Ajeng melirik Rania yang mengunyah nasi goreng dengan tatapan kosong. Sejak tadi dia mengamati putri sulungnya itu makan sambil melamun.
Bahkan sudah lima belas menit berlalu tapi nasi goreng di piring Rania tak kunjung habis. Hal itu membuat Ajeng menyentuh bahu Rania yang seketika terlonjak kaget.
Rania menoleh pada Ajeng. Wanita paruh baya itu menyipitkan mata tengah menelisik raut wajah anaknya.
"Cepat habiskan sarapanmu, Rania. Nanti kamu bisa terlambat bekerja," ucap Ajeng lemah lembut.
Rania menunduk menatap makanannya yang hanya berkurang sedikit padahal sudah lima belas menit dia duduk di kursi meja makan. Lalu dia pun menggeser piring itu ke hadapan Thalia, adik perempuan Rania, yang juga sedang menikmati sarapan.
"Habiskan sarapan Kakak!"
"Kenapa, Kak?" tanya Thalia dengan mulut penuh nasi goreng.
"Kamu kan masih masa pertumbuhan. Jadi harus banyak makan," jawab Rania yang hanya sebuah alasan karena entah kenapa hari ini dia sedang tidak nafsu makan.
"Kakak benar. Aku harus makan banyak supaya pintar dan bisa menjadi sekretaris CEO seperti Kak Rania," ucap Thalia.
Sejenak Rania termangu begitu menyadari jika dirinya menjadi sekretaris bukan bedasarkan kemampuan ataupun kepintarannya. Melainkan karena dia anak titipan di perusahaan Irawan Group.
Rania memberengut sambil melirik ke arah Ajeng. Ada sedikit rasa kecewa sebab ibunya tidak mengatakan pada Rania sejak awal.
Namun, sesegera mungkin Rania menampik rasa kecewa. Dia yakin kalau Ajeng melakukan karena tidak mau melukai perasaannya.
Rania bangkit dari duduk hendak mengambil nasi boks yang harus dikirim ke pelanggan. Namun, Ajeng menahan tangan Rania.
Ajeng tersenyum saat Rania menoleh dengan dahi mengkerut. Lalu perlahan Ajeng menggelengkan kepala.
"Biar Thalia saja yang mengantar nasi boks itu. Dia sedang libur akhir semester. Kamu berangkat kerja saja. Jangan sampai terlambat lagi dan hati-hati di jalan ya, Nak?"
"Ibu," panggil Rania dengan suara yang lirih. "Boleh aku peluk Ibu sebentar?"
Ajeng mengerutkan dahi, terheran akan sikap Rania yang hari ini sedikit berbeda, dan belum sempat Ajeng menjawab, Rania lebih dulu mendekap memberikan pelukan.
Perlahan tangan Ajeng mengelus lembut rambut Rania. Lalu bergerak turun mengusap punggung yang terlihat bergetar.
"Apa ada masalah di kantor, Nak?"
Rania melepas pelukan, membetulkan kacamata yang sedikit merosot, lalu menggelengkan kepala.
"Tidak kok, Bu," Rania berbohong sambil mengulas senyuman agar Ajeng tidak curiga.
*
*
*
Pagi itu, di halte, tidak biasanya Rania langsung mendapatkan bis yang menuju ke kantor. Segera Rania menaiki bis itu dengan senyum yang mengembang di bibir sebab dia akan sampai di kantor satu jam lebih awal dari biasanya.
Dan benar saja perkiraan Rania. Ketika dia sampai, suasana kantor masih terlihat sepi. Belum banyak karyawan yang datang.
Maka Rania pun berinisiatif untuk membereskan meja kerja Aiden, sekaligus mengecek jadwal dan mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan untuk rapat hari ini.
Rania semakin bersemangat begitu mengingat kesepakatan yang telah dia buat.
Akan aku tunjukan kalau aku bisa menjadi seorang sekretaris. Rania berkata dalam hati saat membuat secangkir kopi untuk Aiden.
Kemudian, saat meletakan kopi itu ke meja kerja Aiden, bertepatan dengan Aiden yang masuk ke ruangan bersama Bella yang menggelayut manja.
Aiden dan Rania beradu pandang sejenak tapi Rania langsung membuang muka untuk memutuskan kontak mata dengan Aiden. Dia berjalan menundukan kepala melewati Aiden dan Bella.
"Lepaskan!" perintah Aiden melirik tajam Bella.
"B-baik, Tuan."
Wanita cantik itu pun melepaskan tangan dari lengan Aiden. Pipinya tampak merah entah karena malu atau menahan perasaan bahagia.
Aiden memang tidak menolak saat Bella menggandengkan tangan sebab dia ingin membuat Rania sakit hati dan berhenti mengejar cintanya.
"Pergi ke ruanganmu!"
Bella mengangguk dan menuruti perintah Aiden. Sesampainya di ruang kerja, Bella menatap sinis pada Rania yang sedang mengetik cepat di komputer.
Bella duduk termenung, otaknya tengah berpikir keras supaya Rania mendapatkan hukuman dan memiliki reputasi jelek di mata Aiden. Lalu tak lama Bella menyeringai sambil melirik Rania.
*
*
Pagi menjelang siang. Bella masuk ke dalam bilik toilet bergabung bersama tiga karyawati yang sedang merapikan dandanan mereka.
Bella merangkul dua temannya yang berada di samping kanan dan kiri bernama Wati dan Tara.
"Eh, kalian mau dengar gosip terbaru tidak?"
Wati yang semula sedang mengoles pemerah bibir langsung menoleh cepat hingga tak sadar goresan lipstik di tangannya melenceng sampai ke pipi.
"Gosip apa, Bel?"
"Gosip kalau Rania itu mengejar cinta ke Tuan Aiden," ungkap Bella tersenyum penuh bangga menjadi orang pertama yang tahu gosip terbaru.
"Hah? Rania si culun itu?" Tara bertanya untuk memastikan.
Detik berikutnya, Tara tertawa lepas sampai-sampai menitikan air mata.
"Dia sadar tidak sih kalau dia itu culun dan mana pantas bersanding dengan Bos Aiden kita," ucap Tara disela-sela tawanya.
"Bukan hanya itu. Rania juga menantang dirinya sendiri kalau dia mampu menjadi sekretaris yang hebat," Bella mendengus keras sambari menyunggingkan seringai. "Dia pikir mudah untuk bersaing denganku."
"Yap, betul. Rania nya saja yang sok ingin jadi jagoan," Wati menimpali.
Tepat saat itu pintu salah satu bilik toilet terbuka dan dari pantulan cermin Bella dapat melihat Rania keluar dari pintu itu.
Seketika manik mata Bella membelalak dan segera dia memutar badan. Dia melihat Rania yang menatap tajam.
Merasa jika dirinya lebih dari segi apapun, Bella tak mau kalah menatap tajam Rania. Dia berkacak pinggang untuk menunjukan sikap berkuasa.
"Aku dengar semuanya, Bella," Rania berteriak penuh amarah.
"Oh, baguslah kalau kamu dengar. Supaya kamu sadar dimana posisimu berada," ucap Bella sinis.
Tangan Rania terkepal kuat. Tak mengira jika Bella rupanya teman yang bermuka dua.
Rasa amarah semakin membuncah, sudah tak ada lagi rasa hormat Rania pada Bella. Padahal saat awal bertemu, Rania sangat menghormati Bella dengan memanggilnya kakak.
Rania maju satu langkah mendekati Bella. Kedua wanita berbeda penampilan itu saling melayangkan tatapan permusuhan.
"Bella, kamu jangan sombong! Karena di atas langit pasti masih ada langit."
Kemudian, bahu Rania didorong oleh Tara hingga dia mundur beberapa langkah. Tara berdiri di antara Rania dan Bella laksana tameng yang siap melindungi Bella.
"Heh, culun, kamunya sadar diri dong. Kamu tidak punya kaca di rumah ya?" kata Tara.
"Iya. Tahu tuh. Lihat kacamatanya yang besar ini!" Wati ikut menimpali dengan segera menyambar kacamata Rania.
Wati, Tara, dan Bella tertawa puas saat Rania berusaha merebut kembali kacamatanya. Dengan sigap Wati melempar kacamata yang langsung ditangkap oleh Tara.
Rania pun beralih pada Tara. Wanita jangkung itu sengaja mengangkat tangannya tinggi-tinggi agar Rania kesulitan menggapai kacamata miliknya.
"Kembalikan kacamataku!" seru Rania.
"Ambil saja kalau bisa," Tara tertawa mencemooh dan kemudian mengoper kacamata Rania kepada Bella.
Namun, Bella tidak dapat menangkap sehingga kacamata itu jatuh ke lantai dan bahkan Bella sengaja menginjak sampai lensa kacanya pecah.
"Ups, sorry," ledek Bella terkekeh.
"Bella!" Rania meraung marah melihat kacamata yang dibeli dengan hasil tabungan ibunya dirusak begitu saja oleh Bella.
Rania tak bisa menahan diri. Secepat kilat Rania menjambak rambut Bella tanpa bisa menghindar.
Bella berteriak kesakitan dan dapat dia rasakan beberapa helai rambutnya yang tercabut.
Sementara Wati dan Tara tercengang melihat Rania begitu agresif menyerah Bella. Lalu tak perlu pikir panjang mereka keluar dari toilet untuk mencari orang yang dapat memisahkan Rania dan Bella.
Dan secara kebetulan, Aiden dan juga Abe berjalan melewati depan pintu toilet wanita. Mereka berpapasan dengan Wati dan Tara yang kelur dari toilet dengan raut wajah cemas.
"T-tuan, g-gawat!" ucap Wati tergagap.
"Apanya yang gawat?" Abe bertanya.
"Rania, Tuan. Rania," kini Tara yang berbicara sambil menunjuk pintu toilet.
Seketika kening Aiden mengerut dan bertanya, "Rania? Buat ulah apa lagi dia?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments