Petang hari, Anjani dan Arvian pulang dari tempat kerja. Mereka menanyakan keberadaan Mirna, tetapi Athana pura-pura tidak tahu. Wanita itu tetap fokus memasak dan sama sekali tak peduli dengan Anjani yang mulai kebingungan.
"Mau kamu cari ke kolong ranjang sekali pun, ibumu tetap tidak akan ketemu," batin Athana sambil mengingat kejadian tadi.
Usai menghabisi nyawa Mirna, dia mengubur mayatnya di bawah pohon mangga. Lalu, menutup bekas galiannya dengan bunga krokot yang cukup banyak. Anjani dan Arvian tidak akan menyangka jika di tempat itu tubuh ibunya terbujur kaku.
"Sebenarnya Ibu ke mana? Kamu yang di rumah, pasti tahu ke mana Ibu pergi!" kata Anjani dengan nada tinggi.
"Tadi waktu kutanya, katanya mau ke rumah tetangga. Tapi ... aku juga tidak tahu tetangga yang mana." Athana menjawab santai, sembari menuang kuah sayur ke dalam mangkuk.
"Sejak kapan Ibu pergi?" Anjani kembali bertanya.
"Pagi."
"Dan tidak pulang sampai sekarang?" Anjani mulai geram.
"Iya."
"Kamu gila ya! Ibu pergi sampai selama itu, tapi tidak ada inisiatif mencari atau memberitahuku!" Anjani terus meluapkan emosinya. Namun, Athana tidak peduli. Dia terus fokus menyiapkan makan malam.
"Arvian! Arvian!" teriak Anjani sambil berjalan menuju kamar Arvian.
Athana mengikutinya diam-diam, guna mencuri pembicaraan kakak beradik itu. Suara Anjani penuh kekhawatiran, bahkan seperti menangis. Namun sebaliknya, suara Arvian terdengar tenang. Berulang kali lelaki itu meyakinkan Anjani bahwa ibu mereka baik-baik saja.
Setelah cukup lama mencari ke seluruh sudut rumah dan juga ke rumah tetangga, Anjani menyerah dan kembali pulang. Dia akan mencari lagi esok hari. Sebelum masuk ke kamar, Anjani sempat berdiskusi dengan Arvian. Lelaki itu berjanji akan libur kerja untuk mencari ibunya.
"Omongan Kak Anjani jangan dimasukin hati, ya? Dia hanya emosi sesaat, tidak benar-benar menuduh kamu," ucap Arvian ketika berada di kamar. Dia membelai lembut bahu Athana dan menenangkannya. Tadi, Anjani memang berulang kali menuduhnya menyembunyikan sesuatu atas hilangnya Mirna.
Athana tak segera menjawab, hanya menatap lekat sepasang mata Arvian yang seolah penuh cinta. Dalam hatinya, Athana sempat terheran. Mengapa lelaki itu begitu cepat berubah?
Pada hari pertama masuk ke dunia novel, terlihat jelas jika Arvian sangat membencinya. Namun sekarang, seakan-akan dirinyalah wanita yang dia cintai. Bahkan, kepada Laura pun perhatian Arvian mulai memudar.
"Aku memang punya trik untuk membuatnya tertarik, tapi ... tidak kusangka akan secepat ini. Dan ... kenapa dalam mata ini aku menemukan sesuatu yang familiar, yang cukup nyaman dan menenangkan? Tidak mungkin, kan, aku tertarik dengannya? Aku sudah punya Alex yang jauh lebih segalanya, yang setia dan tidak jadi pengkhianat seperti dia," batin Athana.
"Melati!"
Athana tersenyum masam, "Maaf, Mas. Aku ... aku masih merasa tidak enak denganmu dan Kak Anjani. Hari ini, aku yang di rumah. Harusnya memang aku tahu ke mana Ibu pergi. Tapi, bodoh sekali aku malah tidak bisa berbuat apa-apa."
"Jangan menyalahkan diri sendiri, aku tahu bagaimana sikap Ibu ke kamu. Bukan hal aneh kalau kamu tidak bertanya macam-macam pada beliau. Maafin sikap keluargaku, ya. Ke depannya aku akan selalu melindungimu." Kali ini, Arvian tidak hanya mengusap bahu, tetapi juga merangkul erat dan mencium puncak kepala.
Athana tertegun. Dalam novel yang dia baca, Arvian sangat menomorsatukan ibunya. Namun, mengapa pernyataannya kali ini seolah-olah tidak peduli lagi dengan keadaan wanita itu. Apa yang membuat Arvian berubah drastis?
"Entah apa yang terjadi denganmu, tapi yang jelas aku akan membuat perhitungan atas nama Melati. Selama ini dia sudah menderita, sekarang giliran kalian yang harus merasakannya," batin Athana. Dia tepis semua hal tentang Arvian dan kembali fokus dengan rencana awal.
____________
Satu minggu berlalu, Anjani dan Arvian belum juga menemukan Mirna. Keduanya sudah melapor kepada polisi, tetapi keberadaan Mirna belum juga diketahui. Athana benar-benar rapi dalam menyingkirkan lawannya.
Karena kehilangan jejak Mirna, Anjani sangat kalut dan sempat sakit beberapa hari. Dia terus menangis dan meratapi ibunya yang entah masih hidup atau tidak. Namun di sisi lain, Arvian masih terlihat tenang. Meski berusaha mencari, tetapi tidak ada sedikit pun raut kesedihan yang tampak di wajahnya, seakan-akan sikapnya hanya untuk formalitas saja.
Sementara itu, di tempat yang berbeda hidup Laura sedikit terusik. Setiap hari, dia mendapat teror yang mengerikan. Ada paket yang selalu datang di pagi hari, isinya bangkai tikus dan tulisan 'kamu akan seperti dia'. Tidak ada nama pengirim dalam paket itu, tetapi Laura sempat mencurigai Melati karena tulisannya sama persis.
Selain tulisan yang sama, Laura juga curiga saat mengaitkannya dengan peristiwa hilangnya Mirna. Dia sependapat dengan Anjani yang menduga bahwa Melati tahu sesuatu. Hanya saja, keduanya tidak bisa membuktikan prasangka itu.
"Selalu saja sibuk dan sibuk! Kamu sudah tidak memprioritaskan aku lagi, Mas!" umpat Laura ketika menelepon Arvian, tetapi nomornya malah tidak aktif.
Karena kesal dan juga cemas, maka Laura memutuskan untuk datang ke rumah Arvian. Namun, sesampainya di sana Arvian sudah berangkat kerja. Hanya Anjani yang dia temui.
"Sudah beberapa hari dia ambil cuti, jadi hari ini berangkat pagi-pagi. Banyak pekerjaan yang sudah terbengkalai," terang Anjani.
Laura menghela napas panjang, rasa kecewanya makin menjadi karena gagal berjumpa dengan Arvian. Padahal, ada banyak hal yang ingin ia katakan pada sang suami.
"Akhir-akhir ini Mas Arvian benar-benar mengacuhkanku, dan ... aku juga sering mendapat teror," kata Laura setelah cukup lama terdiam.
"Teror?"
"Iya." Laura mengangguk. Lantas, menceritakan dengan detail tentang teror yang membuatnya tidak tenang. Laura juga mengutarakan kecurigaannya terhadap sang kakak. Akan tetapi, Anjani menyangkal dugaan itu.
"Melati memang berubah. Dia tidak sebodoh dan selemah dulu, tapi ... tidak mungkin dia yang meneror kamu. Selama ini, dia selalu di rumah dan tidak pernah memegang uang. Meskipun perlakuan Arvian tidak seburuk dulu, tapi dia belum pernah memberikan uang pegangan untuk Melati. Jadi, kayaknya mustahil jika dia pelakunya."
"Tapi, Kak, tulisan tangannya persis seperti tulisan Melati. Aku hapal betul." Laura masih menaruh curiga.
"Gaya tulisan terkadang juga banyak yang menyamai, Ra," sahut Anjani.
Laura terdiam.
"Melati tidak punya uang dan selama ini juga tidak punya teman. Lantas, bagaimana dia akan melakukan itu? Di rumah ini tidak ada tikus, kalau memang dia pelakunya otomatis harus menyuruh orang untuk menangkapnya dan meletakkan di depan rumahmu. Masuk akal jika dia punya uang, tapi jika tidak, bagaimana dia akan membayar orang suruhannya?" Anjani kembali bicara.
"Jika bukan Melati, lalu siapa, Kak? Seingatku, aku tidak punya musuh," gumam Laura. Dia terjebak dalam rasa bingungnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Rhina sri
athana emang keren bisa membalas kejahatan mereka pada melati😀
2022-12-02
1
annin
Bener-bener psikopat si Athana.
2022-11-11
1
Kendarsih Keken
Athana kweren euyyy , tapi jngn sampai semua tindakan mu ini nanti nya membahayakan Melati yng asli 😒😒😒
2022-11-09
1