Bulan Desember tahun 1991
Setengah empat sore, hujan deras mengguyur perumahan elit di pusat kota T. Sumiran Sang konglomerat tengah sibuk bermain catur dengan Satpam penjaga rumahnya. Dan untuk ke sekian kalinya Pak Satpam harus mengakui kepintaran Sang majikan.
"Ha ha ha. . .padahal aku sudah setua ini, nyatanya strategiku masih manjur untuk mengalahkan anak muda sepertimu Burhan." Sumiran tertawa nyaring, mengolok-olok satpamnya yang bernama Burhan itu.
"Ya kan Njenengan memang cerdas Ndoro. Kalau nggak gitu mana mungkin bisa jadi pria terkaya di kota ini?" Burhan menimpali. Sebenarnya dia malas melanjutkan permainan yang sulit dia menangkan. Namun, majikannya masih terlihat antusias tak mungkin Burhan bisa menolaknya.
"Ngomong-ngomong kemana Santoso? Kenapa hari ini dia tidak masuk? Biasanya dia paling rajin datang. Ngasih makan ikan, motong rumput. Nggak ada Santoso seharian ini bekisarku di belakang nggak ada yang ngurus," gerutu Sumiran.
"Saya kurang tahu Ndoro. Mungkin sakit atau flu. Kan lagi musim," jawab Burhan.
"Bukannya tempat tinggalmu dan Santoso berdekatan? Masak nggak tahu?" tanya Sumiran masih asyik menggerakkan bidak caturnya. Burhan hanya menggeleng pelan.
Sementara itu di seberang jalan tepat di depan rumah Sumiran, sebuah mobil kijang berwarna merah maroon terparkir sejak beberapa saat yang lalu. 6 orang di dalam mobil berdiam diri dengan raut wajah yang penuh ketegangan.
"Ingat, ketika kita masuk rumah Sumiran nanti jangan sampai ada yang menyebut nama. Kita pakai kode," ucap laki-laki di belakang kemudi memecah keheningan.
"Gimana maksudnya?" sambung laki-laki di kursi tengah.
"Kamu tol*l atau gimana sih? Jangan sampai identitas kita ketahuan. Untuk memanggil satu sama lain pakai kode atau nama samaran," hardik laki-laki di belakang kemudi.
"Ohh, aku tahu aku tahu. Karena kita naik mobil kijang bagaimana kalau kijang satu kijang dua nama samaran kita," sahut laki-laki di kursi tengah.
"Aku punya ide yang lebih baik. Karena kita nanti memakai topeng badut, kita akan memanggil satu sama lain dengan sebutan badut. Badut satu untuk menyebut boss kita. Aku badut dua," usul laki-laki di belakang kemudi.
"Kamu badut tiga." Laki-laki di belakang kemudi menunjuk teman di sebelahnya yang tengah bermain rubik.
"Hei badut tiga, dengar tidak? Hentikan mainan anehmu itu!" bentak laki-laki badut dua.
"Apa sih? Aku dengar kok, aku nggak budh*g! Aku badut tiga, kamu badut dua kan?" Laki-laki badut tiga terlihat sewot, kesal.
"Etika kalau diajak orang bicara itu menghadap ke lawan bicaranya brengsek!" badut dua jengkel.
"Ini namanya rubik. Kubus rubik ini merupakan sebuah permainan teka-teki mekanik. Rubik ditemukan pada tahun 1974 oleh seorang pemahat sekaligus profesor arsitektur Hungaria, Erno Rubik. Kubus ini terbuat dari plastik dan terdiri dari 26 bagian kecil yang berputar pada poros yang terlihat. Pada Mei 1980, kubus ini kembali dibuat dan dipasarkan di kawasan Eropa. Ini mainan yang cocok untukku. Kamu nggak akan ngerti," balas Badut tiga acuh tak acuh.
"Mana ngerti aku begituan. Lagipula siapa yang peduli dengan sejarah mainanmu itu?" Badut dua menghela nafas.
"Ah sudahlah. Kamu Badut empat, kamu badut lima," lanjut Badut dua menunjuk dua rekan yang duduk di kursi tengah.
Badut empat adalah laki-laki kurus berambut ikal yang tengah memegangi tas hitam berisi topeng badut. Sedangkan badut lima seorang laki-laki berbadan tambun berkepala plontos.
"Yang paling belakang badut enam, dan terakhir si penakut kesayangan Sumiran badut tujuh," tukas badut dua mengakhiri.
"Hatcchhuuuu!" Badut enam tiba-tiba bersin dengan suara yang lantang. Membuat semua orang dalam mobil terlonjak kaget.
"Maaf, aku alergi dingin. Nggak tahan dengan udara lembab dan dingin. Jadi gampang bersin-bersin," ucap Badut enam sembari mengusap-usap hidungnya yang berair.
"Sial, rubikku berantakan lagi. Konsentrasiku buyar," gerutu badut tiga.
Di tengah derasnya hujan nampak seseorang yang memakai jas hujan berwarna hitam berjalan mendekati mobil para badut. Dia mengedarkan pandangan sejenak, kemudian mengetuk kaca samping kemudi mobil. Badut dua segera menurunkan kaca mobil dan tersenyum ke arah laki-laki berjas hujan.
"Kamu badut delapan," ucap Badut dua.
"Hah? Apa maksudmu?" laki-laki berjas hujan mengernyitkan dahi.
"Nama samaran. Agar tak ada yang mengenali," jawab badut dua.
"Terserah kamu saja. Ngomong-ngomong hujan sangat deras, jalanan benar-benar sepi. Di ujung jalan sudah kuberi tanda agar tak ada yang lewat sini. Jadi kuyakin tidak akan ada saksi mata," ucap laki-laki ber jas hujan yang disebut Badut delapan.
"Siap Bapak. Kami masih menunggu nomor 9 dan 10," sambung badut lima.
"Jangan terlalu lama. Mumpung suasana sedang sepi," badut delapan melihat arloji berwarna emas di tangan kirinya.
"Aku harus kembali bertugas. Ingat perjanjian awal, dan semoga sukses." Badut delapan berbalik badan dan berjalan menjauh dengan langkahnya yang tegap.
"Kunyuk dua itu lama banget sih!" Badut dua memukul kemudi mobil.
"Tenang sajalah. Toh jalanan hari ini selalu sepi karena hujan akan terus mengguyur," sahut Badut empat meyakinkan.
"Dih, pawang hujan kamu?" ejek badut tiga, masih asyik dengan rubiknya.
"Kemarin aku ke tempat dukun. Minta diturunin hujan sehari semalam. Manjur lho." Badut empat menepuk-nepuk dadanya, merasa bangga.
"Hatchuuu. Percaya kok dukun. Dosa," sahut badut enam masih bersin-bersin karena alergi dingin.
"Wahh, iya aku lupa. Di antara yang lain kamu yang paling takut dosa ya," ejek badut empat.
"Aku dan si tujuh ini sepakat, setelah semua selesai kami nggak akan mau mengenal kalian lagi," balas badut enam. Sedangkan badut tujuh hanya menunduk sedari tadi. Tangannya nampak gemetar hebat.
"Terserah kalian saja. Setelah ini aku pun nggak peduli dengan kalian. Kita akan menjalani hidup masing-masing. Hari ini kita hanya mengambil sedikit hak yang ada di harta Sumiran yang lupa daratan itu," sahut Badut dua.
Sayup-sayup terdengar suara motor mendekat. Dua orang berboncengan mengenakan jas hujan ponco yang berwarna hijau tua. Mereka melihat ke arah mobil kijang dan mengangguk sebentar. Kemudian mereka turun dari motor, dan mengetuk pintu pagar besi berwarna hitam itu.
"Akhirnya nomor sembilan dan sepuluh datang. Hei hei, topeng mana topeng. Cepat pakai topeng. Siapkan senjatanya!" perintah Badut dua.
Badut empat segera membagikan topeng bergambar wajah putih dengan hidung merah pekat itu. Mereka semua segera memakainya, kecuali Badut tujuh yang masih terlihat gemetar ketakutan.
"Hey, cepat pakai!" bentak badut dua.
"Aku tidak yakin dengan semua ini. Aku takut. Pak Sumiran selalu baik padaku." Badut tujuh mulai menangis.
"Kamu nggak bisa mundur lagi!" Badut dua mendengus kesal.
"Bagaimana kalau kita batalkan saja?" Badut tujuh memelas.
"Kalau kamu memang nggak mau, tetaplah di dalam mobil. Tapi jangan harap kamu mendapatkan bagian dari hasil kita nanti," ancam Badut dua.
"Tenanglah, tarik nafas. Percayalah ini yang pertama dan terakhir untuk kita. Hatchhuuuu!" Badut enam mencoba menguatkan. Sesekali dia masih bersin akibat alergi udara dingin.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Diankeren
yah bung slah tebakan sayah 🥴
2023-12-19
1
Diankeren
Santoso jdi bdut pak ngatiran
eh slah😁 sumiran
2023-12-19
0
Ui Dian Engkina Mopangga
badut enam pak Anwar guru ngaji
2023-03-27
2