Bab 15

Makan sore telah terlewati, dengan adanya Gendhis diajak oleh Umi Salma. Sama halnya seperti anak-anak santriwati. Tiada beda, semua anak santri Umi Salma anggap sama.

Bahkan kini Umi Salma sedang menggantikan perban di kaki Gendhis tanpa rasa jijik. Nampaklah jahitan yang belum mengering di telapak kaki Gendhis.

Padahal Gendhis sudah menolak agar Umi Salma tidak memegang ataupun mengobati luka dikakinya. Gendhis beralasan akan mengobatinya sendiri, namun Umi Salma tetap memaksa.

"Kamu jangan banyak jalan dulu Gendhis, lukamu belum sembuh total. Nanti malah berdarah-darah," kata Umi Salma setelah membuka perban dan melihat darah di sela-sela luka yang mendapatkan enam jahitan.

"Iya U-umi," jawab Gendhis, ia masih saja kaku menyebut panggilan Umi. Ia juga tidak enak hati mendapatkan perlakuan seperti ini dari wanita setengah baya yang mungkin saja jika almarhumah Ibunya masih hidup akan seumuran dan se tua Umi Salma.

Umi Salma mengoleskan salep dan menutup kembali luka di kaki Gendhis dengan perban. "Sudah selesai."

"Umi Salma, boleh Siti bicara?" kata Siti sejak tadi menunggu kesempatan untuk berbicara dengan pemilik pondok pesantren ini.

Umi Salma menoleh ke arah Siti yang berdiri di samping kanannya, "Iya, ada apa Nduk?"

"Emm...Umi Salma..?" di panggilnya wanita setengah baya yang duduk di kursi samping tempat tidur yang ditempati Gendhis. Untuk sekilas Siti melirik Gendhis yang tengah berbaring.

Melihat keraguan dari apa yang akan di utarakan Siti, Umi Salma lantas bertanya, "Ada apa Siti, bicaralah,"

Siti lantas duduk di tepian ranjang Gendhis, ia menatap Umi Salma, "Gendhis boleh kan tetap tinggal di pesantren ini?"

Gendhis mengerjap-ngerjapkan matanya, tidak disangka Siti benar-benar memintanya untuk tetap tinggal kepada Umi Salma, "Siti." ucap Gendhis memanggil Siti dengan suara kecil.

Umi Salma menatap Gendhis dan beralih menatap Siti.

Siti tak mengindahkan ucapan Gendhis, dan kembali mengutarakan apa yang ada dalam benaknya, "Tadi Gendhis sempat cerita, katanya kedua orang tuanya sudah almarhum. Dan selama ini Gendhis dibawah pengasuhan Bibiknya, Gendhis mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari Bibiknya, sebab itulah Gendhis kabur dari rumah Bibiknya, dan bahkan akan menjual Gendhis ke rumah bordil."

Sama halnya dengan Siti, Umi Salma juga tercengang mendengar penjelasan Siti mengenai kehidupan Gendhis.

Umi Salma akhirnya tahu, tanpa mengintrogasi tentang asal-usul dan dari mana Gendhis berasal. Umi Salma akhirnya paham mengapa Gendhis bisa sampai di jalanan hutan karet malam itu.

"Syukur alhamdulilah, andai saja Umi tidak meminta Luthfi untuk datang ke rumah Pamannya yang berada di Tambakrejo, pastilah tidak akan menemukan mu, Gendhis." ujar Umi Salma, pernah kehilangan anak perempuan yang baru berusia tiga tahun membuat Umi Salma sangat menyayangi anak perempuan dan mengharap anak perempuan di mana pun berhak mendapatkan kasih sayang.

"Jadi apa Gendhis boleh tinggal di sini, Umi?" tanya Siti guna memastikan.

Umi Salma mengangguk singkat.

"Aih alhamdulilah, Ndhis." seru Siti senang. Dilihatnya wajah Gendhis tanpa menunjukkan ekspresi.

Rasa senang Siti tidak selaras dengan Sifa. Sifa diam mengedarkan pandangan memandangi jam dinding yang menunjukkan pukul 16:45 wib.

Sedangkan Rumi dan Maemunah hanya bisa menatap Gendhis tanpa berkata apa-apa. Toh terserah apa kehendak dari pemilik pondok yang notabene adalah wanita lembut serta penyayang.

"Semua anak-anak Umi, Sifa, Rumi, Siti dan Maemunah, Umi harap kalian bisa menjadi saudara. Kendati kalian sebelumnya tidak saling mengenal, namun tali persaudaraan tidak serta-merta berasal dari kekerabatan, tapi dari rasa toleransi kita terhadap sesama manusia. Dan kita kedatangan saudara kita, yaitu Gendhis, Umi harap kalian saling rukun," kata Umi Salma, melihat satu-persatu anak-anak didiknya.

Seperti biasanya, Umi Salma akan memberikan petuah yang sama tatkala ada seorang santriwati yang baru datang.

"Iya Umi." jawab Siti, Rumi dan Maemunah.

Sedangkan Sifa diam membisu.

Seulas senyuman mengembang di bibir Umi Salma, "Kalau begitu Umi akan bersiap-siap untuk sholat magrib."

"Iya Umi." jawab Rumi dan Siti sedangkan yang lainnya hanya mengangguk.

Umi Salma berjalan keluar dari bilik kamar anak didiknya.

Gendhis memandangi kepergian Umi Salma. Sampai wanita berpakaian syar'i itu berbelok keluar dari kamar. Tak di sangka, pelariannya sampai masuk kedalam pondok pesantren ini.

"Yeh Ndhis. Aku kan sudah bilang, Umi pasti mengijinkan mu tinggal di sini." seru Siti kembali mendekati Gendhis.

Gendhis tersenyum hambar, entah ada rasa beban yang mendalam atas penerimaan Umi Salma untuknya tetap tinggal.

"Makasih Siti." ucapnya.

Rumi dan Maemunah juga mendekati Gendhis dan Siti.

"Sekarang tidak ada alasan lagi, untuk kita tidak menerima kamu Gendhis, semoga kamu betah tinggal di sini." kata Maemunah.

Gendhis tersenyum simpul dan mengangguk pelan.

"Aku tidak menyangka ternyata kamu yatim-piatu, dan kamu kabur dari rumah Bibikmu," kata Rumi, disadarinya bahwa ia telah sempat berpikir buruk tentang Gendhis.

Gendhis diam, ia hanya memasang senyuman. Tidak ingin lebih lanjut lagi membahas tentang Bibik dan Paman nya. Ia berharap kedua orang itu tidak menemukannya. Kendati nantinya ia tidak lagi di pondok ini.

Tidak ada sambutan dari Sifa, ia keluar kamar.

Gendhis melihat kepergian Sifa dengan tatapan nanar. Ia merasa Sifa tidak sedingin yang terlihat.

......................

Api dari obor pun dinyalakan guna penerangan halaman pondok pesantren putri saat petang. Pemakaian listrik dipergunakan hanya untuk keperluan mengaji dan di kamar para santriwati.

Selebihnya penerangan luar, atau area depan pondok masih memakai media bambu sebagai wadah minyak tanah dan sumbu guna api menyala.

Kumandang adzan magrib terdengar.

Semua santriwati yang tidak berhalangan sedang bersiap-siap untuk berangkat ke mushola.

Di dalam bilik kamar, Gendhis mengamati keempat gadis seusianya sedang bersiap-siap untuk berangkat ke mushola. Dilihatnya Siti yang menghampiri.

"Ndhis, kamu sholatnya tayamum aja dulu seperti saat Sholat dhuhur dan Ashar. Nanti kalau luka-luka mu sudah sembuh. Baru aku ajak kamu ke mushola, yah," ujar Siti ceria.

"Iya, makasih Siti." jawab Gendhis.

Sifa, Rumi dan Maemunah terlihat meninggalkan kamar. Dan disusul oleh Siti.

Seperti yang diajarkan Siti, Gendhis mengusap anyaman bambu sebagai dinding kamar guna berwudhu dengan cara tayamum. Dilihatnya selembar kertas yang dituliskan oleh tangan Siti, doa wudhu tayamum dan doa selesai berwudhu.

Pertama Gendhis membaca doa berwudhu. Dengan niat yang di ucapkan, "Nawaitu tayammuma lisstibahasholaatil mafrudhoti lillahi ta'ala."

[Artinya: “Saya niat tayamum agar dapat diperbolehkan melaksanakan shalat fardhu karena Allah Ta’ala.]

Kedua Gendhis membasuh Wajah dengan menggunakan kedua tangan secara bergantian. Tangan sebelah kanan membasuk wajah sebelah kiri, dan tangan sebelah kiri membasuh wajah sebelah kanan.

Ketiga Gendhis membasuh Kedua tangan sampai siku. Membasuh tangan harus dilakukan bergantian. Tangan sebelah kanan membasuh tangan kiri dan tangan kiri membasuh tangan sebelah kanan.

Dan cara keempat Tartib atau Berurutan. Bertayamum harus berurutan dari rukun pertama sampai selanjutnya. Tidak boleh dibalik dengan membasuh kedua tangan kemudian wajah.

Setelah tata cara dalam gerakan bertayamum, hal berikutnya yang dilakukan Gendhis adalah membaca doa, "Asyhadu anlaaa ilaaha illallah wahdahuu laa yasrikalahu wasyhadu anna muhammadan 'abduhuu warasuuluhu. allahumaj'alnii minat tawwabiina waj'alnii minal mutathohhiriina waj'alnii min 'ibadikash shoolihin. subhaanakallahumma wabihamdika asyhadu anlaa ilaaha illa anta astaghfiruka watuubu ilaiika."

[Artinya: Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang yang ahli taubat, jadikanlah aku termasuk orang yang ahli bersuci dan jadikanlah aku termasuk golongan hamba-hamba-Mu yang shalih. Maha Suci Engkau Ya Allah dan dengan memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.]

Lantas dilaksanakan sholat magrib di atas dipan, atau biasanya disebut ranjang kayu beralaskan kasur tipis.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Maulana ya_Rohman

Maulana ya_Rohman

masih nyimak thor.....

2022-11-21

0

Arif Sunoe

Arif Sunoe

keren thor...ada ilmu agamanya juga. makasih

2022-11-10

1

R.F

R.F

2like hadir k

2022-11-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!