“Assalamualaikum Umi” salam seorang gadis remaja di depan pintu kamar yang terbuka lebar, matanya langsung tertuju kepada seorang wanita yang dipanggilnya Umi.
“Wa'alaikumussalam sifa” jawab Umi lembut. Gadis yang di panggilnya Sifa tak lantas masuk kedalam bilik kamar yang terdapat enam ranjang dengan ukuran pas untuk satu orang.
Sifa gadis berusia delapan belas tahun ini hanya terpaku di tempatnya berdiri. Ia terus mengamati wanita setengah baya dengan pakaian abaya marun serta hijab panjang warna senada yang tengah terduduk di kursi samping tempat tidur.
Sepintas Sifa melirik kedua teman sekamarnya yang tengah berdiri dengan jarak dua meter dari Umi. Sedetik kemudian gadis berpenampilan serba menutup aurat ini mengalihkan pandangannya kepada seorang gadis asing berwajah pucat yang berbaring di ranjang paling ujung kamar.
Sifa tercenung, tatapannya menyipit seolah mengintimidasi gadis yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Dalam hati, Sifa berkata, "Padahal sudah empat hari dia pingsan, kenapa tidak bangun-bangun. Siapa sebenarnya dia, kenapa Umi Salma mau merawatnya, sampai-sampai beliau meminta pakaianku untuk seseorang yang bahkan Umi tidak tahu asal usulnya.”
Kedua gadis remaja yang tak jauh berbeda usianya dengan Sifa, menatap Sifa dengan keanehan.
"He Sifa ono opo toh (ada apa sih), kok kamu tidak masuk?” ujar teman sekamar Sifa dengan nada suara sedikit meninggi bernama Siti. Karena suaranya yang cepreng membuat Umi, Sifa dan seorang temannya lagi terkejut sampai-sampai Siti mendapat pukulan di lengan kirinya.
“Heh Siti, suara kamu toh yo, wes koyo bledek nyambar bumi, (petir menyambar bumi) mak jeder ngono (gitu) loh. Ngagetin aku tau ndak!” Rumi berseru, sambil matanya mendelik menatap Siti.
Mendapat pukulan keras tak membuat Siti dengan ramah menerimanya begitu saja, seperti biasa Siti tidak ingin kalah. Dalam pikiran Siti, kalah hanya akan membuatnya semakin diremehkan oleh teman yang suka memukul sembarangan.
“Haduh-haduh Rumi Mayangsari, jangan mentang-mentang kamu jago silat terus kamu seenaknya mukul-mukul lengan kiri ku!” balas Siti kesal sambil mengusap lengan kirinya. "Terus-terus apa tadi, kamu bandingin suaraku koyo bledek (seperti petir), kaya pernah aja kamu di sambar bledek, kalau sampai tersambar bledek baru nyaho loh!"
"Waduh ni bocah nyolot, minta di sleding!" balas Rumi kesal mendengar perkataan Siti yang seperti menyumpahinya tersambar petir.
Sifa dan Umi saling melempar tatapan heran, entah mengapa Siti dan Rumi jarang sekali akur. Seolah-olah kata akur hanya ada pada partai yang akan berkoalisi dalam pemilihan presiden.
"Suara kamu juga tuh ndak kalah heboh, udah mirip-mirip sama yang bunyi tiap malam di dinding belakang kamar." jawab Siti ikut mendelik.
Rumi mencebikkan bibirnya, deg perasaan Rumi merasa tidak enak kala suaranya di samakan dengan suara yang selalu berbunyi di dinding belakang kamar, "Apa-apa kamu bilang, sembarangan kalau ngomong. Kamu mau menyamaiku seperti tokek begitu hah! kamu tuh yang seperti cacing kepanasan, krugat-kruget haha,”
Siti semakin kesal atas celotehan Rumi, ia spontan mengayunkan tangannya menoyor kepala Rumi yang tertutupi hijab warna hijau botol. "Sembarangan kalau ngomong!”
"Haduh, Siti!” seru Rumi dengan sewotnya ingin membalas dengan cara menarik hijab yang dikenakan Siti. Namun sebelum ia lakukan suara Umi menghentikan aksinya,
"Sudah-sudah, sebenarnya kalian ini ribut soal apa?” Umi Salma menatap Siti dan Rumi secara bergantian.
"Ta-tapi kan Umi Salma, si tokek ini kan, eh si tokek, maaf salah ngomong hehe,” Siti memasang cengiran kuda. ”Maksudnya Rumi duluan tuh yang ngatain Siti yang cantik dan baik hati ini kaya cacing, ih geli. Bayangin aja udah geli duluan, ” Siti mencoba mencari pembelaan atas dirinya.
"Apaan! Kan aku cuma becanda, tapi memang gayamu kaya cacing kepanasan, lenggak-lenggok,” Rumi berkata lirih, namun tetap saja masih bisa di dengar.
Siti melotot melihat Rumi, sedetik kemudian netranya memelas menatap Umi, "Tuh kan Umi, dia duluan yang mulai dengan hinaan yang dikemas candaan.”
Umi terlihat menghela nafas pelan, "Umi bilang sudah, kalian sebenarnya disini mau membantu Umi apa mau mendebatkan sesuatu yang tidak ada faedahnya?” suara Umi Salma menjadi skak mati bagi pembicaraan kedua muridnya yang selalu mendebatkan sesuatu hal yang sama sekali tidak berfaedah bagi siapapun yang mendengarnya. "Kalian ini bukan anak kecil lagi, Umi yakin kalian bisa membedakan mana yang baik diucapkan mana yang buruk menyakiti perasaan.”
Siti dan Rumi pun terdiam, sedangkan Sifa hanya geleng-geleng kepala melihat keributan dan perdebatan yang kerap kali terjadi di antara teman mondoknya itu.
"Apa kalian ndak lihat kalau ada seseorang yang sakit di sini,” sambung Umi lagi, bola matanya menatap Rumi dan Siti. Sepintas beliau melihat gadis yang tidak berdaya di atas ranjang, mata dari seorang gadis yang bahkan tidak Umi Salma kenal masih saja terpejam.
Siti dan Rumi menunduk, namun masing-masing masih saling sikut.
“Kamu sih Sit," bisik Rumi.
“Ih apaan, orang kamu yang ngajak ribut duluan,” balas Siti tidak mau kalah nyolot.
"Umi bilang disudahi ributnya,” sekali lagi Umi Salma menegur kedua muridnya.
Siti dan Rumi akhirnya terdiam, keduanya sama-sama mengatupkan bibirnya. Padahal ingin sekali rasanya Siti maupun Rumi melanjutkan percekcokan di antara keduanya.
“Awas nanti aku bales!” dalam hati Siti mengumpat, sorot netranya melirik tajam kepada Rumi.
Sementara Sifa hanya menyimak sambil mesam-mesem di ambang pintu, tidak masuk kedalam kamar tidak juga berniat untuk keluar kamar yang sudah dia tempati selama hampir satu tahun.
“Sifa,” panggil Umi Salma melihat murid satunya lagi yang masih berdiri kokoh seperti di semen cap tiga roda di ambang batas pintu.
Panggilan Umi Salma nampaknya membuat Sifa terkejut, dia langsung mengalihkan atensinya dan menatap Umi, “I-iya Umi,”
"Mau sampai kapan kamu berdiri disitu nak, kemarikan baskomnya, nanti air hangatnya keburu dingin.” ujar Umi Salma.
Sifa mengangguk dan mulai mengayunkan langkah kakinya meninggalkan satu persatu ubin yang dilewatinya, netranya melihat Tuti dan Rumi sambil tersenyum jahil sampai dia melewati kedua temannya dan mendekati ranjang paling ujung.
Sifa lantas memberikan baskom berisikan air hangat kepada Umi, “Apa dia belum juga sadar Umi?” tanya Sifa menunjuk gadis yang perkiraan usianya tak jauh berbeda menggunakan dagunya.
Umi menggeleng pelan seraya menerima baskom lantas beliau menaruhnya di atas meja kecil samping ranjang.
“Sudah empat hari dia tidak sadar-sadar, aku sebenarnya takut e” ujar Sifa. Sontak pernyataannya membuat ketiga pasang mata tertuju pada gadis berasal dari daerah Sidoarjo ini.
“Takut kenapa toh Fa?” tanya Siti, matanya langsung menyipit, ia tahu betul isi kepala dari teman sekamarnya yang suka memunculkan penilaian melalui caranya yang terbilang negatif.
“Iya, takut yang bagaimana toh nduk?” tanya Umi Salma sembari memeras handuk kecil sesaat kemudian beliau melipat dan mengelap dengan lembut wajah gadis asing berwajah pucat yang masih saja memejamkan matanya sejak gadis ini di temukan di pinggir jalanan hutan karet malam lalu.
[Nduk, Genduk, adalah sebutan bagi anak perempuan]
•••
Bersambung...
Untuk segala bentuk dukungan saya ucapkan terimakasih •_•
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments