Adakah yang mengerti bahwasanya ia merasa sendiri di lalu lalang para santri. Adakah yang bisa memahami bahwasanya ia ingin pergi.
Diamatinya rumah yang berdinding anyaman bambu, dalam Bahasa Jawa disebut omah gedhek. Gendhis melihat empat rumah gedhek memanjang, salah satu dari rumah tersebut adalah kamar yang ditempatinya.
Entah rumah yang lain untuk apa? Mungkin saja rumah gedhek memanjang yang lain juga kamar dari para santriwati.
Kemudian dilihatnya juga ada tiga saung cukup lebar, terlihat di sana ada santri yang sepertinya sedang berkomat-kamit seraya memegang kitab kecil.
Gendhis mengartikan santri yang berada di saung sedang mengaji atau menghafal Al-Qur'an.
Dan beralih melihat sebuah mushola kecil yang berdinding tembok. Jaraknya lumayan jauh, namun masih satu area dengan pondok pesantren ini.
Lantas melihat kegiatan para santriwati di pagi hari ini, ada yang berseragam sekolah dari tingkat SMP sampai SMK yang hendak berangkat sekolah.
Ada yang hanya sekedar membersihkan halaman pondok dan ada juga yang membawa sejumlah alat seperti cangkul kecil dan cungkil serta terlihat ada yang membawa bibit tanaman kecil di dalam keranjang.
Diantara para Santri yang tidak melanjutkan sekolah, alias hanya mondok saja. Yang Gendhis lihat dari beberapa santriwati yang ada di halaman pondok pesantren, yang baru diketahui namanya adalah Sifa, Siti dan Maemunah.
Ketiga gadis yang seumuran dengannya sedang membawa cangkul dan bibit tanaman di keranjang.
Ingin rasanya bisa beraktivitas, namun kakinya tak bisa menahan rasa sakit akibat luka yang dijahit dan juga dibalut perban. Gendhis mencoba untuk bangkit, namun ia malah terjatuh di atas rerumputan halaman pondok.
Siti kebetulan sedang mengedarkan pandangannya, ia melihat Gendhis yang terjatuh, "Astaghfirullah, Gendhis!"
Siti segera berlari menghampiri Gendhis lantas ditaruhnya cangkul kecil yang sedang dibawanya di atas rerumputan, "Biar aku bantu kamu berdiri, Ndhis."
Dengan dibantu Siti, Gendhis duduk kembali di bangku kayu. "Makasih, Siti."
"Kamu sebenarnya mau kemana? Kan aku sudah bilang kalau kamu butuh apa-apa jangan sungkan untuk memberitahu ku," kata Siti, ikut duduk disebelah Gendhis.
"Aku hanya penasaran, melihat lalu lalang para santri di sini. Apa yang sedang mereka kerjakan?" jawab Gendhis seraya mengibaskan tangannya yang terluka secara perlahan yang didapatinya rerumputan liar menempel di telapak tangan.
Siti mengedarkan pandangannya menatap keseluruhan teman-teman mondoknya, "Oh, seperti biasa. Selain belajar ngaji dan menjadi hafiz Qur'an. Kami di sini, diajarkan untuk membuat kerajinan tangan dan juga bercocok tanam. Dan pagi ini, kami mau menanam bibit cabai di lahan pondok pesantren di sebelah kanan pondok,"
Siti menunjuk lahan di sebelah kanan pondok.
Gendhis merasa antusias mendengarkan penjelasan Siti, "Boleh aku ikut?"
Siti terdiam, dilihatnya tangan Gendhis yang masih ada beberapa luka-luka yang belum mengering. Lalu beralih ke kaki Gendhis yang di balut perban, "Tapi tangan dan kakimu terluka Ndhis,"
Gendhis meratapi dirinya, ada rasa kecewa.
"Tapi setelah kamu sembuh, aku bakal ajak kamu membuat kerajinan tangan. Kata Umi Salma besok kami mau membuat ilir," tukas Siti bersemangat.
Senyuman terpancar kembali di raut wajah Gendhis, "Benarkah?"
Siti mengangguk.
"Siti!" seru Sifa.
Siti menoleh kearah Sifa dan Maemunah, "Iya,"
"Cepetan keburu siang, kita harus menanam bibit cabai ini. Aku mau menghafal surah Al-Imran, buat setorin ke ustadzah Rahma!" kali ini Maemunah lah yang berkata.
"Iya." jawab Siti, ia kembali menatap Gendhis. "Ndhis, nanti aku ceritakan lagi yah, soalnya mereka udah nggak sabaran."
Gendhis mengangguk, setelah itu dilihatnya Siti yang berlalu dari hadapannya. Sifa dan Maemunah memang tidak seramah Siti. Tapi pasti ada alasannya. Gendhis menghela nafasnya.
~~
Siang menjelang. Tidak ada yang Gendhis lakukan setelah sarapan pagi dan makan siang. Ia sungguh malu untuk menerima begitu saja kebaikan Umi Salma.
Karena memang sambutan dari para santriwati tidaklah ramah.
Dan dari pagi sampai siang selain duduk di teras pondokan lalu kembali ke kamar dengan berjalan tertatih-tatih.
Meskipun sakit, namun Gendhis ingin menggerakkan bagian anggota tubuhnya yang selama empat hari sama sekali tidak bergerak, diharapkan supaya segera pulih total.
"Ndhis ayo sholat?" kata Siti.
Gendhis, tidak menjawab ajakkan Siti. Ia melihat jam dinding sudah pukul 11:00 wib. Ia terduduk lusuh di tepi ranjang.
Siti menyusul Gendhis duduk disebelah Gendhis yang menunduk lusuh, "Kenapa?"
Gendhis mengangkat wajahnya menoleh kearah Siti, "Aku tidak mempunyai mukenah, pakaian saja aku meminjamnya,"
Seulas senyuman menyungging di kedua sudut bibir tipis Siti, "Lah aku lupa," ia menggeplak jidatnya, lalu beranjak, "sebentar, aku mempunyai mukenah dua dan akan aku pinjamkan ke kamu."
Gendhis melihat kepergian Siti menuju lemari kayu yang tidak terlalu besar, Siti adalah satu-satunya orang yang sering mengajaknya berbicara. Dilihatnya Siti kembali menghampirinya dengan membawa mukena putih.
"Ini," Siti mengulurkan tangannya yang memegang mukena putih di hadapan Gendhis.
Ditatapnya mukena yang disodorkan Siti, Gendhis menadahkan wajahnya menatap Siti. "Memang tidak apa-apa, kalau aku pakai?"
Siti mengambil tangan Gendhis yang masih nampak ragu, "Pakailah Ndhis, dan sebaiknya kamu sholat saja di atas kasur dengan wudhu tayamum. Kalau kaki mu masih sakit,"
Gendhis berpikir dengan menatap Siti, "Apa itu tayamum?"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Arif Sunoe
suci dalam debu....
2022-11-06
1