Semua mata terfokuskan pada satu orang yang kini sedang berdiri di samping Gita berbaring.
“Yah benar dugaan dokter sebelumnya. Nyonya Gita hamil. Ini di monitor ada kantung janin yang menandakan akan ada seorang bayi di dalamnya. Jadi keadaan seperti ini biasa terjadi di usia kehamilan trimester pertama.” Gita, Vita, dan Pardan sangat tak menyangka jika muntah-muntah yang Gita alami ternyata karena kehamilannya.
“Ha-hamil, Dokter?” Gita tergagap.
Ada perasaan senang yang begitu besar ia rasakan. Namun, ada juga perasaan sedih dan takut secara bersamaan.
Senang lantaran ia akan memiliki anak dan tentu rasanya tak sabar ingin memberi tahu sang suami kabar membahagiakan ini.
Tetapi, kembali lagi mengingat saat ini ia sedang berjuang mencari sosok sang suami yang entah kemana perginya.
Meski Saguna sangat terkenal, sayangnya Gita tak pernah melihat televisi mau pun majalah. Pikirannya hanya fokus mencari pria sederhana yang menjadi suaminya dan bekerja untuk memenuhi kebutuhannya selama di kota. Belum lagi ia juga harus membantu sang tante merawat rumah dan memasak.
Sungguh, waktunya begitu padat sekali.
“Bang Jupri, dimana kamu? Gita hamil Bang. Abang nggak mungkin tinggalin Gita sama anak kita kan, Bang?” tuturnya dalam hati.
Rasa cemas sungguh menguasai hati Gita saat ini. Bagaimana jika Jupri meninggalkannya selamanya? Bagaimana jika Jupri mengingat kembali ingatannya? Bagaimana jika Jupri justru melupakan Gita, istrinya?
Rasanya Gita tak sanggup memikirkan itu semua. Ia hanya bisa berdoa dan berharap saat ini. Usaha pun akan tetap ia lakukan sampai kapan pun.
“Selamat yah, Gita.” ucap Vita yang tersenyum mengusap punggung tangan Gita seolah memberikan dukungan saat ini.
“Sekarang kamu jangan terlalu capek. Sudah cukup kerja catering itu, yah Bu? Biar Gita jangan bantu Ibu lagi di rumah. Kasihan janinnya masih sangat muda.” sambung Pardan antusias.
Bagaimana pun mereka juga senang, karena sampai saat ini belum juga di karunia anak. Gita yang mendengar tersenyum senang.
“Terimakasih Tante, Paman.” sahut Gita berusaha menghibur diri.
Tanpa Gita ketahui jika hari ini juga, Saguna yang tiba di rumah usai mengantar sang kekasih pulang segera bersiap.
“Tuan, apa tidak sebaiknya besok saja? Anda baru tiba dari perjalanan jauh, Tuan?” Angga memberi masukan pada Saguna yang kala itu meminta untuk menyupirinya ke sebuah desa.
Saguna menghela napas kasar. Matanya menatap tajam Angga.
“Aku tidak punya waktu lagi, Angga. Jika selalu ku tunda, bisa saja aku tidak bisa kesana.” Angga pun patuh kemudian mengangguk. Ia segera mempersiapkan mobil yang sesuai dengan medan perjalanan jauh. Yang jelas harus tinggi karena kemungkinan akan melewati jalan yang sedikit rusak.
“Entah kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak? Apa terjadi sesuatu pada Gita? Apa Bapak memukul Gita? Tidak. Semoga saja semua baik-baik saja. Maafkan aku, Arumi. Aku berbohong, aku harus menyelesaikan masalahku dengan Gita sebelum kita menikah.” tutur Saguna mantap dengan pilihannya.
Pernikahannya dengan Gita bukanlah pernikahan berdasarkan cinta. Tak ada ikatan yang sah di mata hukum. Dan Saguna juga sudah memiliki ikatan tunangan dengan Arumi.
Meski di dalam agama, ikatan Saguna dan Gita lah yang lebih kuat. Tetapi cinta Saguna adalah milik Arumi.
Perjalanan siang itu di tempuh oleh Angga dengan keheningan. Sebab sang tuan muda di sampingnya sudah terlelap sejak perjalanan di mulai.
Tubuh Saguna benar-benar terkuras habis tenaganya. Ia lelah namun tidak pernah mengeluh.
Kepergian Saguna nyatanya membuat Arumi sedikit gelisah. Usai sampai di rumah wanita itu tampak duduk di teras rumah dengan wajah menekuk dan kedua tangan bertumpu pada rahangnya.
“Arumi, ada apa? Kok sudah pulang? Katanya mau jemput Saguna di bandara?” Sekar tampak segar dengan wajah yang baru saja selesai maskeran.
Di usia yang mulai senja ia harus rutin melakukan rangkaian perawatan untuk menjaga penampilannya.
Arumi masih bungkam hanya matanya saja yang bergerak melihat kehadiran sang ibu.
“Saguna mana?” Lanjut Sekar bertanya sembari celingukan di depan halaman rumah. Tak ada mobil mewah milik sang calon menantu.
“Mom, Saguna sudah harus ke kantor lagi. Arumi hanya jemput di bandara terus di antar pulang. Katanya dia harus kerja keras biar bisa libur setelah nikah nanti.” jawab Arumi sedih.
Mendengar itu, Sekar terkekeh. Tangannya mengusap lembut rambut pendek sang anak.
“Nggak usah sedih. Kita nyalon yuk. Gimana kalau sambung rambut kamu aja? Saguna pasti nggak suka lihat rambut calon istrinya pendek begini kan?” Arumi yang badmood tiba-tiba bersemangat.
Sang mommy benar. Saguna adalah pria yang paling senang melihat wanita berambut panjang. Akhirnya ia pun tersenyum dan mengangguk.
“Ayo, Mom.” ajak Arumi bersemangat.
Keduanya bersiap lalu menaiki mobil yang sudah ada supir di dalamnya. Mobil pun melaju menuju sebuah salon ternama.
Pandangan mata Arumi menelusuri setiap sudut ruangan salon itu, dulu beberapa bulan lalu. Ia sering menghabiskan waktu di sini untuk melakukan rangkaian perawatan rambut.
Sungguh rasanya Arumi sedih mengingat rambutnya yang sekarang sangat pendek.
“Arumi, beb, kemana saja? Oh my god! Rambutmu kenapa sependek ini?” Seruan seorang pemilik salon sangat syok kala pertama kali kembali bertemu Arumi.
“Bella, sudah ayo cariin rambut yang pas buat sambungin ke rambut Arumi.” Sekar melihat wajah sendu sang anak segera meminta wanita bernama Bella itu melakukan pekerjaannya.
Dengan sigap Bella bergegas mencari beberapa rambut yang cocok sesuai panjang, tebal, dan warna. Tak lupa tingkat kehalusan juga yang terbaik.
“Kasihan kamu, Arumi. Maafkan mommy yang memotong rambutmu, Nak. Semoga setelah ini kamu akan bahagia seterusnya.” batin Sekar berdoa sembari menatap wajah murung Arumi.
Hingga setengah hari pun dua wanita itu menghabiskan waktu di salon.
Jika saja Arumi tahu kemana Saguna pergi saat ini, pasti dia akan sangat sedih. Terlebih tujuan sang tunangan adalah mencari istrinya di desa.
Hingga malam tiba, akhinya Saguna dan Angga memasuki sebuah desa yang sangat asing di mata Angga. Namun, Saguna begitu hapal jalanan berkelok dan banyak simpangan itu.
“Yah, itu rumahnya. Berhenti di sana, Angga. Di situ biasa tanahnya lembab takutnya sulit keluar nanti.” Angga menatap sekilas wajah sang tuan yang sangat rinci menghapal sekitar rumah di depannya.
Dari dalam rumah, malam-malam sebuah sorot lampu mobil mewah membuat kedua kening wanita di dalam rumah mengernyit penasaran.
“Siapa, Bu? Malam-malam parkir di depan rumah.” Shanika tampak mengintip ke arah pintu rumah yang memang tak terbuka.
Haidar belum pulang dari tempat tetangga. Sebab itu pintu rumah tak di tutup. Terlebih Shani sedang menyapu.
“Tidak tahu, apa jangan-jangan kakakmu pulang?” terka Dewi mengingat anak pertamanya masih berada di kota.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Rindu Novita
ayo thor lanjut😊
2022-10-24
0