Hukuman Untuk Jupri

Suasana perjalanan masih tampak hening meski sudah berjam-jam mereka berada di dalam mobil. Lelah, tentu saja Gita sangat lelah. Satu malam ini tidurnya tidak tenang.

Pikirannya bercampur aduk memikirkan keadaan orangtua. Bahkan pria di sampingnya tak habis-habis membuatnya semakin berpikir yang tidak-tidak. Ketakutan akan penyakit yang tidak di ketahui kelak membuat Gita tidak bisa tenang.

“Gita, mau turun makan? Bapak mau singgah makan ini. Perjalanan masih lumayan.” Pak Dadang membangunkan Gita yang baru saja terlelap sejenak.

“Iya, Pak. Boleh.” jawab Gita sopan.

Sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan menjadi tujuan mereka. Gita bangun dan turun bersama sang suami. Jupri merasakan tubuhnya sedikit lebih enakan dan kepalanya berkurang sakit usai meminum obat dari rumah sakit.

“Ayo Bang, Gita bantu.” Wanita itu memapah tubuh Jupri saat hendak turun dari mobil, namun genggamannya di lepas Jupri saat turun dari mobil.

“Aku bisa kok. Ayo.” Jupri berusaha baik-baik saja.

Duduk berhadapan makan dengan tenang, nyatanya membuat Jupri enggan saling diam.

“Git,” panggilnya pelan. Gita melihatnya sejenak dan menenggak air minum di gelas.

“Iya, Bang. Ada apa?” tanyanya.

“Bagaimana kamu mendapat ijin dari Bapak untuk keluar desa? Bukankah itu artinya kita berdua tidak mendapatkan uang atas kerja kita?” Jupri ingat bagaimana hasil mereka yang harus di serahkan pada keluarga.

Gita tersenyum. Rasanya memberitahu sang suami tidak mungkin. Yang ada Jupri akan semakin kepikiran.

“Bapak tidak tahu, Bang. Ibu yang kasih ijin pas Bapak lagi kerja. Saya juga sangat khawatir saat Abang tidak sadar-sadar semalaman.” jelas Gita menutupi keadaan yang sebenarnya.

Jupri mengangguk paham.

***

Tak terasa sejak persinggahan di pinggir jalan itu kecanggungan di dalam mobil menghangat seiring berjalannya kendaraan roda empat itu.

Gita terlelap di pundak sang suami yang kokoh, sedangkan Jupri kembali memikirkan apa yang menjadi pertanyaannya.

“Siapa aku?” Itulah pertanyaan yang muncul setiap waktu.

Hingga tanpa terasa mereka telah tiba di halaman rumah sederhana milik orangtua Gita.

“Oh ini anak si*alan!” Teriakan seketika menyambut kedatangan mereka.

“Pak, jangan Pak. Mereka itu ke rumah sakit. Bukan kemana-mana.” Dewi berlari keluar rumah demi mencegah sang suami yang ingin menyambut kedatangan anak dan menantu dengan amukannya.

Wajah lelah pulang kerja, membuat Haidar semakin menyeramkan.

“Ibu sana! Jangan menghalangi Bapak, Gita itu harus di beri pelajaran. Apalagi suaminya itu, buat susah saja.” Maki Haidar mendorong kasar sang istri.

Sedang di dalam mobil, Gita tampak terbangun setelah Jupri membangunkannya.

“Sudah sampai, Bang?” tanya Gita mengerjapkan matanya. Namun kantuk yang masih bersarang di matanya seketika hilang saat mendengar teriakan sang bapak.

“Gita! Keluar kamu!” Di depan sana Haidar sudah berjalan mendekat pada mobil.

Gita tahu kemarahan sang bapak seperti apa, ia yang melihat keadaan sang suami segera turun lebih dulu untuk menghadang sang bapak.

“Pak, Gita tidak bermaksud…”

Plak!!

Tamparan mendarat di pipi Gita saat itu juga. Jupri yang turun dengan cepat terlambat mencegahnya. Dengan mata kepala sendiri ia melihat bagaimana tangan sang mertua menampar wajah sang istri.

Sumpah demi apa pun ia benar-benar tidak tega.

“Pak, tolong jangan main tangan pada Gita, dia perempuan.” Tegas Jupri untuk pertama kalinya.

Mendengar bantahan sang menantu, Haidar justru semakin marah. Di rumah ini tidak ada yang boleh membantahnya.

“Kurang ajar kamu! Rasakan ini!”

Plak!!

Jupri pasrah saat sang mertua menamparnya. Gita yang melihat itu berteriak histeris.

“Bapak! Tolong, Pak. Bang Jupri masih sakit.” Tangisan Gita membuat Haidar kembali masuk ke rumah.

Dewi menangis memeluk sang anak dan menantunya.

Kepergian Haidar barusan ternyata bukan untuk menghindar. Justru pria itu kembali dengan membawa satu lembar pakaian sang menantu.

“Ini bajumu. Sekarang kamu ke gudang. Ikut saya. Karena kam tidak bekerja hari ini, mulai sekarang kamu akan ikut ke Kota jadi buruh padi.” Tangan Haidar menarik tangan Jupri ikut dengannya.

“Pak, jangan. Bang Jupri masih sakit.” Gita berlari menahan tangan sang bapak.

Jupri tak tega melihat tangisan sang istri. Ia pun memegang tangan Gita.

“Gita, aku sudah sembuh. Lagi pula Bapak benar, aku harus cari tambahan. Jangan menangis, aku baik-baik saja.” Gita berdiri meneteskan air mata melihat Jupri yang melepaskan tangannya.

Pria itu mengikuti kemana langkah Haidar berjalan.

“Kak Gita!” Shani yang baru pulang mengajar sebagai guru les anak-anak itu menghambur memeluk sang kakak.

Ia tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya.

“Ayo masuk, kita berdoa saja semoga Jupri tidak sakit.” Dewi menuntun anaknya masuk.

“Pak Dadang, sebentar yah saya bayar. Saya bawa Gita masuk dulu.” Bu Dewi melihat Pak Dadang yang masih berdiri dengan wajah syok melihat tingkah Haidar yang begitu kasar.

“Iya, Bu Dewi silahkan.” jawabnya.

Di dalam rumah, Gita terus menangis khawatir pada sang suami.

“Kak tenang saja, Shani ada ponsel kita bisa hubungi Kak Jupri. Nanti Shani minta nomor telpon yang pergi sama Kak Jupri. Kakak jangan nangis lagi yah?” Hibur adiknya pada Gita.

Gita terdiam seketika, ia mengusap air mata di pipinya lalu berkata,

“Kamu beli hp, Shan?” tanya Gita.

“Iya, Kak. Tapi nyicil. Soalnya ini sangat penting buat kerjaan Shani. Sekarang apa-apa butuh hp. Coba saja Kakak punya hp sama Kak Jupri. Pasti lebih enak komunikasinya.” tutur sang adik.

Gita terdiam. Ia sangat ingin hal itu, tapi bagaimana membelinya. Gaji buruh hariannya saja pas-pasan untuk di dapur. Tak sedikit yang makan di rumah itu. Ada ayah, ibu, adik, suami dan Gita sendiri.

Dewi yang mendengar percakapan kedua anaknya memegang tangan Gita. Ia tahu apa yang ada di pikiran Gita saat ini.

“Pakailah uang yang Ibu beri, Git. Pasti itu cukup. Setidaknya akan memudahkan jika kau butuh sesuatu.” Dewi tersenyum penuh kasih pada sang anak.

“Tidak, Bu. Gita akan kembalikan ini uang Ibu. Semoga Bang Jupri baik-baik saja.” ujarnya berlapang dada.

Ia tidak boleh egois memakai uang tabungan sang ibu, menabung dengan kondisi mereka tentu tidak akan mudah.

Wanita itu menyerahkan uang yang di dompet miliknya pada sang ibu. Meski sudah terpakai lumayan. Setidaknya ia masih bisa mengembalikan sisanya.

Dewi menggeleng pelan. “Ibu tidak butuh ini, Nak. Pakailah atau simpanlah. Ibu yakin kau akan butuh suatu saat nanti. Ibu sudah cukup dengan jualan Ibu dan uang dari Bapak. Lagi pula Shani juga memberi Ibu.”

Shani sungguh kasihan pada sang kakak. “Iya Kak Gita. Lagi pula itu penting untuk Kakak. Siapa tahu suatu saat Kakak bisa membeli rumah untuk tinggal bersama Kak Jupri. Akan lebih baik, biar Bapak tidak menekan kalian terus. Kasihan Kak Jupri, Kak.” Mendengar kata rumah, Gita akhirnya urung mengembalikan uang sang ibu.

Benar, ia harus memikirkan kehidupan rumah tangganya bersama sang suami kedepannya. Tidak mungkin mereka hidup dalam tekanan sang bapak selamanya.

Terpopuler

Comments

yanah

yanah

kasian mereka, semoga kebahagiaan menyertai mereka

2022-10-18

0

Aan Putra Ranto

Aan Putra Ranto

semangat tor

2022-10-17

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!