun terbelalak menatap Gendhis yang telah berani menangkap rotan yang sedang ia sabetkan!
"Cukup Bi! Apa pikir Bibi selama ini baik sama Gendhis? Tidak Bi, Bibi Jaitun selalu memperlakukanku seperti seorang budak, Bibi Tidak pernah menganggap ku keponakan Bibi, bahkan Bibi dengan kejamnya akan menyerahkan ku sebagai tebusan Paman ke rumah pelacurann! Tidak Bik! Tidak!” bentak Gendhis, sekuat tenaga sampai urat syarafnya menegang di lehernya, rasa panas menjalari kelopak matanya.
Bibi Jaitun terperangah melihat keberanian Gendhis, Jaitun berkata dalam hati, "Tahu dari mana dia tentang rumah bordil adalah rumah pelacurann? Bahkan selama ini ke kota pun bersamaku, dan Cuma ke pasar aku membawanya."
Bibi Jaitun menjambak rambut keponakannya. Hingga Gendhis mengangkat wajahnya sempurna mendongak ke atas! “Tau apa kamu tentang pelacurann, hah?! Tau apa kamu mengenai rumah bordil! Yang kamu tau itu cuma cari rumput!”
Bibi Jaitun menghempaskan Gendhis begitu saja. Sampai wajah Gendhis hampir menyentuh tanah Pawon.
Gendhis enggan menjawab perkataan Bibi Jaitun yang terlihat sangat marah, mengenai darimana ia tahu tentang rumah haram itu!
“Jangan harap Gendhis mau menjadi tebusan untuk Paman Martana, Bik! Karena sampai kapan pun Gendhis tidak akan mau menjadi wanita penghibur!” tukas Gendhis dengan gigi yang dikeratkan.
Mendengar kata demi kata penolakan terlontar dari mulut berdarah Gendhis, membuat Bibi Jaitun murka! Bibi Jaitun kembali menarik rikma Gendhis dengan sangat kuat, *"Wani- wani koe yo karo aku! Wani koe karo wong seng berjasa Karo uripmu?! Yen ora ono aku, koe wes mati, kimutan ora koe, koe meh mati, Gendhis! Omah wongtoumu wes ambruk, koe ra due panggonan!"
*[Berani-berani kamu ya sama aku! Berani kamu sama orang yang berjasa sama hidupmu?! Kalau tidak ada aku, kamu sudah mati! Ingat tidak kamu, kamu hampir mati, Gendhis! Rumah orangtuamu sudah ambruk, kamu tidak punya tempat tinggal!]
Yah, tentang jasa dan balas budi? Lagi-lagi menjadi momok yang selalu di ungkit-ungkit oleh sebagian orang. Terlebih-lebih Bibi Jaitun.
***
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Endang Purwati
berjasa?
wong gendhis saben dino, di pulosoro koyo kerjo jaman Jepang(alias romusha), sekolah ora,mangan enak ora, turu kepenak yo ora,
amergo menehi panggonan di enggo ngiyup, di arani berjasa? tenogone gendhis mbok pereesss..
sing kudune emut ki sliramu lo bibi jaitun 😁🤦♀️🤦♀️🤦♀️
2022-11-18
1
Endang Purwati
kak othor orang mana ini?
beda bngt sm cerita2 novel yg pernah sy baca.
tiap kata, tertata. dgn artikulasi yg jls. 👍👍👍💪
2022-11-18
1
Me mbaca
ayo lawan Gendhis...
2022-11-10
1