Selesai makan, Nara tidak lupa ingin mencuci piring tetapi dilarang Mahendra. "Tidak usah cuci piring, ini sudah malam, waktunya kamu pulang." Mahendra kemudian menujuk Ezra.
"Eits… jangan bilang gue yang antar? Ogah banget," tolak Ezra langsung.
"Siapa juga yang mau menyuruhmu," ucap Mahendra bangkit dan memberikan baby Alan ke Nara.
"Terus, apa maksudmu nunjuk Ezra?" tanya Daffa baru selesai makan dan membawa piringnya ke tempat cucian piring.
"Ezra yang cuci piring," jawab Mahendra.
"Apa? Gue? Nggak salah nih?" Ezra menunjuk diri sendiri.
"Terus mau kamu apa? Naik ke atas doang? Numpang tidur doang? Sesekali cuci piring sana!" suruh Mahendra. Ezra pun berdiri, melirik benci ke Nara. "Sialan, gue nyesel banget tahan lo barusan di sini!" Kata Ezra menunjuk - nunjuk bahu Nara.
"Ezra! Kerjakan saja, tidak usah menyalahkan, Nara!" Daffa berdiri di dekat Nara dan mendorong Ezra jauh - jauh.
"Shiiiiit! Okeh, malam ini gue kerjakan! Puas kalian!" Ezra pun pakai celemek, cuci piring dengan tidak karuan.
"Nara, sini biar aku antar kamu pulang," tawar Daffa tapi Mahendra berdiri di hadapan mereka.
"Malam - malam begini cuaca dingin, tidak baik kamu membawa Nara dan adiknya pakai motor, biar Nara saja ikut denganku pakai mobil." Nara meneguk ludah merasa gugup harus diantar Mahendra.
"Ta…tapi kan, aku yang bawa Nara, jadi –"
"Jangan bodoh, Daffa. Pikirkan bayi kecil dulu daripada egomu," ucap Mahendra.
'Apaan sih tuh Mahendra, kok dia jadi perhatian ke Nara? Padahal kan dulu - dulu kalau sudah makan langsung ke kamarnya, sok - sokan banget,' batin Ezra merasa jengkel melihat dua cowok itu berdiri di sebelah Nara.
Dipikir - pikir memang Daffa tidak bisa mengantar Nara, maka dari itu Nara pun setuju demi anaknya tidak sakit lagi. "Yang dikatakan Pak Mahendra benar, biarkan dia yang mengantarku, Daffa."
"Baiklah, tapi kalau sudah sampai, jangan lupa telepon aku ya," pesan Daffa pun pasrah.
"Hm, terima kasih untuk hari ini." Senyum Nara ke Daffa tapi matanya melihat Ezra yang mulutnya sedang mengomel - omel sendirian. Tingkah cowok satu itu memang menyebalkan. Tidak seperti Mahendra yang menyetir mobil dengan tenang. Terlihat keren tapi cuek dan dingin. Itu membuat Nara jadi canggung bisa diantar pulang pria dewasa yang tampan. Setelah sampai di depan rumah, tiba - tiba Mahendra mengunci pintunya sebelum Nara keluar.
"Ada apa ya, Pak?" tanya Nara takut.
"Nara, dari hasil yang saya dapatkan, Bu Mayang tidak pernah menikah, jangankan hamil, dia tidak punya suami. Lalu bagaimana kamu bisa katakan itu adalah anak Bu Mayang?"
Dag
Dig
Dug
Nara pastinya terkejut pertanyaan itu terlontarkan untuknya. Itulah mengapa tadi Mahendra sibuk di kamar karena sedang menyelidiki Bu Mayang. Suasana yang tadi canggung pun berubah menakutkan.
"Nara, saya tidak memaksamu untuk jujur saat ini, tetapi saya harap kamu tidak menyembunyikan sesuatu yang bisa menodai sekolah mu dan ini ambillah, berikan pada Bu Mayang, susu ini bisa melancarkan ASI untuk Alan supaya tidak sakit." Mahendra lagi - lagi tidak bisa ditebak apa maunya.
"Tapi saya –"
"Rezeki jangan ditolak, Nara." Mahendra serius. Dengan terpaksa, Nara menerimanya bersamaan pintu mobil terbuka.
"Terima kasih, Pak." Setelah keluar, Nara secepatnya masuk ke rumah, menutup pintu rapat - rapat karena dari dalam mobil Mahendra masih menatap curiga ke rumahnya. Sesaat kemudian, wakepseknya itu pun pulang.
"Akhirnya bisa nafas, huuu…." Nara mengelus dada dan tersenyum ke baby Alan yang sibuk lihat kotak susu dari Mahendra.
"Hahaha… lain kali baby Alan yang akan kasih hadiah ke Pak Mahendra ya." Gemes Nara mentoel - toel pipi gemoy anak mungilnya.
Setelah minum susu dari Pak Mahendra, Nara meletakkan baby Alan ke tempat tidur, kemudian melihat jam dinding sudah pukul tujuh malam tapi Bu Mayang belum pulang. Nara yang gelisah pun menelpon tetapi tidak aktif.
"Harusnya sudah pulang, tapi apa mungkin masih bekerja di luar?" gumam Nara mondar mandir di dekat tempat tidur membuat mata baby Alan ikutan celingak - celingukan.
"Mungkin lagi macet di jalan jadi Bu Mayang pulang terlambat, kalau begitu aku bersih - bersih badan dulu di kamar mandi."
Selesai bersihkan diri dan pakai baju biasa, tetap saja Bu Mayang belum pulang.
"Sudah jam delapan tapi belum pulang juga, kemana Bu Mayang?" Cemas Nara dan sudah selesai menidurkan baby Alan. Tiba - tiba di luar ada yang mengetuk pintu, Nara secepatnya pergi melihat, tetapi yang datang adalah Pak Fahri sendirian saja.
"Syukurlah, kamu sudah di rumah, Nara,"
"Pak Fahri? Kenapa malam - malam ke sini, Pak?" tanya Nara belum izinkan gurunya itu masuk. Bukannya kurang ajar, tapi tidak baik malam - malam menerima tamu pria bujang seperti Pak Fahri. Apalagi Nara hanya seorang diri di rumah.
"Ibumu,"
Satu kata yang membuat Nara reflek mencemaskan Bu Mayang.
"Kenapa sama ibuku, Pak?"
"Nanti kamu akan tahu setelah ikut bersamaku ke kantor polisi, sekarang cepat pergi ke mobil, saya tunggu kamu di sana." Pak Fahri berjalan ke mobilnya.
"Kantor polisi? Apa yang terjadi?"
Tidak mau berpikir lagi, Nara ke kemarnya, mengambil sweater birunya untuk siap sekarang. Setelah masuk ke dalam mobil, Pak Fahri terbelalak melihat Nara membawa sesuatu yang terbungkus selimut tebal.
"Nara, kamu tidak usah bawa pakaian ke sana, Bu Mayang cuma ingin bertemu denganmu,"
"Maaf, ini bukan pakaian, Pak."
"Terus apa?" tanya Pak Fahri cukup kaget dan tambah kaget Nara membuka sedikit selimut itu.
"Ini bayi, Pak."
"Ba…bayi? Bayi siapa?" Pak Fahri memegang dadanya, menahan serangan jantungnya karena setahunya Bu Mayang belum menikah dan Nara tidak mungkin punya anak.
"Ke kantor polisi saja, Pak. Nanti Ibu yang jelaskan," ucap Nara yang tadi cemas, tapi sedikit lega karena reaksi Pak Fahri yang lucu.
"Baiklah. Pakai sabuk pengaman dan jaga baik - baik bayi itu." Pak Fahri menancap gas secepatnya ke kantor polisi.
🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾
"Jadi bagaimana? Kamu sudah bereskan wanita itu?" tanya cowok tinggi yang berdiri di dekat jendela dan menatap bulan purnama di atas langit. Mempunyai tindik di telinga dan di hidungnya, tetapi tidak bisa merusak paras putih tampannya. Ia juga memiliki lencana blackzak di lengan. Ialah Vano Bastian, Tuan muda dan ketua tertinggi yang memegang kendali 12 gangster blackzak di sekolah.
"Saya sudah mengaturnya dan wanita itu sekarang dipenjara," tutur wakilnya yang datang melapor.
"Kerja bagus, saat ini dia tidak punya siapa - siapa untuk melindunginya." Seringai Vano berbalik badan kemudian meneguk isi gelas di tangannya yang berisi alKohol.
"Jika begitu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Vano?" tanya wakilnya yang selalu setia. Vano duduk ke singgasananya, menatap biodata Nara.
"Tentu saja mengambil apa yang dia punya sekarang." Vano meremat gelasnya sampai pecah hingga serpihan mengenai tangannya. Wakilnya pun diam saja melihat darah menetes bebas ke meja.
"Aku yang akan langsung mendatanginya."
"Nara Kumaira."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Joveni
nebak" trus nih.. apa alan anaknya vano??? hhhhaaiiisssshhhhhh...
2022-10-09
2