Nem

Bulan November tahun 2021

Singkong rebus telah tersaji di atas piring berbahan seng dengan motif bunga di bagian tengah, mengepulkan asap putih tipis di udara. Wildan menaburkan gula halus di atasnya. Meskipun masih panas, mulut dan perutnya sudah tidak mampu lagi menahan lapar. Dengan lahap dia menjejalkan singkong rebus itu ke dalam mulut hingga bibirnya nampak komat kamit kepanasan.

"Haahhhhh." Wildan membuka mulutnya lebar-lebar. Asap putih mengepul di antara deretan giginya yang nampak putih bersih.

Jawara terlihat lebih bugar, setelah Wildan memandikannya dengan air hangat. Luka-luka di tubuh ayam itu, juga telah ditempeli dengan serbuk kencur. Kini Jawara berjemur di tengah halaman depan dengan paruhnya yang sesekali mencucuk tanah.

"Hey Jawara? Mau makanan enak punyaku? Boiled cassava with granulated sugar?" ujar Wildan sembari melemparkan singkong rebus tepat di hadapan Jawara. Sayangnya ayam itu terlihat tidak tertarik, malah asyik mematuk beberapa ekor serangga di hadapannya.

"Wooohhh, pitik gemblung! Nggak bisa bedain mana makanan enak, mana yang nggak layak konsumsi." Wildan geleng-geleng kepala merasa kesal sendiri.

Di kejauhan nampak seseorang berjalan mendekat. Langkah kakinya yang anggun, membuat Wildan tertegun. Mengenakan baju hitam dengan rok panjang yang senada. Juga syal abu-abu nampak cocok melingkar di lehernya yang jenjang.

Pagi yang bermendung, di mata Wildan berubah cerah. Bahkan aroma parfum dari sosok yang berjalan menuju ke rumahnya sudah tercium meski jaraknya masih cukup jauh. Aroma yang Wildan hafal, tak pernah berubah sejak beberapa tahun silam. Sosok yang masih saja membuat dada Wildan berdebar.

Bidadari itu bernama Ika. Cinta monyet, juga cinta pertama Wildan. Perempuan yang sudah rela memberikan segalanya untuk Wildan. Meski pada akhirnya mereka tak saling memiliki. Kini perempuan itu datang lagi, entah untuk menghibur Wildan, mengobati lara atau malah menambah perih.

"Wildan," panggil Ika, saat dirinya sudah berdiri di hadapan laki-laki dengan mulut penuh singkong rebus itu.

"Ah, Ika. Mau singkong?" Wildan tanpa sadar menyodorkan singkong rebus yang ada di piring. Sebuah tindakan yang spontan dilakukan. Seolah tubuhnya bergerak sendiri menutupi wajah yang bersemu merah dan jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Aku baru makan tadi. Aku turut berbela sungkawa atas kepergian Pak Umar," ucap Ika dengan wajah sendu.

Wildan segera memalingkan wajah. Tak mau berlama-lama berenang di bola mata jernih kecokelatan yang ada di hadapannya itu. Awalnya mata itu menjadi obat atas dahaga kerinduan, namun lama kelamaan terasa sesak menenggelamkan hati Wildan. Mata yang berbinar itu tak pernah bisa dia miliki, seberapapun dia menginginkannya.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Ika. Dia masih berdiri di hadapan Wildan.

Wildan diam saja tak menyahut. Hatinya pilu, tak percaya kalau perempuan di hadapannya itu menanyakan kabarnya. Jelas Wildan sakit, jatuh ke titik terbawah saat tahu Ika memilih menikah dengan pria lain saat Wildan dijebloskan dalam tahanan. Lalu kini dengan entengnya dia datang dan bertanya, bagaimana kabarmu? Wajah Wildan nampak memerah.

"Aku bawa makanan untukmu. Biar kusiapkan di piring," ujar Ika, berjalan masuk ke dalam rumah.

Wildan tersentak kaget melihat perempuan cantik itu masuk ke dalam rumahnya tanpa canggung. Dia pun segera berdiri dan menyusul Ika yang sudah sampai di dapur.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Wildan. Ika diam saja mengacuhkan Wildan. Dia sibuk mengambil piring dan mengeluarkan barang bawaannya. Ternyata martabak telor yang masih hangat. Dengan cekatan dia menata martabak di atas piring.

"Hei! Apa yang kamu lakukan?" Wildan meraih lengan Ika.

"Martabak telor makanan kesukaanmu, aku hanya menyiapkannya saja," jawab Ika singkat.

"Apa-apaan ini? Apa maumu? Kenapa kamu bersikap seperti ini?" Wildan melotot.

Tiba-tiba saja bola mata Ika bergetar. Ada butiran-butiran bening yang menetes dari bagian sudutnya. Perempuan itu menangis, dan menjatuhkan tubuhnya ke pundak Wildan.

"Ada apa? Kenapa? Aku nggak ngerti. Tak seharusnya kamu seperti ini. Kamu kepunyaan orang," ucap Wildan lirih.

"Biarkan aku begini saja, sebentar saja," sahut Ika di antara isak tangisnya.

Beberapa menit berlalu, Ika mengusap air matanya. Kemudian setelah tangisnya mereda tanpa mengucap sepatah katapun, perempuan itu pergi berlalu meninggalkan Wildan yang masih berdiri mematung bersama martabak telor yang mulai dingin.

...****************...

Senja datang bersama warna merah di ujung langit sebelah timur. Wildan duduk termenung di teras depan. Seharian dia hanya melamun, memikirkan tentang Ika. Perempuan itu datang tanpa diminta dan pergi begitu saja tanpa sanggup dicegah.

Pikiran Wildan penuh dengan pertanyaan. Untuk apa Ika datang? Kenapa dia menangis? Kenapa terlihat begitu sedih?

Sebuah tepukan pelan mengagetkan Wildan. Tanpa dia sadari Pak Anwar sudah duduk di sebelahnya. Laki-laki sepuh itu tersenyum menunjukkan pipinya yang penuh kerutan tanda penuaan.

"Surup. Nggak baik melamun," ucap Pak Anwar.

"Ika tadi datang kemari," ucap Wildan lirih. Entah bagaimana dia ingin bercerita. Dia ingin didengarkan.

"Dia menangis," lanjut Wildan.

"Setahuku, Ika dipulangkan oleh suaminya," sahut Pak Anwar.

Sebuah kalimat pendek yang terucap dari mulut Pak Anwar bagai petir di siang bolong bagi Wildan.

"Kenapa?" pekik Wildan penasaran. Pak Anwar menggeleng pelan.

"Sebuah pertanda untukmu Dan, agar kamu memaafkan Ika. Nyatanya dalam kisah kalian bukan kamu saja yang menderita, Ika pun sama." Pak Anwar menepuk-nepuk bahu Wildan.

Wildan terdiam beberapa saat lamanya. Selama ini dia selalu menyalahkan Ika atas kandasnya hubungan mereka. Nyatanya Ika pun menderita.

"Hidup ini terasa tak adil ya Pak," ujar Wildan lirih.

"Kata siapa? Hidup ini adil kok Dan. Segala sesuatu yang kita tanam, pasti suatu saat kita panen," sanggah Pak Anwar cepat.

"Perbaiki dirimu, perbaiki hidupmu maka masa depanmu pasti akan lebih baik," lanjut Pak Anwar.

Wildan kembali termenung mencerna kata-kata Pak Anwar. Baru kali ini dia mau mendengarkan. Biasanya Wildan selalu membantahnya dan menganggap Pak Anwar hanya orangtua yang cerewet.

"Oh iya Pak. Ngomong-ngomong uang 50 an ribu cetakan tahun 91 kira-kira kalau dijual laku berapa ya disini? Aku punya rencana untuk mengadu nasib di kota besar. Jadi butuh modal," ucap Wildan teringat akan uang biru lawas peninggalan Sang Bapak.

Pak Anwar diam saja tak menyahut. Wildan menoleh, dan sempat melihat ekspresi yang tak biasa dari guru ngajinya itu. Raut wajah yang terlihat ketakutan dengan kedua tangan yang menggaruk-garuk paha.

"Pak?" panggil Wildan ragu-ragu.

"Aku mau pulang dulu sebentar. Ada yang tertinggal," ucap Pak Anwar tergesa-gesa.

Untuk kedua kalinya dalam satu hari, Wildan ditinggalkan sendirian dengan tanda tanya besar di otaknya.

"Aneh. Ada apa sih dengan hari ini? Semua orang datang dan pergi sesuka hati mereka," gumam Wildan sembari mengamati Pak Anwar yang berjalan tergopoh-gopoh di halaman depan.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Diankeren

Diankeren

🤦🏻‍♀️ ada juga lu yg kentir wil 🤣 ngta²in Lgi

2023-12-19

0

Diankeren

Diankeren

hhaahhaay de ada Lgi yg ksbut : si boled
ah rndu kmpung jdi'y bung

2023-12-19

0

Asifa Rose Ma

Asifa Rose Ma

pak Anwar slh satu dr badut ya

2023-06-21

0

lihat semua
Episodes
1 Siji
2 Loro
3 Telu
4 Papat
5 Limo
6 Nem
7 Pitu
8 Wolu
9 Songo
10 NOVEL CETAK RUMAH TENGAH SAWAH
11 Sepuluh
12 Sewelas
13 Rolas
14 Telulas
15 Patbelas
16 Limolas
17 Nembelas
18 Pitulas
19 Wolulas
20 Songolas
21 Rongpuluh
22 Selikur
23 Rolikur
24 Telulikur
25 Patlikur
26 Selawe
27 Nemlikur
28 Pitulikur
29 Wolulikur
30 Songolikur
31 Telungpuluh
32 Telungpuluh Siji
33 Telungpuluh Loro
34 Telungpuluh Telu
35 Telungpuluh Papat
36 Telungpuluh Limo
37 Telungpuluh Nem
38 Telungpuluh Pitu
39 Telungpuluh Wolu
40 Telungpuluh Songo
41 Patangpuluh
42 Patangpuluh Siji
43 Patangpuluh Loro
44 Patangpuluh Telu
45 Patangpuluh Papat
46 Patangpuluh Limo
47 Patangpuluh Nem
48 Patangpuluh Pitu
49 Patangpuluh Wolu
50 Patangpuluh Songo
51 Seket
52 Seket Siji
53 Seket Loro
54 Seket Telu
55 Seket Papat
56 Seket Limo
57 Seket Nem
58 Seket Pitu
59 Seket Wolu
60 Seket Songo
61 Sewidak
62 Sewidak Siji
63 Pengumuk an (Umuk = cerita dalam dialeg tempat tinggal yang nulis)
64 Sewidak Loro
65 Sewidak Telu
66 Sewidak Papat
67 Sewidak Limo
68 Sewidak Nem
69 Sewidak Pitu
70 Sewidak Wolu
71 Sewidak Songo
72 Pitungpuluh
73 Pitungpuluh Siji
74 Pitungpuluh Loro
75 Pitungpuluh Telu
76 Uneg-uneg (boleh Skip)
77 Pitungpuluh Papat
78 Pitungpuluh Limo
79 Pitungpuluh Nem
80 Pitungpuluh Pitu
81 Pitungpuluh Wolu
82 Pitungpuluh Songo
83 Wolongpuluh
84 Wolongpuluh Siji
85 Wolongpuluh Loro
86 Wolongpuluh Telu
87 Wolongpuluh Papat
88 Wolongpuluh Limo
89 Wolongpuluh Nem
90 Wolongpuluh Pitu
91 Wolongpuluh Wolu
92 Wolongpuluh Songo
93 Sangangpuluh
94 Sangangpuluh Siji
95 Sangangpuluh Loro : Akhir
96 Ijin Promo Judul Baru
97 Judul Horor Baru bung Kus
Episodes

Updated 97 Episodes

1
Siji
2
Loro
3
Telu
4
Papat
5
Limo
6
Nem
7
Pitu
8
Wolu
9
Songo
10
NOVEL CETAK RUMAH TENGAH SAWAH
11
Sepuluh
12
Sewelas
13
Rolas
14
Telulas
15
Patbelas
16
Limolas
17
Nembelas
18
Pitulas
19
Wolulas
20
Songolas
21
Rongpuluh
22
Selikur
23
Rolikur
24
Telulikur
25
Patlikur
26
Selawe
27
Nemlikur
28
Pitulikur
29
Wolulikur
30
Songolikur
31
Telungpuluh
32
Telungpuluh Siji
33
Telungpuluh Loro
34
Telungpuluh Telu
35
Telungpuluh Papat
36
Telungpuluh Limo
37
Telungpuluh Nem
38
Telungpuluh Pitu
39
Telungpuluh Wolu
40
Telungpuluh Songo
41
Patangpuluh
42
Patangpuluh Siji
43
Patangpuluh Loro
44
Patangpuluh Telu
45
Patangpuluh Papat
46
Patangpuluh Limo
47
Patangpuluh Nem
48
Patangpuluh Pitu
49
Patangpuluh Wolu
50
Patangpuluh Songo
51
Seket
52
Seket Siji
53
Seket Loro
54
Seket Telu
55
Seket Papat
56
Seket Limo
57
Seket Nem
58
Seket Pitu
59
Seket Wolu
60
Seket Songo
61
Sewidak
62
Sewidak Siji
63
Pengumuk an (Umuk = cerita dalam dialeg tempat tinggal yang nulis)
64
Sewidak Loro
65
Sewidak Telu
66
Sewidak Papat
67
Sewidak Limo
68
Sewidak Nem
69
Sewidak Pitu
70
Sewidak Wolu
71
Sewidak Songo
72
Pitungpuluh
73
Pitungpuluh Siji
74
Pitungpuluh Loro
75
Pitungpuluh Telu
76
Uneg-uneg (boleh Skip)
77
Pitungpuluh Papat
78
Pitungpuluh Limo
79
Pitungpuluh Nem
80
Pitungpuluh Pitu
81
Pitungpuluh Wolu
82
Pitungpuluh Songo
83
Wolongpuluh
84
Wolongpuluh Siji
85
Wolongpuluh Loro
86
Wolongpuluh Telu
87
Wolongpuluh Papat
88
Wolongpuluh Limo
89
Wolongpuluh Nem
90
Wolongpuluh Pitu
91
Wolongpuluh Wolu
92
Wolongpuluh Songo
93
Sangangpuluh
94
Sangangpuluh Siji
95
Sangangpuluh Loro : Akhir
96
Ijin Promo Judul Baru
97
Judul Horor Baru bung Kus

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!