Bunyi topeng badut jatuh menggelinding terdengar nyaring di antara derasnya air hujan. Topeng itu berputar-putar sejenak kemudian berhenti dan tertelungkup di bawah ranjang tempat tidur. Sosok bertopeng yang menyerang Wildan nampak menyeringai dengan tatapan bengis.
"Pak Anwar?" pekik Wildan tak percaya. Orang yang sejak kemarin terasa paling tulus dan peduli pada Wildan nyatanya kini hendak mencelakainya. Bahkan tangan kanan laki-laki tua itu terlihat erat tanpa keraguan menggenggam pisau lipat.
"Apa maksudnya ini? Kenapa Njenengan mau mencelakaiku?" Wildan meraba lehernya yang mengkerut bekas jeratan kabel. Sementara jari telunjuknya masih terasa berdenyut dan ngilu. Jari telunjuk itu nampak tertekuk ke belakang dengan posisi yang tidak wajar.
"Uang itu milik kami. Dimana kamu menyimpannya?" tanya Pak Anwar. Wajah yang biasanya lembut dan meneduhkan itu kini terlihat buas bagai seekor singa yang tengah kelaparan.
"Hah? Jadi pagi tadi Njenengan masuk ke kamar ini hanya untuk mencari uang kuno yang tak berguna itu? Untuk apa? Uang apa itu sebenarnya?" desak Wildan. Rasa sakitnya kalah oleh rasa penasaran yang tak tertahankan.
"Kamu nggak perlu tahu. Lagipula kamu nggak ada hubungannya. Serahkan saja uang itu padaku, maka nyawamu bisa terampuni," balas Pak Anwar. Seulas senyum tersungging di sudut bibirnya.
"Aku tidak takut Njenengan. Seharusnya Njenengan sadar usia. Tubuh renta itu tak mungkin menang melawanku. Kesempatan Njenengan untuk mencelakaiku hanya saat aku lengah tadi," ucap Wildan seraya berdiri. Batinnya tertawa tak menduga bakal menantang berkelahi seorang kakek-kakek.
"Ha ha ha. Jangan jumawa Nak. Bahkan Bapakmu dulu takkan berani menantangku." Pak Anwar tergelak, tawanya pecah. Terdengar serak dengan bahunya yang berguncang.
Pak Anwar tanpa ancang-ancang langsung mendekati Wildan. Tubuh renta itu nyatanya sangat gesit. Wildan mundur satu langkah, menghindari tubrukan sang guru. Pak Anwar menunduk dan langsung melakukan gerakan sapuan kaki.
Wildan terlambat menghindar, tungkainya beradu dengan tungkai Pak Anwar. Meskipun tenaganya tak terlalu besar, namun serangan Pak Anwar telak dan terukur. Wildan pun jatuh tanpa perlawanan. Pelipisnya yang sebelah kanan menghantam lantai dari semen bertekstur kasar dengan cukup keras.
Belum sempat Wildan mengaduh, tangan kirinya dijepit dan dikunci oleh Pak Anwar. Kedua kaki Pak Anwar menjepit dan menarik paksa tangan Wildan. Kakek berusia hampir tujuh puluh tahun itu terasa sangat bertenaga. Wildan tak sanggup bergerak merasakan ngilu di pangkal lengannya.
"Serahkan uang 50 ribuan lawas itu, atau kupatahkan tanganmu bocah!" bentak Pak Anwar.
"Arrghhh!" Wildan mengerang kesakitan, masih berusaha memberontak namun percuma. Tangan kanannya juga tak bertenaga akibat telunjuknya yang patah.
"Sejujurnya aku tak ingin melukaimu. Aku hanya ingin uang itu. Aku mencarinya di kamar ini dan tidak ketemu. Kupikir sudah hilang, namun sore tadi tiba-tiba kamu menanyakan soal uang lama. Aku sadar uang itu kini ada padamu. Sekarang serahkan padaku!" Pak Anwar melotot. Nafasnya tersengal, usia tidak bisa dibohongi. Meski dulu laki-laki sepuh itu adalah seorang ahli bela diri, nyatanya kini stamina dan otot tubuhnya tak lagi prima. Namun tetap saja Wildan yang tak pernah menempa tubuh dan tak mengenal teknik beladiri bukanlah tandingan Pak Anwar.
"Ayo cepat berikan uang itu!" Pak Anwar memutar lengan Wildan.
"Arrgghhh! Uang itu, uang itu ada di kamarku!" pekik Wildan kesakitan.
"Tunjukkan padaku!" perintah Pak Anwar melonggarkan kunciannya.
"Tapi Njenengan takkan membunuhku kan? Kalau kuserahkan uang itu," ucap Wildan memelas.
"Banyak omong!" Pak Anwar meraih kelingking tangan kiri Wildan dan memutarnya.
Klaakkk
"Arrgghhh!" Wildan kembali mengerang kesakitan. Dua jari patah dalam satu hari.
Pak Anwar melepaskan Wildan dan segera berdiri sambil menepuk-nepuk celananya yang berdebu. Sedangkan Wildan masih tengkurap memegangi pangkal telunjuknya yang ngilu. Hampir saja dia pingsan merasakan sakit yang tak terperi.
"Menjeritlah sekeras-kerasnya. Takkan ada yang mendengar," ejek Pak Anwar.
"Bapakmu dulu cerita padaku. Sejak kematian Ibukmu dia ingin menghindari orang-orang. Dia ingin melupakan semuanya dengan menyendiri disini. Dia ingin suatu saat nanti kamu mendapatkan kerjaan di kota dan meninggalkan Bapakmu disini sendirian. Itulah cita-citanya. Sayangnya semua itu tak terwujud, kamu malah bertingkah seperti sampah. Dan kini kamu harus berurusan denganku. Cihh!" Pak Anwar geleng-geleng kepala.
"Apa hubunganmu dengan Bapak?" Wildan bersuara, di antara rasa sakitnya.
"Kami adalah para badut. Kami sudah berjanji untuk tidak saling mengganggu, tapi Bapakmu sepertinya kehilangan akal dan hendak berkhianat. Padahal dulu dia salah satu pemimpin. Sial! Padahal aku ingin masa tuaku tak lagi berurusan dengan dunia hitam." Pak Anwar menghela nafas.
"Sudahlah! Sekarang tunjukkan dimana kamu menyimpan uang itu!" bentak Pak Anwar. Kakinya terayun ringan dan langsung mengenai ulu hati Wildan dengan telak.
"Uhukk uhukkk hoeekkk!" Wildan muntah. Mulutnya terasa pahit.
Pak Anwar menarik kerah kaos Wildan dan memaksanya berdiri. Wildan diseret dan dipaksa untuk berjalan menuju kamarnya.
"Cepat, mana uangnya? Serahkan padaku!" perintah Pak Anwar sambil melotot.
Wildan membuka lemari perlahan. Dia sempat menoleh memperhatikan Pak Anwar yang berdiri di belakangnya. Wildan mengangkat tumpukan bajunya di lemari. Dia mengambil sebuah gear motor bekas, yang dulu sering digunakan untuk tawuran semasa sekolah.
Sekuat tenaga Wildan berbalik badan dan mengayunkan gear di tangannya. Pak Anwar berhasil mundur satu langkah, meski ujung hidungnya tetap robek terkena sabetan gear.
"Bocah kurang ajar!" Pak Anwar mengayunkan kaki kanannya, menendang perut Wildan hingga jatuh terjengkang.
"Tubuhku sudah tua. Gerakanku lambat. Tapi pengalaman dan insting membuatku selamat dari luka fatal," ucap Pak Anwar memegangi hidungnya yang mengucurkan cairan merah pekat.
"Bocah keras kepala sepertimu memang tak seharusnya diberi kesempatan." Pak Anwar mengelap hidungnya dengan ujung lengan baju.
Pak Anwar merebut paksa gear di tangan Wildan dan membuangnya. Muridnya itu terlihat tak berdaya kini. Tanpa ampun Pak Anwar menarik kerah kaos Wildan. Sambil bersandar pada lemari, Wildan dipaksa untuk berdiri.
"Sejujurnya aku tak mau seperti ini. Tapi apa boleh buat. Seberapapun inginku untuk meninggalkan jalan hidup yang kotor, nyatanya aku tetap bermuara di tempat penuh lumpur. Aku menikmati hari-hariku mengajarimu tentang kebaikan. Tapi kini aku akan merenggut hidupmu. Sungguh ironi," ucap Pak Anwar lirih. Wajah penuh amarah dan bengis yang sedari tadi terpancar, kini berubah sendu. Sudut netra terlihat bulir-bulir air bening yang siap menetes dan mengalir.
Wildan sudah pasrah, sekujur tubuhnya terasa sakit. Sudut hati mengejek dirinya sendiri yang kalah berkelahi dengan kakek-kakek berusia lebih setengah abad. Tapi mau dikata apa, nyatanya meski badan tinggi besar mental Wildan sangat lembek.
Pak Anwar menarik nafas dalam-dalam. Dia menggenggam pisau lipat di tangannya dengan erat. Terpancar keraguan di bola matanya yang bergetar, namun tidak ada jalan untuk mundur.
Praanggg
Bunyi benda pecah terdengar nyaring. Pak Anwar terhuyung dan jatuh ke lantai. Ada sosok perempuan yang berdiri di belakang kakek itu dengan pakaian basah kuyup.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Diankeren
Slamet..... eh apa jgn² matek br'2² lgi 🤣
2023-12-20
0
Diankeren
yah isdet dah si Wildan
2023-12-20
0
Diankeren
et apes amat lu wil
2023-12-20
0