Kamar berukuran 4x4 meter itu sudah menyala tersorot lampu putih. Sebuah kamar yang sebelumnya menjadi milik gadis mungil yang ceria, kini ruangan ini sudah di renovasi kembali karena pemilik baru tidak suka dengan gaya dan warna dindingnya. Tika duduk di bibir ranjang. Seragam sekolahnya masih melekat di tubuhnya. Baru jam empat sore Ia sampai di rumah karena jaraknya yang di haruskan di tempuh hampir 1 jam.
Jemarinya mulai membuka kancing baju osisnya.
Bibirnya bergerak. Kadang di gigit. “Aku masih penasaran, Aku harus tanya Ayah nanti.” Baju nya sudah teronggok di lantai. Tika menggaet handuk di balik pintu. Lalu masuk ke kamar mandi.
Tika
“Bagaimana suamiku, kau sudah dapat kabar tentang Mona?” tanya Widya. Ia melepas jas lalu menenteng tas kerja Agus. Menaruhnya di atas meja.
Mereka duduk. “Aku sudah memerintahkan anak buahkuu untuk mencari informasi tentangnya...”
“Lalu...” Widya berjalan ke dapur membuat kan teh hangat.
“Masih belum ada kabar, Kita baru mencarinya 1 hari, masih banyak waktu.”
“Ini... Kau minumlah dulu.” Widya menyodorkan secangkir teh. Lalu duduk di samping Agus.
“Kau benar, kita masih punya banyak waktu.”
“Tentu saja istriku...”
“Ayah...”
Ke duanya menoleh. Tika berjalan mendekati ke dua orang tuanya. Ia duduk di tengah di antara mereka. Matanya bergantian memandang Widya kemudian Agus.
“Ada apa, sayang?” tanya Widya mengusap rambut Tika.
“Apa Mona punya saudara selain kita?”
“Kenapa memang nya?” Tanya Agus sambil meneguk teh.
“Aku tadi melihat wanita yang mirip dengan nya...”
“Maksudmu?”
“Ayah Ibu, bahkan tadi aku sempat yakin bahwa itu Mona.” ucap Tika. Tangannya menggenggam lengan Widya membuktikan bahwa apa yang Ia lihat sungguh nyata seperti Mona.
“Kau sungguh bertemu dengan Mona? Dimana?” tanya Agus penasaran. Meneguk teh nya lalu menaruh kembali di atas meja.
“Iya dimana sayang?” sambung Widya.
“Tapi sebelumnya, apa Ayah yakin Mona tidak mempunyai kerabat lain selain kita?” Tika harus memastikan sebelum nantinya salah sangka.
“Tentu saja Ayah yakin, sangat yakin!”
“Kalau begitu, yang ku lihat tadi berarti bukan lah Mona. Karena memang sangat tidak mungkin kalau itu dia.”
“Kau jangan berbelit sayang, coba jelaskan lagi supaya kita paham.” Ucap Widya bingung.
“Tadi Aku melihat gadis yang sangat mirip dengan Mona di sekolah baruku, bahkan kami satu kelas. Wajahnya sungguh mirip, hanya ada sedikit perbedaan di penampilan saja.”
“Lalu...”
“Aku hampir menyapa nya, dan kalian tahu? Namanya juga Mona.”
Widya dan Agus ternganga. Di pikirannya sekarang adalah. Apa semudah dan secepat ini kita menemukan Mona?
“Tapi...”
“Tapi apa sayang...”
“Setelah aku mengikuti sampai jam pulang sekolah, Aku di buat terkejut, Dia di jemput oleh Tuan Arga. Ayah tau dia kan?”
“Siapa Arga?” Santi mencari daftar nama seseorang di otak nya.
“Arga??” Agus mencoba mengingat siapa orang dengan pemilik nama tersebut.
“Tunggu! Apa maksudmu tuan Arga CEO termuda se Asia itu?”
“Benar Ayah, Apa Mona saudaranya?”
“Tentu saja bukan. Bahkan sebelumnya keluarga kita tidak ada yang mengenalnya.” jawab Agus. “Untuk bekerja sama dengan perusahaannya pun sangat sulit.” Imbuh nya lagi dengan yakin.
“Itu lah sebab nya Ayah, aku jadi tak yakin kalau itu adalah Mona yang kita cari.”
Agus manggut manggut. “Tapi kau coba tetap selidiki tentang gadis yang kau jumpai itu. Cari informasi tentangnya.”
“Baik Ayah...”
“Lalu apa yang akan Ayah lakukan selanjutnya?”
“Aku juga akan coba mencari informasi tentang keluarga Arga.”
17.00 WIB
Akhirnya Mona dan Arga sampai di rumah. Suasana di luar sudah mulai gelap. Lampu di jalanan sepertinya juga sudah mulai di nyalakan. Arga turun menutup mobil lalu pergi masuk tanpa menunggu Mona yang baru saja turun dari mobil.
Masih saja dingin pada ku! Sebal!
“Kalian dari mana saja? Kenapa baru pulang? Kau kenapa sayang?” Santi memberondong pertanyaan lalu terkejut melihat luka di jidat Mona.
Arga mendengus. Ia pergi ke atas masuk ke kamar tanpa rasa bersalah.
“Kau kenapa sayang? Arga! Di mana kau?! Kenapa dengan Mona?”
Yang di panggil tak menyahut. Mungkin tak dengar karena sudah masuk ke persembunyiannya. Tangan Santi menyentuh jidat Mona yang memerah. Ia meringis ngeri melihat nya.
“Kenapa bisa seperti ini? sini duduk dulu.” Santi menuntun Mona. Menyuruhnya duduk di sofa.
“Aku baik baik saja Ibu, cuma kecelakaan kecil, Aku tak apa...”
“Ceritakan kau kenapa?”
“Kepalaku kebentur tembok, ini salah Ku karena tak melihat jalan.” jawabnya bohong. Ia tersenyum supaya Santi percaya.
“Ya sudah. Kau Mandi, setelah itu kita makan malam.”
“Baik Ibu...”
Mona akhirnya masuk kamar. Melucuti setiap pakaian yang menempel di tubuhnya. Di lilit handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi. Rambut panjangnya Ia ikat sembarang lalu Tangan kanannya memutar kran menggeser ke kiri hingga mengalir air hangat. Kemudian Ia berbaring di bethup.
“Uh nikmatnya.” Mona memejam kan mata menikmati sentuhan air hangat yang membasahi tubuhnya.
“Ibu... Apa Ibu tahu dimana buku komik dan novelku?” Tanya Arga ketika menuruni anak tangga dan berpapasan dengan Santi yang hendak naik ke lantai dua. Dia sudah memakai baju santai.
“Komik yang mana?”
“Yang aku letakkan di dalam kardus. Besok mau aku sumbang kan.”
Santi mencoba mengingat ingat. “Kayak nya
Ibu taruh di kamar Mona, coba Kau cari disana.”
Arga mendengus. “Kenapa di taruh disana?” Arga memutar badan dan kembali ke lantai dua.
“Ibu lupa. oh iya... sekalian kau panggil Mona untuk makan.” Dan Santi pun kembali ke bawah membantu asisten rumah tangganya menyiapkan makan malam.
“Kemana anak anak?” Tanya Hutomo. Ia mengambil irisan timun lalu mengunyahnya.
“Masih di kamar, sebentar lagi juga turun...”
“Dimana kak Arga dan kak Mona?” tanya Radit yang muncul dari balik kamarnya di lantai satu samping kamar Hutomo dan Widya.
“Masih di atas, kau makan dulu kalau sudah lapar.”
Radit duduk di samping Ayah nya. Rambutnya di usap lembut oleh Santi.
“Di mana Ibu menaruh nya?.” Arga meneliti setiap sudut ruangan kamar Mona. Tak ada Mona di sana. Arga hanya angkat bahu. Lalu mendekati rak di dekat ranjang.
“Kak Arga??” Ucap nya kaget. Tubuh nya hanya terlilit handuk putih. Kedua tangannya mendekap tubuhnya supaya tak merosot.
Arga Cuma menoleh sebentar. Lalu berpaling lagi pada rak buku. Mona berjalan pelan mendekati bibir ranjang. Mata nya membulat. Sementara Arga memunggunginya, tangan kanannya dengan cepat memungut pakaian yang tergeletak di atas kasur.
“Fiuhh! Untung tak terlihat. Eh tunggu! jangan jangan sudah melihat?” Mona menutup bibir mungil nya.
“Kau tahu kardus besar yang Ibu taruh di sini?” Tanya Arga tanpa memperdulikan Mona yang sudah gugup.
Kenapa Kau bisa cuek begitu? Sementara aku Cuma pakai handuk... Ah jangan jangan kau sudah terbiasa.
“A...ku tidak tahu. Mungkin di balik lemari besar itu.” Mona menunjuk sebuah lemari besar di dekat jendela.
Setelah menemukan yang di cari. Dengan cueknya Arga melewati Mona yang masih mematung di pinggir ranjang berjalan keluar kamar. Mona berbalik, berlari kemudian mengunci pintu dengan cepat. Bibir mungilnya mendesah pelan dengan badan bersender pada pintu. “Ah! kenapa Kak Arga tiba tiba sudah ada di kamar Ku? Bikin aku panik saja.”
“Bisa bisa nya kau cuma pakai handuk saat ada lelaki di kamarmu. Kalau ada yang mencelakaimu bagaimana?” celoteh Arga ketika sudah ada di kamar menaruh kardus itu.
Eh Tunggu... Apa aku menghawatir kan nya?
Arga bergidik. Lalu memilih keluar dan turun ke lantai bawah untuk makan.
“Dimana Mona, Ga?” tanya Santi.
“Masih di kamar. Oh iya Ayah, tadi ada yang menelponku...”
“Siapa?”
Arga mengambil satu centong nasi. Menaruh beberapa lauk di atasnya. “Ada yang menawarkan produk minuman ke perusahaanku...”
“Dari perusahaan mana?” tanya Hutomo setelah meneguk air putih.
“Joanda group...”
Klunting!
Satu sendok terjatuh dari pegangan tangan Santi. Hotomo pun kaget mendengar nama perusahaan itu.
“Joanda Group? Kau serius?” Tanya Santi.
“Iya, tadi mereka menemuiku di restoran.”
Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Apa mereka tahu Mona ada di sini. Tapi bukan kah mereka sudah tak peduli. Santi beradu dengan pikirannya.
***
Siang itu di sebuah restoran dekat kantor.
“Selamat siang Tuan Arga, maaf mengganggu jam makan siangmu...”
Arga mendongak. Ia melihat wajah siapa yang telah menyapanya tanpa membuat perjanjian terlebih dahulu. Dan dimana Dion? Kenapa sampai ada orang asing yang berani menemuiku?
“Kau siapa?”
Tanpa sungkan lelaki itu langsung duduk di kursi kosong di depan Arga.
“Perkenalkan saya Dimas, sekretaris Tuan Agus.”
Arga masih tak berkutik. Ia menyuap satu sendok spageti.
“Sebelumnya saya minta maaf karena menemui Tuan dengan tidak sopan.”
“Kau tahu... kenapa masih disini?” jawab Arga enteng. Arga sudah hampir berdiri namun di cegah oleh Dimas.
“Tunggu sebentar Tuan, saya ingin berbicara serius dengan Anda.”
“Aku sibuk, dan Aku paling tidak suka ada orang berbicara tanpa ada janji pertemuan terlebih dahulu.” Arga membenarkan jas lalu berjalan kembali.
“Baik Tuan, tapi tolong bawa kartu nama perusahaan kami, ini perintah dari atasan saya...” Dimas mengejar kemudian menyodorkan kartu nama. Atas nama Agus Triyanto (Joanda group)
“Kami hanya ingin mengajak perusahaan Anda bekerja sama dengan Kami.”
“Ya baiklah, aku pikirkan besok, minggir aku mau lewat.” ucap Arga sedikit menggeser Dimas yang menghalangi jalannya.
***
#Selamat menikmati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Christy Oeki
lancar rejekinya
2022-08-04
0
Ramon Caniagoe Ramon
lanjut thìoo
2022-07-31
0
Ozma Fridani
udah mulai mata2 Mona ..
nama belakang diganti thor
2021-09-25
0