Rania mendadak terbangun dari tidur dan betapa terkejutnya dia saat mendapati ruangan CEO yang gelap. Dia mengucek mata dan menatap jam dinding.
Pukul 21.24
"Astaga, aku ketiduran," pekik Rania menepuk jidat dan duduk tegak di sofa.
Rania segera berlari ke ruangan kerjanya untuk mengambil tas dan merogoh ponsel yang ternyata kehabisan baterai. Dia mendesah kecewa sebab saat ini ponselnya tidak bisa diajak kerja sama untuk menghubungi Ajeng.
Terbesit dipikiran Rania memakai telepon kantor untuk menghubungi Ajeng bahwa dia akan pulang malam, tapi niatan itu diurungkan dan memilih untuk segera pulang saja.
Derap langkah kaki Rania yang menyusuri lorong kantor terdengar jelas di kesunyian malam. Beberapa kali Rania menoleh ke sekitar sambil mempercepat langkah.
Jujur suasana kantor di malam hari yang sangat sunyi membuat tengkuk Rania meremang. Meski Rania tahu ada satpam yang berjaga tapi sejauh dia melangkah belum ada satu pun penjaga yang terlihat.
Saat ini Rania sudah berada di dalam lift yang mengantarkan dia ke lobby. Tepat ketika pintu lift terbuka, Rania terlonjak kaget begitu melihat seseorang berdiri tepat di hadapannya.
Terlebih orang itu sedang memainkan ponsel sehingga cahaya dari layar gadget itu menyinar dari bawah wajah dan memberikan kesan horor.
Orang itu mendongak dari ponsel yang sedang dia mainkan dan barulah Rania sadar jika pria itu adalah Abe.
"Abc! Kamu mengagetkan aku tahu!" gerutu Rania.
Sedangkan Abe hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil terkekeh.
"Maaf. Kamu mau pulang?"
"Tidak. Aku mau menginap," sindir Rania kesal dengan Abe yang sudah jelas kalau dia akan pulang.
Abe menyengir menampilkan deretan giginya. Lalu menarik tangan Rania, "Ayo, aku antar!"
"Eh, tunggu! Kamu datang kemari hanya untuk mengantar aku pulang?"
Abe mengangguk sebagai jawaban ketika mereka berjalan beriringan menuju mobil Abe terparkir.
Rania sendiri hanya bisa menghela nafas dengan kepala tertunduk ketika menyadari Abe yang lebih perhatian padanya. Padahal Rania mengharapkan Aiden yang datang untuk mengantarnya pulang ke rumah.
"Tapi kenapa kamu bisa tahu kalau aku masih ada di kantor?" Rania bertanya tapi Abe diam tak menjawab.
Sebelumnya Abe mendapat perintah dari Aiden supaya tidak memberitahu bahwa Aiden lah yang menyuruhnya menjemput Rania.
"Oh, ada berkas penting yang tertinggal di kantor. Jadi aku datang kemari untuk mengambilnya dan tidak sengaja bertemu denganmu di pintu lift tadi," tutur Abe yang jelas-jelas sebuah kebohongan besar.
Namun, Rania mengangguk percaya saja akan alasan Abe itu.
Sepanjang perjalanan pulang, sesekali Abe melirik pada Rania yang duduk termenung dengan raut wajah lesu. Di dalam hati kecil, Abe merasa kasihan dengan Rania.
Tiada hari tanpa omelan dari mulut pedas Tuan Aiden Abimanyu.
"Kalau kamu ingin menangis, menangislah!" ucap Abe tiba-tiba.
Rania mendengus, "Siapa juga yang mau menangis."
Tapi detik berikutnya…
"Hhhuuaaa, Abc!"
Tangisan yang sejak tadi Rania tahan akhirnya jebol juga. Dia menangis dan terisak sepuasnya di dalam mobil Abe.
Setelah beberapa saat berlalu, barulah Rania bisa mengontrol dirinya sendiri, meski masih sesenggukan, tapi perasaan di dalam dada sedikit membaik.
Rania mengambil selembar tisu yang ada di atas dashboard mobil untuk menyeka jejak air mata di pipi.
"Tidak apa-apa. Menangis bukan berarti kamu lemah," kata Abe dengan tatapan mata fokus mengandarai mobil.
"Abc, kenapa aku selalu bernasib sial? Kenapa aku menjadi wanita yang payah dalam segala hal?"
Tangisan Rania kembali pecah. Dia teringat akan perlakuan kejam Aiden dan juga Bella cs yang ternyata bermuka dua.
"Anggap saja kamu sedang membuang sial. Setelah semua kesialanmu habis, maka yang tersisa hanya tinggal keberuntunganmu," Abe terus menasehati Rania agar jangan mudah menyerah.
Hingga sampailah mobil Abe berada depan rumah minimalis yang dicat dengan warna putih. Di depan rumah itu, sudah ada Ajeng yang menunggu Rania dengan raut wajah cemas.
Begitu Rania turun dari mobil, Ajeng langsung menyambut hangat dengan sebuah pelukan untuk Rania. Rasa cemas yang sejak tadi menghantui Ajeng seketika hilang.
Kemudian, Ajeng melirik ke dalam mobil melalui jendela yang kacanya setengah diturunkan.
"Nak Abe, sebagai tanda terima kasih telah mengantar Rania pulang, bagaimana kalau makan malam dulu," Ajeng berkata dengan lemah lembut.
Abe tersenyum sambil menggerakan tangan menolak secara halus.
"Tidak perlu, Tante."
"Oh ayolah, Tante sudah masak sup ayam makaroni."
"Sup ayam makaroni buatan ibuku enak lho," Rania ikut menimpali.
"Hm, baiklah kalau kalian memaksa," Abe tersenyum semringah dan melanjutkan perkataannya dengan sangat pelan. "Lumayan makan gratis."
Ajeng, Abe dan Rania masuk ke dalam rumah sederhana yang tidak begitu luas tapi terlihat rapi dan bersih. Abe menunggu di ruang tengah sementara Rania ganti baju dan Ajeng menyiapkan makan malam.
Abe mengedarkan pandangan ke sekeliling mengamati deretan foto yang terpajang di dinding, lalu tanpa sadar bibirnya mengulas senyuman.
Diamatinya foto-foto itu satu persatu. Di mana banyak sekali potret Rania ketika masih kecil bersama dengan seorang anak perempuan yang sangat mirip dengan Rania.
Abe menyimpulkan pasti anak perempuan itu adalah adik Rania. Setelah puas mengamati foto, mendadak kening Abe mengerut menyadari ada satu hal mengganjal di benaknya.
Abe baru sadar jika semua itu hanya memperlihatkan Ajeng, Rania, dan satu orang adik perempuan. Tidak ada sosok laki-laki yang menjadi potret ayah Rania.
Membuat Abe bertanya-tanya di manakah ayah Rania berada?
Ehm.
Suara deheman menjadikan Abe terlonjak dan menoleh cepat pada Rania yang rupanya sudah berdiri di belakangnya.
"Abc, kamu sedang apa?"
"Tidak apa-apa kok. Aku cuma sedang mencari sosok ayahmu di deretan foto ini," kata Abe jujur.
"Oh," Rania menyahut santai. "Ibu tidak menyimpan foto ayah."
"Kenapa?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Abe.
Meski Abe tahu hanya ada dua kemungkinan yaitu ayah Rania telah meninggal atau mungkin kedua orang tua Rania telah bercerai.
Rania maju satu langkah mendekati pajangan foto-foto keluarganya. Tatapannya berubah nanar saat teringat sang ayah.
"Ayah dan Ibu sudah lama bercerai. Ibu yang mendapatkan hak mengasuh aku dan Thalia, sementara Ayah pergi ke Belanda dan sejak itu kami tidak tahu lagi kabar Ayah," tutur Rania yang kemudian tersenyum getir.
Abe menjadi merasa bersalah telah menanyakan sesuatu yang membuat Rania semakin sedih.
Tak lama, makan malam pun dimulai. Mereka berempat -Abe, Ajeng, Rania dan Thalia- makan dengan duduk melingkar.
Abe makan dengan lahap. Selain karena dia belum sempat makan malam, masakan Ajeng pun sangat cocok di lidah Abe, membuat dia ingin terus menambah lagi dan lagi.
Hingga Abe mendadak berhenti menguyah saat Ajeng tiba-tiba bertanya, "Rania, di mana kacamatamu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Yurniati
lanjut thorr
2022-11-06
0