Gadis Mungil (I Love You)
Segerombolan orang berbadan kekar dengan tubuh dipenuhi tato masih mengejarnya tanpa kata lelah. Sorot mata tajam masing-masing, terus mengintai ke sekeliling area tersebut dengan raut wajah geram. Dua ke arah barat dan dua lainnya ke arah selatan.
“Kalian kesana, kita ke arah sini.”
Sementara gadis kecil dengan kacamata bundar dan lusuh itu sedang mengatur nafasnya yang ngos-ngosan di himpitan sempit antara tong sampah dan pohon serut besar. Peluhnya sudah membasahi sekujur tubuh, bahkan baunya sudah menyengat hidungnya sendiri. Ia tak peduli, yang penting pikirkan dulu cara menjauh dari kejaran mereka.
Mata bulatnya mengintip dari balik daun, mengamati pergerakan segerombol orang yang masih berkeliling disana. Kalau sampai mereka menemukannya, tamatlah sudah. Gadis itu mengelus dadanya, berdoa di dalam hati berharap Tuhan masih melindunginya.
Nafasnya masih berderu naik turun dengan cepat. Jantungnya pun semakin berdetak lebih kencang. Dalam persembunyiannya gadis mungil itu masih terngiang dengan kejadian yang telah di alami beberapa bulan ini. Kejadian yang selalu melukai hati dan tubuh mungilnya. Sampai detik ini pun Ia tak menyangka bahwa Pamam akan tega menjualnya. Padahal selama ini Mona sudah menganggap paman seperti orang tuanya sendiri, tapi kenyataannya lain, mereka tak menyayanginya. Bahkan mereka sangat membenci kehadirannya.
Di ruang tengah rumah megah bernuansa Eropa terlihat begitu menegangkan. Sorot mata tajam penuh kebencian itu mengarah padanya. “Akhirnya kau segera pergi dari sini!” Ucap lantang Widya. Seringai senyum menghiasi bibir nya.
“Sudah lelah kami merawatmu!!” sambung Widya lagi dengan tatapan sengit.
Gadis mungil itu tertunduk di samping anak tangga yang menjulang tinggi mengarah ke lantai dua. Matanya sembab memerah di hiasi beberapa titik butiran bening menempel di pipinya. “Tolong jangan buang aku, paman!” Pintanya memelas berusaha meraih pergelangan kaki pamannya. Ia sudah bersimpuh di lantai berharap pamannya akan iba.
“Cih!! Lepaskan!” Kakinya Ia kibaskan hingga gadis itu terjengkang.
“Hei!” Widya membungkuk. Tangannya mengangkat paksa dagu gadis yang masih terisak. “Kau pikir kami akan membuangmu?? Haha.” Tawa wanita itu menggelegar memenuhi ruangan mencekam itu. Menyiksa gadis ini rasanya sangatlah memuaskan. Di lepas cengkeraman di dagu nya dengan setengah menekan hingga meninggalkan bekas merah disana.
Sementara Tika, anak dari Widya itu mengikuti tawa ibunya. “Mampus kau!” imbuhnya dengan cibiran sengit di bibirnya. Rasa bencinya yang sudah lama di pendam semakin membuatnya bersemangat ikut mengusir nya.
“Kau akan kami jual! Kami tidak mau rugi!” Widya menunjuk ke arah wajah gadis itu tanpa peduli bahwa ucapannya itu telah membuatnya semakin ketakutan.
Agus sebagai kepala rumah tak merasa bersalah. Senyum di bibirnya menandakan Ia sangat mendukung ucapan Widya yang di lontarkan pada Mona. Bertahun tahun menanti, akhirnya yang di impikan pun terjadi.
“Kenapa paman dan bibi bicara seperti itu, spa salahku?” masih terisak namun berusaha berbicara. Tubuh mungilnya berusaha untuk berdiri lagi. Berdiri walaupun tulang nya sangat sakit untuk di gerakkan. Semua terasa berat dan kaku.
Widya berjalan mendekati suaminya. “Karena memang kau pantas untuk kami jual!” seringai bibir nya terlihat lagi.
“Hei kau!!” jarinya menunjuk lagi tepat ke arah kening gadis itu. “Sudah saatnya kau pergi dari kehidupan kami! Kami sudah tak membutuhkanmu!”
Malam itu sepertinya akan menjadi malam yang paling mengerikan baginya. Di sudut kamarnya yang sempit Ia masih menangis meratapi apa yang baru saja dan yang akan terjadi berikutnya. Di ruangan ini lah yang sudah satu bulan ini Ia gunakan untuk memejamkan mata kala lelah. Kamar loteng yang dulu di gunakan untuk menaruh barang yang sudah tak berguna lagi kini harus Ia huni dengan keterpaksaan. Dan benar, Mona ada di sini, itu tandanya memang dirinya sudah tak ada gunanya sama sekali. Ia kembali menangis sembari memeluk ke dua lututnya yang menggigil. Entah kedinginan ataupun ketakutan.
Setelah kepergian Ibu dan Ayahnya yang mengalami kecelakaan 2 bulan lalu, hidupnya langsung berubah seketika. Seperti sebuah bukit yang tiba tiba saja runtuh menyapu dan menyeret paksa apapun yang ada di bawahnya. Bukan saja rasa kehilangan yang menyayat hatinya, namun sifat Paman dan Bibinya yang tiba tiba berubah 180 derajat membuat gadis mungil itu semakin terpuruk. Sifat mereka yang kejam semakin membuat hidupnya seperti di neraka. Gadis itu di perlakukan layaknya seorang budak. Kehidupan yang penuh dengan tawa sudah tak di rasakannya lagi sekarang. Yang ada hanya penyiksaan yang Ia dapat dalam kesehariannya. Bahkan luka sayatan pisau masih membekas di punggung nya. Di tambah lagi dirinya akan segera di jual. Di jual kemana? kepada siapa? tak ada yang memberi jawaban.
Kebaikan mereka selama ini bukanlah atas dasar hati yang tulus. Setelah mereka berhasil menguasai seluruh kekayaan Ayahnya, mendadak sifat rubah mereka muncul.
Tepat pukul dua dini hari, gadis mungil itu terbangun karena tumpahan air yang tiba-tiba saja mengguyur tubuhnya yang tertidur meringkuk di sudut ruangan. Sontak Ia berdiri dengan nafas yang gelagapan. “A-apa yang paman lakuan padaku?” tanya gadis itu sambil mengusap wajahnya yang basah. Nafasnya masih tersengal karena air itu masuk ke dalam hidung nya.
“Bersiap-siaplah cepat! Kau akan segera di jemput!” Perintah Agus dengan keras. Ia melempar ember kosong yang di pegangnya ke arah gadis mungil itu hingga membuatnya mundur untuk menghindar.
Kedua tangannya mendekap tubuh mungilnya yang mulai kedinginan. “A-aku... ma-u dibawa kemana Paman?” tanya Ia gemetar.
Tak ada penjelasan dari Bagus. “Cepat ganti bajumu! Aku tunggu kau di bawah!”
“Ta-tapi Paman.”
“Lakukan! Atau kau mati!” Ancam Agus sambil menutup pintu dengan keras.
Deg!! Tubuh mungilnya semakin lunglai. Butiran bening mulai turun lagi dari balik kelopak matanya. Apa yang akan terjadi padaku? ada apa ini? sku takut!
“Mana gadis itu, Agus?” tanya lelaki botak yang tengah duduk di sofa ruang tamunya.
“Aku hancurkan rumah ini jika kau bohong padaku!” lelaki itu menatap tajam Agus yang masih berdiri di dekat tangga.
“Tunggulah sebentar, Tuan! Dia akan segera turun.”
“Baiklah....”
Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Dengan langkah gemetar gadis itu turun dan mendekat. Ia berdiri tertunduk di samping Agus. Ia hanya memakai T-Sirt dan celana jeans pendek. Itu pun baju bekas Tika. Rambutnya yang tersiram air pun belum sempat di keringkan. Bahkan di sisir pun tidak.
“Lusuh sekali bocah ini! Kau tidak menyuruhnya mandi? Ck!” ucap Lelaki botak itu. Ia melangkah mendekati Gadis itu. Gadis itu akan mundur tapi gagal karena lengannya langsung di genggam erat oleh Agus. Ia meringis karena cengkeraman yang kuat di lengannya.
“Sakit Paman.” Keluhnya lirih.
“Hei Bocah! Siapa namamu?!” tanya Lelaki botak itu. Ia membungkuk mendekati wajah gadis itu.
Ia masih diam. Tubuhnya semakin bergetar. Peluh dingin sudah menetes. Tangisnya tak lagi berguna. Sekedar mendongak sedikit Ia pun tak berani. Matanya hanya tertuju pada jemari kakinya yang saling menghimpit saling menguatkan
“Siapa namamu? Jawab!” Suara lantang itu membuat nya semakin ketakutan.
Ia terlonjak kaget. “Mo-Mona, Tuan. Monalisa....”
“Hemmm...” Lelaki itu mengangguk. Tubuhnya sudah berdiri tegak dengan tongkat kayu mahoni hitam di tangannya. Matanya melirik 2 lelaki berbadan kekar yang sedari tadi berdiri tak jauh dari nya. “Cepat bawa masuk ke dalam mobil!” perintahnya lantang.
“Baik Bos!”
Kedua lelaki itu menarik Mona dengan paksa.
“Paman! Aku mau di bawa kemana? Paman, tolong aku.” Mona berusaha menampis tangan kekar itu. Tapi tubuh mungilnya seperti akan retak dengan sendirinya jika terus melawan.
Agus tak peduli. Ia hanya fokus berbicara dengan si botak hingga Mona sudah tak terlihat lagi.
“Terimakasih, tuan,” ucapnya setelah menerima satu tas berisi uang berjumlah dua milyar. Ada senyum puas di sudut bibirnya.
“Sekarang gadis itu milikku!” ujar nya lagi.
“Senang bekerja sama dengan anda, Tuan Baron.” Agus menjabat erat telapak tangan Baron.
“Aku pergi,” pamit Baron setelah telapak tangannya terlepas.
“Akhirnya bocah itu pergi dari sini,” ucap Widya dengan senyumnya yang jahat.
Setelah ini sudah tak ada lagi penghalang atau gangguan untuk Agus selama menguasai perusahaan Joanda. Sekali berlayar dua pulau terlampaui. Agus menepuk satu tas kotak berisikan uang. Senyumnya tersungging di bibir tebalnya. Puas sekali rasanya. Inilah surga di dunia yang saat ini sedang di rasakannya.
“Lihatlah Istriku, sekarang kita menjadi orang kaya.” Tawa Agus menggelegar di ikuti Istri dan anak perempuannya.
****
Jangan lupa like dan vote nya 🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Cantik Monalisa seperti namanya..👍👍
Mampir thor semoga seru..🙋🙋
2024-12-11
0
Christy Oeki
trus sehat
2022-08-04
0
Sudaryanto
aku suka dgn yg mungil ya ....
2022-05-30
0