Lampu teras depan berkedip beberapa kali. Nyalanya yang redup seakan menegaskan bohlam LED itu sudah waktunya untuk padam. Namun Sang Tuan rumah tak memiliki sepeser uang pun untuk membeli lampu baru. Hanya selembar 50 an ribu cetakan 1991 yang tersimpan di penutup handphonenya yang Wildan miliki saat ini. Entah uang itu masih laku, atau tidak.
Perut Wildan keroncongan, bahkan dangdutan petang ini. Beberapa potong singkong rebus hanya mampu mengganjal rasa laparnya hingga siang hari. Meskipun ada rasa gengsi di hati, pada akhirnya Wildan melahap martabak telor yang sudah dingin dan berminyak pemberian Sang mantan.
Satu piring martabak telor tandas tak bersisa. Menyisakan potongan daun bawang dan saus sambal yang beraroma gurih. Esok hari makan apa? Pertanyaan itu berputar-putar di benak Wildan.
Ada dua solusi yang terpikirkan. Pertama, menjual uang 50 an ribu edisi 1991, jika masih laku. Yang kedua adalah menjual Jawara, sang ayam kesayangan. Wildan menghela nafas, menyandarkan tubuhnya di sofa ruang tamu dan mendongak menatap langit-langit yang nampak usang.
"Apa kujual saja rumah ini?" gumam Wildan putus asa.
Solusi terakhir yang terpikirkan tapi sulit untuk dilakukan. Rumah bagi Wildan bukan sekedar bangunan fisik untuk berteduh semata. Rumah merupakan sebuah wadah dari memori dan sejarah hidup Wildan. Setiap jengkal, di antara retakan-retakan dinding yang lusuh itu terdapat sebuah kenangan.
Menjual rumah berarti menjual kenangannya, itu yang terasa berat. Wildan mungkin saja hanya seonggok sampah bagi masyarakat, tapi sebenarnya dia berhati lembut dan sensitif serta sentimental. Lagipula menjual rumah tidak akan mudah bagi Wildan. Apalagi rumah bekas tempat g*ntung diri. Jelas, warga sekitar takkan ada yang sudi membelinya.
Wildan membuka penutup silikon handphonenya. Dia kembali mengamati uang 50 an ribu lawas yang tercetak pada tahun 1991. Wildan membolak-balik kertas berwarna biru pudar itu di bawah sinar lampu ruang tamu yang temaram.
Tiba-tiba saja Wildan tersentak, teringat akan sesuatu. Dia segera berlari ke kamarnya mengambil kotak kayu di bawah kasur. Dia membuka kotak kayu dan sekali lagi mengamati surat aneh yang ada di dalamnya.
"Deretan angka ini . . ." Wildan terbelalak kaget. Dia baru menyadari nomor seri uang lawas itu merupakan salah satu dari deretan angka yang tertulis dalam surat dari Sang Bapak.
"Kusimpan di tempat semua ini berawal." Wildan kembali membaca kalimat di awal paragraf surat.
Wildan menghitung deretan angka dalam surat tersebut. Ada 16 deret angka yang tertulis.
"Jika deretan angka ini adalah nomor seri uang. Berarti Bapak menyimpan sebesar 800 ribu rupiah uang lama seperti ini. Tersimpan di tempat semua berawal. Apa maksudnya? Ini uang apa sebenarnya?" rasa penasaran di hati Wildan semakin tak terbendung.
Selama ini yang Wildan ketahui Sang Bapak hanya lelaki yang menghabiskan waktunya untuk melamun. Tak pernah sekalipun Wildan menduga, Sang Bapak memiliki rahasia dan teka-teki setelah kematiannya.
Wildan kembali menyimpan kotak kayu di bawah kasur. Juga mengembalikan uang 50 an ribu lawas di balik penutup silikon handphonenya. Kemudian bergegas menuju ke kamar mendiang Sang Bapak. Wildan merasa perlu untuk memeriksa sekali lagi kamar tempat Bapaknya menghembuskan nafas terakhir.
Saat pintu kamar terbuka, Wildan terkejut melihat lemari dan laci-lacinya nampak berantakan. Seingatnya kemarin dia menutup kembali daun pintu lemari setelah mengambil kotak kayu dan selimut. Kemudian dia menyadari ada satu sosok yang tadi pagi keluar dari kamar Bapaknya. Sosok itu adalah Pak Anwar, yang mengaku tidak kuat udara dingin sehingga numpang tidur di dalam kamar.
"Apa mungkin Pak Anwar membuka lemari Bapak? Untuk apa?" gumam Wildan penuh pertanyaan di benaknya.
Wildan mengamati isi dalam lemari Sang Bapak. Hanya ada beberapa potong pakaian lusuh. Tak ada apapun yang aneh, tidak ada benda berharga ataupun surat wasiat lain.
Wildan menjatuhkan tubuhnya di lantai, bersandar pada dipan dari kayu jati menimbulkan bunyi berderak yang khas. Sementara air hujan terdengar menghantam atap asbes menghasilkan bunyi yang riuh ramai. Bulan november memang musim penghujan. Air langit tumpah sewaktu-waktu dengan intensitas yang tinggi.
Beberapa bagian rumah Wildan bocor. Begitupun kamar Sang Bapak. Tepat di tengah ruangan, ada lubang kecil bekas paku di atap asbes sehingga air mengalir dari sana. Wildan buru-buru mengambil ember di dapur dan meletakkannya tepat di tempat air menetes.
Saat Wildan berjongkok, dari arah belakang tiba-tiba seutas tali dari kabel bekas menjerat lehernya. Tenggorokannya tercekik, Wildan ditarik ke belakang hingga terjengkang. Kakinya berusaha memberontak menendang-nendang hingga mengenai ember di tengah ruangan. Suara jatuhnya ember bergema dalam kamar.
"Ugghhh ugghhh!" Wildan berteriak mengaduh. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.
Wildan mencoba memasukkan ujung telunjuk tangan kanannya di lilitan kabel. Saat berhasil, sekuat tenaga dia mencengkeram kabel di lehernya dan berusaha menguraikannya. Namun tenaga yang menarik kabel itu terasa lebih kuat.
Klakk!
"Arrgghhh!" Wildan berteriak kesakitan. Telunjuknya patah. Namun dia tak mau menyerah. Meski dengan jarinya yang patah Wildan terus mencengkeram kabel yang melilit lehernya.
Tumit Wildan menjejak lantai kuat-kuat, membuatnya melompat ke belakang. Kepalanya menghantam sesuatu dengan telak. Suara jatuh berdebum terdengar di belakang Wildan, disusul tali yang menjerat lehernya menjadi longgar.
"Uhuukkk uhuukk uhuukkk. . Hoeekk!" Wildan batuk dan muntah. Kepalanya terasa pening kekurangan pasokan oksigen.
Wildan melepas kabel yang melilit di lehernya. Masih dengan pandangan yang sedikit buram karena hampir saja pembuluh dar*h di bagian matanya pecah, Wildan mengamati sesuatu yang baru saja terjatuh di belakangnya. Sosok manusia berpakaian serba hitam memakai topeng badut berwarna putih lusuh.
Tubuh sosok yang baru saja menyerang Wildan nampak basah oleh air hujan. Topeng badut yang dikenakan nampak tulisan angka enam yang sudah agak luntur. Wildan langsung teringat dengan surat dari Bapaknya. Di bagian akhir surat tertulis badoet 2. Dan sekarang di hadapan Wildan ada seseorang memakai topeng badut tertulis angka 6.
"Apa maumu?" bentak Wildan sembari mengusap-usap lehernya yang memerah.
Sosok bertopeng badut nomor 6 itu berdiri. Kakinya nampak keriput. Wildan dapat menduga orang di balik topeng badut 6 itu sudah cukup tua. Dari cara berdiri sosok topeng badut itu yang terlihat condong ke sebelah kiri, membuat Wildan mencurigai seseorang dalam benaknya.
Sosok bertopeng badut merogoh sebuah pisau lipat dari saku celananya. Dia terlihat mahir dan tak canggung menggenggam benda tajam itu. Wildan berdiri waspada, sembari memegangi telunjuk kanannya yang patah dan bengkak membiru.
Dengan gerakan tiba-tiba sosok bertopeng badut itu berusaha menubruk Wildan. Namun, Wildan berhasil mundur dan mengelak. Kaki kanan Wildan terangkat dan berhasil menghantam dagu sosok bertopeng badut. Sosok itu tumbang. Topeng badutnya terlepas dan jatuh menggelinding ke bawah dipan tempat tidur.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Asifa Rose Ma
pak anwar ya
2023-06-21
1
IG: _anipri
Pak Anwar?
2023-01-14
1
IG: _anipri
kalau rumahnya dijual, mau tinggal di mana Dan?
2023-01-14
1