Di saung yang biasa dipergunakan untuk mengaji, Maemunah dan Laras sedang duduk di tengah-tengah guru mengajinya.
Tak lain tak bukan adalah Ustadzah Rahma, Ustadzah Fadillah dan Umi Salma, serta Ustadzah Raniya.
Penampilan kedua gadis yang baru saja selesai bertarung di ring ladang samping kanan ponses ini terlihat sangat berantakan, meskipun sudah memakai kerudungnya kembali, namun tetap saja masih ada helai-helai rambut yang menjuntai keluar dari dalam kerudungnya.
"Saya heran sama kalian, Laras. Maemunah! Rumah kalian kan berdekatan, kenapa kalian ini malah berantem dan memberi contoh yang tidak baik untuk teman-teman kalian?" seru Ustazah Rahma melihat dua anak dirinya secara bergantian.
"Apa kalian tidak sadar, perilaku kalian mencerminkan bahwa kepribadian kalian yang tidak baik?" kata Ustadzah Raniya.
"Maemunah! Laras! Kalian harus menghafal surah Al-Imran dalam kurun waktu dua hari, dan hafalkan di hadapan saya," tegas Ustadzah Rahma, dalam memberikan hukuman yang sekiranya pas untuk memberi efek jera pada anak didiknya yang berbuat keonaran.
Laras maupun Maemunah membulatkan matanya, melihat Ustadzah Rahma.
"Tapi Ustadzah Rahma, bagaimana bisa saya menghafal 200 ayat dalam dua hari?" kata Maemunah.
"Benar Ustadzah, tidak bisakah memberikan saya hukuman membajak sawah atau ladang?" kata Laras.
"Itu hukum paling ringan yang saya berikan, kalau kalian tidak sanggup dalam menghafal dua hari. Maka akan saya kasih waktu satu hari untuk kalian menghafal seluruh surah Al-Imran." kata Ustadzah Rahma tegas.
Maemunah dan Laras terdiam.
Umi Salma heran dengan tingkah bertingkah laku anak-anak didiknya, beliau melihat satu persatu anak-anak yang melihat langsung pertikaian antara Laras dan Maemunah, namun beliau tak menjumpai Gendhis.
"Dimana Gendhis?" tanya Umi Salma tidak menjumpai gadis yang terluka itu.
Semua para santriwati celingukan tidak mendapati Gendhis.
"Tadi Afni lihat, Gendhis lari ke ladang persawahan Umi," kata murid bernama Afni.
"Umi minta tolong, cari Gendhis. Dia sedang terluka." kata Umi Salma.
Hampir semua santri pun meninggalkan area saung yang dipergunakan untuk keperluan mengaji dan berpencar mencari Gendhis.
~~
Duduk menyendiri di saung tengah persawahan. Memandangi hamparan tanaman padi yang memperkirakan berkisar satu bulan di tanam.
Tatapannya mengalih pada luka di kakinya yang kembali berdarah-darah dengan duduk menekuk kedua lututnya saling menghadap telapak kaki. Gendhis menghela nafas berat.
Sakit, perih, bukan hanya kakinya berdarah-darah, akan tetapi juga berlumpur. Perlahan Gendhis membersihkan tanah liat yang menempel di kakinya dan membersihkan darah dengan ujung gamis yang dipakainya.
Wajarkah bila ia marah atas tuduhan Laras yang sangat pedas itu. Wajarkah bila ia tidak mau disebut wanita murahan? Wajarkah ia menyanggah pendapat buruk orang lain terhadapnya.
Tapi?
Siapa Gendhis? Siapa yang akan percaya dengan kisah hidupnya? Siapa yang akan mau menjadi sepertinya? Siapa?
Bila Gusti Allah tidak memberinya kekuatan seperti dewi kesabaran, siapa yang mau diperbudak? Inikah kehidupan yang dijalani oleh para pemuda-pemudi pada saat penjajah menduduki jagat Nusantara?
Gendhis teringat akan cerita yang disampaikan Romo, bila di tahun-tahun negara lain menduduki ranah jagat Nusantara terkhusus Jepang menjajah negeri ini. Banyak sekali pemuda-pemuda yang diseret dari rumah-rumah warga untuk dijadikan perbudakan guna pembangunan. Sedangkan para pemudi-pemudi diseret untuk diperbudak sebagai wanita penghibur.
Kejam! Bukan hanya kejam, tapi Jepang sangat sadis!
Namun, pada 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki menjelang akhir Perang Dunia II. Bahkan dua operasi pengeboman yang menewaskan sedikitnya 129.000 jiwa ini merupakan penggunaan senjata nuklir masa perang untuk pertama kali dan satu-satunya dalam sejarah.
Beruntungkah Indonesia kala itu?
Kata Romo tidak serta merta membuat Indonesia sebegitu mudahnya merdeka. Belanda kembali ingin merebut Indonesia setelah bendera merah putih berkibar di tanggal 17 Agustus 1945.
Bergejolak dalam perebutan dan pemberontakkan panjang dari seluruh rakyat Indonesia kala itu. Bahkan banyak pahlawan Nasional Indonesia yang di bantai secara keji.
Kata Romo Gandhi. Dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI 1945-1949 peran Yogya tidak terbantahkan. Layaknya Ijab Kabul, bergabungnya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan menyerahkan kepemilikannya, sesuai dengan konsep Sultan HB IX Tahta untuk Rakyat berpandangan evolusi ke depan dan tidak tergilas oleh zaman.(*)
Yogyakarta juga berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan, ketika kota ini dijadikan sebagai ibu kota Indonesia selama hampir 4 tahun. Kota ini berhasil mempertahankan eksistensi Republik walaupun terus menerus menjadi sasaran penyerangan Belanda dalam Agresi Militer I dan II.
Mengingat kembali akan kisah perjuangan Indonesia yang diceritakan Romo Gandhi kepada Gendhis kala usianya masih sangat kecil. Namun, ingatan Gendhis yang sangat kuat membuat Gendhis melawan lupa.
Itulah kenangan termanis dari Almarhum Romoh Gandhi, dan kenangan termanis dari Ibu Sriyandini adalah Gending-gending Jawa yang sering di lantunkan dengan sangat merdu oleh Almarhumah Ibu Sriyandini yang notabene adalah seorang sinden kala pementasan wayang diadakan.
Gendhis masih ingat dengan sangat jelas. Tembang Macapat Asmarandana yang sering di nyanyikan Almarhumah Ibu Sriyandini.
Ia lantas menyayikan tembang Jawa penuh makna akan filosofi kehidupan manusia. Suaranya yang merdu mulai menguar dari pita suaranya.
***
Ojo turu sore kaki
{Jangan tidur sore anakku}
Ono Dewa ngelalang Jagad
{Ada Dewa yang sedang memutari dunia}
Nyangking bokor kencanane
{Dibawanya bejana kencana}
Isine donga tetulak
{Berisi do'a tolak bala}
Sandang kalawan pangan
{Sandang dan pangan "Rezeki}
Yaiku bagiannipun
{Yaitu bagian untuk}
Wong melek sabar nerimo
{Orang yang menahan kantuk, sabar dan ikhlas}
Inilah salah satu kelebihan yang Gendhis punya, menuruni suara merdu sang Ibunda Sriyandini, kala rindu menjajah hati, maka secara sembunyi kadang Gendhis mengidungkan tembang Jawa yang di nyanyikan Almarhumah Ibu Sriyandini.
Teringat kembali, pada saat Gendhis tidur di pangkuan Almarhumah Ibu Sriyandini, dengan usapan lembut. Tangan Ibunda membelai rambut Gendhis kecil berusia lima tahun.
"Tak terhingga betapa rindunya Gendhis kepada Romo dan Ibu." lirih Gendhis berkata menahan tangis.
Sebulir air hangat keluar dari matanya, membasahi pipi yang berkulit sawo matang. Semilirnya angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang serasa memanas.
Mengharap semilirnya angin ini mendinginkan wajah dan menyingkapkan kabut gelap dihatinya, agar lebih terang. Dan bisa melihat dunia bukan hanya selebar daun kelor.
"Aku menyadari tidak semua orang akan menerima kehadiran ku? Aku tahu tidak semua orang bisa perduli terhadap ku." gumam Gendhis seorang diri.
Akan tetapi, Gendhis kemudian menyadari bahwa Laras memang tidak tahu perjalanan apa yang sudah ditempuh oleh Gendhis.
Gendhis mengira hal semacam memaki dan menghina satu dan lainnya hanya di lakukan oleh orang-orang yang awam akan ilmu agama.
Namun, hanya ilmu agama saja tidaklah cukup, jika tidak berlandaskan adab dan akhlak mulia, yang diriwayatkan oleh Baginda Rasulullah.
Ia jelas tak mengira semacam perkelahian antar murid akan terjadi di ponpes bahkan terlihat sangat sangar dan garang seperti Bibik Jaitun.
Bagaimanapun juga mereka tetap manusia biasa yang bisa marah kapan saja, jika ada orang lain yang berkata dengan nada penghinaan seperti yang dilakukan Laras.
~
Tanpa Gendhis tahu, ada seekor kupu-kupu berwarna emas yang terluka berada di ujung saung. Sedang berteduh di bawah atap alang-alang.
"Kamu tidak sendiri Gendhis, aku juga memiliki hidup yang sama seperti mu." ucap kupu-kupu emas, melihat anak manusia yang sedang meratapi nasibnya.
Bersambung....
(\*) Sumber: YOGYA, KRJOGJA.com.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
R.F
ssmangat k
2022-11-12
1
Arif Sunoe
pertama komen....ayo up lagi.. mumpung akhir pekan
2022-11-12
1