Pagi harinya, di dalam kamar, Mona sudah sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Sementara jam di dinding masih menunjukkan pukul 5 pagi. Tugas sekolah yang di kerjakan bersama Fani kemarin belum sepenuhnya selesai. Mona sendiri sudah jengkel menggerutu di dalam kamar sedari tadi, pasalnya Ia pulang sampai larut malam tapi tugas pun tak kunjung selesai. Gurunya kadang menjengkel kan.
“Aaarrgghhh!!” teriak Mona keras. Penghuni kamar sebelah sampai terbangun mendengar teriakannya.
“Suara apa itu, apa aku mimpi?” Arga duduk. Mengucek matanya yang masih terpejam. Saat hendak turun dari ranjang, teriakan dari mimpi itu terdengar lagi.
“Aaarggg! Aku kesel!!”
Mona mengentakkan kaki di lantai. Wajahnya cemberut. Baju seragamnya masih tergeletak di atas tempat tidur.
“Kenapa Aku bodoh Tuhan? Apa salahku?” tanya Mona sambil mendongak memandang langit langit. Ini Matematika. Siapa yang akan bisa menjawab soal ini?
“Hei Kau!! Buka pintunya!” Arga menggedor pintu kamar Mona. Untung saja penghuni lantai bawah tak ada yang terbangun.
Mona membuka pintu kamar. Arga sudah berdiri di sana dengan sorot mata tajam.
“Apa!” Tanya Mona tanpa rasa bersalah.
matanya menyorot tajam ke arah Arga.
“Kau ini!” Arga menjitak kepala Mona. “Masih pagi sudah bikin telingaku sakit!”
Haik! Mona menggigit bibir bawahnya. “Apa teriakanku sangat keras?” Mona mendorong Arga, berjalan maju, tubuhnya menyondong ke bawah perpegangan pada tralis besi mengamati lantai bawah. “Sepertinya tidak juga, di bawah masih terlihat sepi.” Ucap nya santai.
“Hei kau! Kemari!” perintah Arga.
Mona nyengir lalu mendekat. “Maaf Kak, Aku hanya...”
“Apa? Kau ini memang menyebalkan!! Awas kalau teriak lagi!” Arga memberi peringatan. Kemudian kembali ke kamar melanjutkan tidur yang tertunda.
Mona menghela nafas. Kembali masuk ke kamar. Setelah selesai memakai seragam dan membereskan buku pelajaran, Mona menyobek selembar kertas lalu menuliskan sesuatu di atasnya. Ia letakkan di atas ranjang, kemudian berangkat ke sekolah.
Sarapan sudah tersedia di atas meja makan seperti biasanya. Ke tiga asisten rumah tangga pun sudah kembali memegang tugas masing setelah usai menyiapkan sarapan untuk penghuni rumah. Santi sudah ada di sana, menarik kursi dan menata piring. Sekaya apapun tak membuatnya harus terus mengandalkan para asisten rumah tangga kan? Setelah beres, Santi kembali ke kamar membangunkan Suaminya lalu beralih membangunkan Ibu dan anak nya.
“Minah!”
“Iya Nyonya, ada yang bisa saya bantu?” Minah mendekat menghadap Santi.
“Kau bangunkan Arga dan Mona.”
“Baik Nyonya.”
Semuanya sudah duduk di ruang makan. Tinggal menunggu Arga dan Mona.
“Sekarang jelaskan padaku, siapa gadis itu?” ucap Meri.
“Kita makan saja dulu Ibu.”
“Tidak! Jelaskan sekarang.”
Santi mendesah. Di taruhnya lagi sendok dan garpu yang Ia pegang. “Baiklah...”
“Dia anak angkatku, aku mengadopsinya.”
“Apa?!” teriak Meri. Radit yang duduk di sampingnya hampir saja tersedak.
“Nenek mengaget kan ku!” gerutu Radit seusai meneguk air minum.
“Maaf sayang, Nenekmu terkejut.” Jelas Meri.
“Kau mengadopsinya? Jangan bercanda!” tanya Meri lagi.
“Iya Ibu, Ibu tak perlu sampai sekaget itu kan, aku cuma kasihan padanya, dan lagi Aku juga menyayanginya sekarang.” Papar Santi. Lalu memasukkan satu suap nasi ke dalam mulutnya.
“Hutomo!”
Yang di panggil langsung mendongak. Ia berhenti makan. Harusnya tak mau ikut campur apalagi harus menjelaskan. Ribet!
“Iya Ibu.”
“Pasti kau yang mau kan?”
“Mau apa Ibu?”
“Tentu saja mengadopsi gadis itu! Apa lagi?”
“Tidak Ibu, itu aku yang mau.” Jawab Santi.
“Sudahlah Nek! Nenek begitu berisik! Aku jadi tak selera makan!” gerutu Radit. Ia membanting sendok nya. Santi dan Hutomo terkejut. Memang betul, sebaiknya hindari percakapan saat sedang makan. Itu kalau tak ingin ada keributan mendadak.
“Nenek harus menerima kak Mona, karena Aku sayang padanya.” Jelas Radit yang sudah bangkit dari duduknya.
“Ayo Ayah, kita berangkat.”
“Eh! Iya sayang” Hutomo berdiri, mengelap mulutnya dengan tisu, lalu mencium pipi Santi. “Aku berangkat dulu.”
Hutomo dan Radit sudah tak terlihat. Arga yang baru datang memalingkan wajah tanpa melihat atau menyapa Santi dan Mira.
“Kenapa pagi ini sangat berisik! Kupingku sakit!” Keluhnya lalu berjalan keluar tanpa satu ucapan apapun lagi.
“Lho dimana Mona? Kau tak membangun kan nya Minah? Tanya Santi.
“Maaf Nyonya, sepertinya Nona sudah berangkat, Ini Nyonya...” Minah menyodorkan selembar kertas yang tadi di tinggalkan Mona.
“Kau lihat! Bahkan Ia pergi pun tak pamit.” Semprot Meri.
“Dia pamit Ibu, lihat ini...” Santi menunjukkan tulisan di lembaran kertas itu. “Ibu tak usah khawatir, Dia anak yang baik.” Santi berlalu masuk ke kamar meninggalkan Meri yang masih duduk di sana.
“Mona!”
Panggil lantang seseorang dari balik gedung kelas 10. Mona menoleh. Mencari asal suara itu.
“Kau!? Aku benar kan, Kau itu memang Mona yang Ku kenal.” Papar Tika sambil menarik rambut Mona.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa menarik rambutku?!” Mona berusaha setenang mungkin supaya Tika tak curiga. Ia teringat kata Arga kemarin.
Tika
Kau mengenalku yang dulu, tapi tak mengenalku yang sekarang.
“Kau tak bisa menipuku!” Tika mendorong Mona hingga tersudut ke tembok.
“Siapa yang menipumu? Aku saja tidak mengenalmu!” jelas Mona berbalas mendorong Tika.
Ck! Aku masih yakin kau itu Mona. Tapi kenapa Kau jadi seberani ini? Sialan!
“Kau berani padaku?!” bentak Tika, menarik lagi rambut Mona hingga kuncirnya tak berimbang.
“Kenapa aku harus takut padamu, Ha?!!” Mona berbalik melawan Tika.
Perkelahian keduanya sudah di kerumuni beberapa siswa di sana. Mereka menonton dengan sangat antusias tanpa berfikir untuk memisahkan. Ini tontonan seru pikirnya. Mona kembali menjambak rambut panjang Tika, begitu juga sebaliknya. Seperti itulah pertengkaran antara wanita. Kalau sudah lelah berdebat, jalan terakhir adalah saling jambak rambut.
Penonton mereka semakin banyak, bahkan dari para senior pun ikut nimbruk dan asik bersorak saling taruhan.
“Kau mau menaruh berapa?” tanya senior satu. “Aku pilih gadis berkuncir dua itu.” Sambungnya lagi.
“Baiklah aku menaruh 200 ribu, Aku pilih gadis yang satunya.”
Begitulah kira kira. Perkelahian itu menjadi bahan taruhan para senior yang notabenya termasuk siswa bandel di sekolahan ini.
“Fani!” panggil Andi pada Fani yang sedang asik mendengarkan musik di kelasnya.
“Fani! Woi! Dasar tuli!” teriaknya lagi.
Fani melepas benda kecil yang menyumpal telinganya. “Apa?”
“Kau tidak mau menolong kekasihmu?”
“Maksudnya?” Fani mengangkat satu alis nya.
“Pacarmu sedang berkelahi di bawah...”
“Bisa tidak kalau bicara yang jelas?” Fani menghampiri Andi dan menarik kerah bajunya.
Kalau sudah begini Andi di wajibkan untuk mengalah. Kalau tidak, mungkin satu tonjokan keras akan menghancurkan wajah tampannya.
“Mona, Mona sedang berkelahi di bawah.” Andi menarik tangan Fani hingga terlepas dari kerah bajunya.
“Oohh... Apa?! Mona?!” Fani langsung terbelalak saat tersadar siapa yang di maksud Andi.
Fani langsung ngibrit, berlari menuju lantai bawah mencari di mana keberadaan Mona. Ia masih berfikir. Siapa yang berkelahi dengan Mona? Bukankah Mona tak punya musuh? Fani masih berlari. Matanya mengitari setiap lorong kelas. Tak ada apa apa disini. Semua terlihat baik baik saja. Bahkan seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing masing. Fani sudah berjalan normal. Ia melangkah dan terhenti di depan ruang BP. Ia mundur satu langkah. Menoleh dan mengamati siapa yang berada di balik kaca bening itu.
“Mona? Tika? Mereka...”
“Hei kenapa kau disini?” tanya Mr. Andre selaku kepala sekolah.
Fani berjinjit. “Eh, Anu Mr, Aku mencari Mona, dan ternyata Dia di didalam.” Jawabnya terbata bata.
“Masuk ke kelasmu sekarang!” perintah Andre.
“Ba...baik Mr.”
“Aku akan memanggil wali kalian sekarang juga.” Ucap Andre ketika sudah masuk ke dalam ruang BP.
“Semua ini salahmu!” sentak Tika.
“Enak saja kau main menyalahkanku, Kau yang mulai duluan.” Balas Mona.
“Diamlah! Duduk dan tunggu wali kalian datang!”
Mereka berdua pun duduk berdekatan di sofa ruang itu, Mona sebenarnya sedang menyembunyikan kegelisahannya. Bagaimana tidak, sebentar lagi wali Tika juga akan datang entah itu Agus ataupun Widya.
“Selamat siang Mr. Andre” Salam Widya.
“Siang Nyonya, mari masuk.” Jawab Andre.
“Ibu!” Tika langsung menghambur memeluk Widya. Widya masih belum melihat siapa yang sebelumnya duduk di samping Tika. Ia hanya fokus memeluk anak perempuannya.
Mereka berdua duduk di hadapan kepala sekolah. Sementara Mona masih duduk di sofa panjang. Ia tak berani mendongak. Kalau Tika mungkin Ia masih bisa melawan tapi ini Widya, Bibinya yang dulu sering menyiksanya. Bahkan kata kasarnya masih belum hilang di otaknya.
“Duh! Siapa yang akan menjadi wali ku? Semuanya orang sibuk.” Batin Mona. Ia meremas jemarinya sendiri.
“Sebenarnya ada apa Pak?” tanya Widya pada Andre.
“Anak anda bertengkar dengan siswi lain Nyonya, jadi Anda kami panggil kemari...”
Belum sempat menjelaskan sampai selesai, pintu di ketuk oleh seseorang.
“Maaf Pak, Anda di panggil ke kantor sekarang.” Jelas seseorang memakai baju biru. Mungkin dia seorang OB.
“Baiklah...” Andre berdiri. “Maaf Nyonya, Saya tinggal sebentar, mohon di jaga jangan sampai mereka bertengkar lagi.” Pamit Andre.
Kenapa kepala sekolah harus pergi? Tidak bisakah menunggu wali Ku sebentar saja?
“Jadi ini yang berani mengganggu Mu? Widya menggeser kursi, berdiri mendekati Mona yang duduk menahan getaran di tubuhnya.
“Hei! Lihat Aku! Beraninya kau mengusik anakku!” bentak Widya. Di belakangnya Tika tersenyum puas.
Rasakan itu! Ibuku sebentar lagi akan terkejut setelah melihat wajahmu.
“Aku bilang lihat Aku?! Kau tak dengar ya? Di mana walimu? Biar Aku bertemu dengannya.” Bentak nya lagi.
Mona mengepalkan ke dua tangannya. Untuk apa harus takut. Bukankah sekarang sudah ada satu keluarga yang akan melindunginya?
“Kenapa Anda membentakku?!” Mona berdiri mendongak menatap Widya yang lebih tinggi dari nya.
Widya serasa seperti terkena kilatan usai melihat jelas wajah gadis yang berada di depannya itu. Mulutnya terbuka dan matanya membulat.
“Ka... Kau??”
“Apa?! Apa Anda juga akan berkata bahwa Anda mengenalku, seperti anak anda itu?”
Dia itu Mona kan? Ah bukan! Kalau iya, Dia tak akan berani membentakku. Tapi Dia Mona?
“Ku... kurang ajar Kau! Berani sekali membentakku!”
Widya sudah melayangkan telapak tangan kanannya. Beberapa senti lagi mungkin sudah bisa membuat tanda merah di pipi Mona. Tapi semua itu urung terjadi karena seseorang menampis nya dengan cepat.
“Apa yang Anda lakukan? Berani sekali mencelakai Anakku?” bentak Santi yang tiba tiba muncul.
“Atas dasar apa anda membentak nya?” tanya Santi sinis. Tangannya sudah meraih pundak Mona. Santi menyadari bahwa Mona sedang ketakutan. Siapa Widya tentu Santi sudah tahu. Informasi yang Ia dapat tak Cuma hanya setengah. Jadi apapun yang berkaitan dengan Mona dahulu tentu Santi susah mengetahui.
Tika yang sedari hanya menonton, meraih pergelangan Widya. Menariknya untuk mundur.
“Ibu sudahlah, jangan buat keributan lagi sekarang.” Bisik Tika di telinga kiri Ibu nya.
Widya mendengus. Matanya sempat melirik tajam pada Santi. Sebelum akhirnya duduk kembali ke kursi yang tadi.
Suasana sudah senyap. Tak ada yang bicara kecuali percakapan kecil antara Santi dan Mona. Itu pun tak sampai terdengar ke telinga Widya dan Tika.
***
Beri dukungan pada Author dengan cara vote novel ini. 🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Christy Oeki
trus sukses
2022-08-06
0
Siti Asrifah
Santi lawan tuh nenek sihir Widya
2021-10-21
0
Olla Tulandi Jom
keren othor heheeee
2021-09-22
0