Pak Anwar memandangi dua orang yang ada di hadapannya secara bergantian. Dia menyadari tatapan mata Wildan yang sayu dan syarat akan kesedihan. Jelas, mantan muridnya itu kecewa. Orang yang dikira baik dan paling peduli nyatanya adalah seorang laki-laki bertopeng badut dengan tangan penuh dosa dari masa lalu.
"Hey, Pak Tua! Ada beberapa pertanyaan untukmu. Jawab dengan jujur dan kamu akan kubiarkan hidup!" bentak Angel tiba-tiba.
"Aku nggak ada urusan denganmu Nona. Aku tak mengenalmu. Lagipula kamu pikir aku akan takut dengan gertak sambalmu? Ha ha ha!" Pak Anwar tergelak, menertawakan Angel yang tengah memasang wajah sangar.
"Aku sudah kenyang asam garam dunia kejahatan. Jangan kamu pikir aku akan tunduk pada bocah kemarin sore," lanjut Pak Anwar mengejek.
"Oh ya? Lalu, Pak Tua yang paling berpengalaman ini tak bisa membedakan mana yang hanya menggertak dan mana yang bersungguh-sungguh ingin mencabik-cabik tubuhnya?" Angel tersenyum sinis. Dia mengambil pisau lipat milik Pak Anwar yang tadi dia pungut.
"Hey hey, mau apa kau?" Wildan panik melihat Angel yang memain-mainkan pisau lipat di tangannya.
Angel mengacuhkan Wildan. Dia tersenyum menatap wajah Pak Anwar. Laki-laki tua itu nampak terkekeh mengejek. Bahunya berguncang-guncang perlahan menahan tawa.
"Jangan anggap aku lelucon Pak Tua!" bentak Angel seraya mengayunkan pisau lipat di tangannya, tepat menghujam paha Pak Anwar sebelah kanan.
"Arrghhh! Brengsek! Perempuan kurang ajar!" Pak Anwar melotot kesakitan. Dia mengerang dan mengumpat. Sama sekali tak menduga perempuan muda di hadapannya itu begitu berani menyerangnya.
Angel tersenyum puas. Tangannya penuh cipratan cairan warna merah kental. Wildan terbelalak tak percaya. Perempuan yang saat ini memunggunginya itu ternyata lebih mengerikan dari dugaan.
"Arrghhh Argghhh!" Pak Anwar masih mengerang kesakitan. Dengan kasar Angel menepuk-nepuk paha Pak Anwar yang terluka menganga.
"Jawab pertanyaanku tua bangka!" bentak Angel sekali lagi. Pak Anwar menarik nafas dalam-dalam, menahan ngilu dan sakit yang tak terperi.
"Kamu sudah gila!" Wildan menarik lengan Angel. Memaksanya untuk menjauhi Pak Anwar.
"Bukankah Pak Tua itu juga sama gila nya denganku? Dia hendak menghabisimu tadi!" bentak Angel melepas cengkeraman tangan Wildan.
Angel kembali mengarahkan tatapan matanya yang tajam pada Pak Anwar. Dan orangtua itu kali ini terlihat ketakutan. Rasa sakit di paha kanan menjadi alarm tanda bahaya dan menegaskan bahwa Angel sanggup mencelakai bahkan menghabisi tubuh renta Pak Anwar.
"Sekarang jawab aku, Pak Tua! Kamu adalah Badut 6. Pelaku perampokan di rumah pengusaha kaya raya pada tahun 1991 silam, benar begitu?" tanya Angel tegas.
"Bagaimana kamu tahu? Si-siapa kamu sebenarnya?" Pak Anwar nampak terkejut. Bola matanya membulat dan bergetar.
"Hey diam! Peraturannya adalah aku yang bertanya kamu yang menjawab, bukan sebaliknya," ucap Angel setengah membentak.
"Pertanyaan kedua, untuk apa kamu mengincar pemuda lembek di belakangku ini?" tanya Angel sambil memicingkan matanya ke arah Wildan.
"Kenapa kamu tak bertanya saja padanya? Wildan sudah tahu alasan kenapa aku ingin mencelakainya," jawab Pak Anwar ketus.
Angel mendesis perlahan, kemudian kembali menggenggam gagang pisau lipat di paha Pak Anwar. Dengan senyuman yang terkembang lebar dia menggoyang-goyangkan pisau lipat itu. Terang saja Pak Anwar mengerang kesakitan.
"Hey, cukup! Kamu tak boleh menyiksanya!" Wildan kembali menarik lengan Angel. Meskipun Wildan sadar, Pak Anwar hampir saja mencelakainya tadi, namun hatinya ikut merasakan perih kala melihat sang mantan guru meringis kesakitan.
"Dia menginginkan lembaran uang 50 ribuan yang tercetak pada tahun 1991. Uang yang disimpan oleh mendiang Bapakku," lanjut Wildan. Akhirnya dia bercerita, khawatir Angel akan menyiksa Pak Anwar lagi.
"Oohh, rupanya badut nomor 6 menginginkan harta yang disimpan oleh Badut nomor 2 ya." Angel terkekeh.
"Huh, aku benar-benar tak mengenalimu Nona. Tapi sepertinya kamu tahu banyak tentang para Badut." Pak Anwar mengatur nafas. Peluhnya bercucuran, rasa nyeri di pahanya kian berdenyut.
"Wildan sebaiknya kamu berhati-hati dengan perempuan ini," ucap Pak Anwar beralih menatap Wildan.
Wildan tertegun beberapa saat. Lidahnya terasa kelu. Pergolakan batin terjadi. Dia menatap Pak Anwar dan Angel bergantian. Dua orang yang terasa sama-sama asing di hadapannya.
"Maaf Pak, Njenengan tidak berhak menasehatiku. Bukankah Njenengan sendiri yang hendak mencelakaiku tadi? Bahkan seburuk-buruknya hati dan sifatku, tak pernah kuduga Njenengan memiliki niat seburuk itu padaku," jawab Wildan lirih.
Pak Anwar terdiam. Dia mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Sungguh hatinya pun terasa pilu kini.
"Sebaiknya kamu segera pergi dari sini Wildan! Sungguh! Percayalah! Yang mengincar uang itu bukan hanya aku." Tiba-tiba saja Pak Anwar membentak memberi perintah.
"Siapa lagi? Badut nomor berapa yang kiranya akan datang kemari?" tanya Angel penasaran.
"Nomor delapan. Aku sempat berkomunikasi dengannya tadi. Si Arloji emas memiliki pengaruh besar di daerah ini. Tentu dia memiliki centeng-centeng yang siap membungkam kalian!" jelas Pak Anwar. Dia kembali mengamati Angel, mencoba menerka siapa gerangan perempuan muda mengerikan itu.
"Sebaiknya kamu bersiap! Kita pergi dari sini," ucap Angel memberi perintah pada Wildan.
"Hah? Jangan becanda! Kenapa aku harus menuruti perintahmu? Aku akan tetap berada di rumah ini!" Wildan menolak dengan tegas.
"Telingamu tersumbat cotton bud hah? Nggak denger? Tempat ini tak aman lagi. Kamu diincar dodol!" bentak Angel geram.
Wildan tertegun. Dia mundur beberapa langkah, menyandarkan tubuhnya pada dinding rumah yang usang. Hidupnya yang selama ini terasa tak berguna dan hanya sesuka hati itu kini tiba-tiba saja jatuh dalam lobang yang tidak dia ketahui dasarnya. Wildan benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Siapa yang harus dipercaya, semua orang seolah tengah memakai topeng badut dan mempermainkannya.
"Kalau kamu nggak mau pergi, aku akan meninggalkanmu disini. Melawan musuh yang di luar kemampuan diri sendiri itu namanya bod*h. Menghadapi kakek tua ini saja, kamu nggak mampu apalagi menghadapi para centeng?" ejek Angel.
"Kenapa aku harus percaya omongannya? Bisa saja kan dia membual," sahut Wildan lirih.
"Kurasa dia tidak membual. Yang kutahu Badut nomor 8 memang dulunya seorang petugas. Sangat mungkin saat ini orang itu sudah menjadi orang yang berpengaruh," ucap Angel santai.
"Tapi rumah ini adalah satu-satunya warisan Bapakku. Kalau aku pergi dari sini, aku hanya akan menjadi sampah di luar sana." Wildan hendak menangis. Suaranya bergetar.
"Bertemu denganmu sungguh menjengkelkan. Laki-laki seusiamu tak seharusnya cengeng dan menyedihkan seperti ini. Coba pikir, warisan orangtuamu bukan hanya rumah ini. Tapi juga, uang 50 ribuan lama yang diinginkan oleh para badut," balas Angel.
"Ikutlah denganku. Kita cari cara untuk mengatasi ini semua," lanjut Angel meyakinkan.
"Kenapa aku harus mempercayaimu? Aku baru bertemu denganmu hari ini," bantah Wildan sembari menggeleng perlahan.
"Karena kita senasib. Sama-sama anak yang dibesarkan oleh penjahat bertopeng badut." Tatapan mata Angel nampak teduh. Gurat wajahnya menggambarkan kesedihan yang mendalam.
Bersambung___
Halloo gaes gimana kabar.
berapa hari ya aku nggak nulis? kangen banget sumpah. ha haa
kemarin off dulu, karena ternyata tensiku drop separah itu. lihat hp, layar laptop, bahkan tv pun rasanya sampek muter2 kepala.
alhamdulillah hari ini sudah bisa masuk kerja lagi, bisa nulis lagi.
duh, semoga semuanya sehat-sehat ya.
kapok aku sakit kayak gini lagi, beneran rasanya kayak mau pindah ke universe lain, dunia muter2. hadehhh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
julius
alurnya bagus
2024-03-03
0
IG: _anipri
kalau itu memang betul. pada dasarnya ke duabelas badut itu sama-sama ingin uang itu
2023-01-14
1
Muiz
wah aku lama juga ga buka novel ni thor waktu aku baca masih dikit maka nya tak tinggal biar banyak dulu bab nya.semangat thor sehat selalu
2022-12-20
1