Vas bunga pecah berhamburan. Pak Anwar terhuyung dan akhirnya jatuh ke lantai dengan kepala bagian belakang yang nampak meneteskan cairan merah kental. Wildan sempat memejamkan mata, mengira pisau lipat di tangan Pak Anwar sudah menghujam tubuhnya.
Kini di hadapan Wildan berdiri seorang wanita cantik berambut panjang dikuncir kuda. Wildan tidak mengenalinya. Wanita itu mengenakan jaket kulit berwarna hitam yang nampak sedikit basah, juga menggendong tas ransel butut di pundaknya. Celana jeans ketat dengan robekan di bagian lutut semakin menambah kesan wanita itu tomboy dan kuat.
"Si siapa kamu?" tanya Wildan. Rasa takut membuat tenggorokannya tercekat.
"Bantu aku mengangkat kakek ini ke kursi. Dia juga harus diikat agar saat bangun nanti tidak akan menyerangmu lagi," ucap wanita asing memberi perintah.
"Tapi dua jariku patah. Aku tak punya tenaga," keluh Wildan.
"Dasar laki-laki tak berguna!" bentak wanita asing. Kemudian dia menyeret Pak Anwar ke ruang tamu. Mengangkat tubuh laki-laki tua itu ke kursi dengan susah payah.
Wildan berjalan perlahan mendekat sembari memperhatikan wanita asing itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wildan yakin tak pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya.
"Mana tali? Jangan bengong saja!" lagu-lagi wanita itu membentak.
Wildan tersentak dan segera berlari ke dapur. Dia mengambil tali dari karet ban bekas yang tersimpan di samping tabung gas isi ulang yang kosong. Rasa sakit di jarinya terlupakan kala mendapat bentakan dari sang wanita asing.
Wildan buru-buru kembali ke ruang tamu menyerahkan tali pada wanita asing. Dengan terampil dan cekatan wanita asing itu mengikat Pak Anwar. Dia tersenyum lega setelahnya.
"Namaku Angel. Angelica Sukma Santoso," ucap wanita asing itu memperkenalkan diri.
Wildan diam saja tak menyahut. Dia masih berusaha mengingat-ingat, barangkali pernah bertemu dengan si Angel itu di suatu tempat. Karena mustahil rasanya jika tiba-tiba muncul malaikat penolong asing yang tak Wildan kenali.
"Hey! Mana sopan santunmu? Perkenalkan dirimu juga dong!" protes Angel.
"Hah? Jadi kita belum pernah bertemu sebelumnya?" tanya Wildan merasa aneh.
"Ya belum lah," sahut Angel cepat.
"Lalu, bagaimana caramu sampai disini? Kenapa juga kamu menolongku?" Wildan masih terus mengamati wanita asing bernama Angel itu.
"Kamu laki-laki tapi mulut cerewetmu seperti nenekku saja." Angel mencibir.
"Kamu punya kain kasa atau kapas dan selotip?" tanya Angel kemudian.
Wildan yang sedari tadi diam saja, kini seperti terhipnotis. Dia berjalan ke kamar mengambil barang-barang yang diminta Angel.
"Sekarang duduklah!" lagi, Angel memberi perintah. Dan untuk kesekian kalinya Wildan menurut.
Angel meraih tangan Wildan. Memperhatikan ruas jari telunjuk dan kelingking yang patah. Kemudian dia manggut-manggut sembari tersenyum.
"Tunggu sebentar. Kamu mau apa?" tanya Wildan penasaran.
"Ini akan sedikit sakit. Tahan ya," ucap Angel masih dengan sebuah seringai di mulutnya.
"Ehh ehh, apa apaan?" Wildan hendak melepaskan genggaman tangan Angel. Namun semua sudah terlambat. Secepat kilat Angel menarik jari telunjuk Wildan yang patah tanpa aba-aba.
Klaakkk
Suara ruas jari telunjuk yang kembali ke posisi semula terdengar nyaring.
"Arrgghhh. Jangkr*k!" umpat Wildan tertahan. Dia kembali merasakan ngilu dan nyeri di jari tangannya.
Angel hanya tersenyum, dan kali ini kembali menarik jari kelingking Wildan tanpa permisi. Wildan sekali lagi berteriak dan mengumpat. Angel tidak peduli. Dengan telaten dia membalut jari-jari patah Wildan yang sudah kembali ke posisi yang seharusnya menggunakan kapas dan mengikatnya kuat-kuat menggunakan selotip.
"Sebisa mungkin jangan gerakkan jari-jarimu yang patah, agar bisa segera pulih," ucap Angel.
Wildan menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Hampir saja dia kehilangan kesadaran akibat rasa sakit yang tak tertahankan. Dalam hati dia mengutuk wanita yang ada di hadapannya itu. Namun setelah beberapa saat Wildan menyadari jari-jarinya yang patah kini berkurang rasa sakitnya. Tak ada lagi sensasi berdenyut ngilu yang tadi terasa sangat menyiksa.
"Sekarang sudah nyaman kan?" Angel tersenyum mengejek.
"Namaku Wildan," ucap Wildan malu-malu.
"Kamu tadi bertanya kenapa aku datang menolong? Jawabannya. . . nggak sengaja," sahut Angel mengalihkan pandangan pada Pak Anwar yang masih pingsan.
"Hah?" Wildan terkejut mendengar ucapan Angel.
"Hah heh hah heh. Berhari-hari aku mengawasi Pak Anwar. Hingga akhirnya malam ini dia bertingkah aneh, mengendap-endap di tengah hujan. Dia menuntunku ke rumah ini. Tak tahunya kamu hampir dijadikan daging cincang," jelas Angel.
"Awalnya aku hanya mengamati dari luar rumah. Apalagi saat kulihat ternyata yang punya rumah masih muda. Kupikir nggak mungkin juga kan kalah berantem dengan kakek-kakek sepuh. Eehhh, ternyata kalah beneran. Terpaksa deh aku turun tangan," lanjut Angel setengah mengejek.
"Dia jago beladiri," bantah Wildan sambil menunjuk Pak Anwar.
"Ha ha ha, ya ya aku percaya. Selain faktor dia jago beladiri, lawannya pun pemuda 'mendho' kayak kamu." Angel masih terus mengolok-olok. Wildan tak mampu membalas, karena apa yang disampaikan Angel benar adanya. Dalam hati Wildan pun masih sulit untuk percaya kalau dia babak belur dihajar oleh laki-laki berusia lebih dari setengah abad. Secara stamina dan tenaga jelas Wildan di atas Pak Anwar. Namun nyatanya, Wildan tak berkutik sama sekali di hadapan kakek sepuh itu.
"Hey, untuk apa kamu mengawasi Pak Anwar?" tanya Wildan menghentikan ejekan Angel yang masih terus tertawa nyaring.
"Ohhh soal itu. . . karena benda ini." Angel menurunkan tas ransel dari pundaknya. Dia mengeluarkan sebuah topeng dari dalam tas. Topeng badut dengan coretan angka 7 di bagian dahinya.
"Topeng badut nomor 7?" Wildan terbelalak kaget.
"Pak Anwar adalah badut nomor 6. Dan kuyakin kamu pun ada hubungannya dengan semua ini," ujar Angel menatap tajam pada Wildan.
"Tak mungkin kan Pak Anwar mau mempertaruhkan masa tuanya yang sudah nyaman untuk menghabisimu, jika kamu tak berhubungan dengan kekacauan topeng badut ini?" desak Angel.
"Aku pun nggak ngerti. Bapakku telah pergi. Hanya sepucuk surat yang dia tinggalkan. Kupikir Bapakku adalah Badut nomor 2," jawab Wildan ragu-ragu.
"Bolehkah aku melihat surat dari Bapakmu itu?" tanya Angel.
"Tidak. Aku belum bisa mempercayaimu!" jawab Wildan cepat.
"Ohhh. Baiklah, aku pun juga tak ingin memaksa. Lagipula sepertinya kesaksian seorang penjahat bisa kita dapatkan sebentar lagi," ucap Angel mengarahkan pandangannya pada Pak Anwar yang mulai bergerak-gerak.
Pak Anwar perlahan membuka mata. Dia mendesis beberapa saat, merasakan bagian belakang kepalanya yang perih. Setelah beberapa saat dia mengamati dua sosok yang ada di hadapannya. Wildan, muridnya dulu yang hendak dieksekusi. Dan seorang wanita asing yang tidak dia kenali.
"Siapa kamu?" tanya Pak Anwar menatap Angel.
"Hey Pak Tua, saat ini kamu adalah tawanan. Tak boleh banyak tanya, cukup jawab pertanyaan dari kami!" balas Angel sambil menyeringai.
Pak Anwar baru sadar, tubuhnya diikat dengan sangat kuat menggunakan tali dari karet. Dia berusaha bergerak dan menggeliat, namun percuma saja ikatannya sangat erat.
Bersambung___
Gaes
boleh curhat dikit ya
2 hr yg lalu aku baru ke dokter
tensiku drop tinggal 90
kemungkinan besar karena kecapek an
jadi mohon maaf bgt kalau misal cerita ini agak tersendat-sendat
tapi serius, aku tuh terharu banget dg dukungan kalian yang sudah mau baca tulisan-tulisanku
terimakasih banyak gaes
salam misteri. . .auuuuwwwww
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Rose_Ni
putrinya Santoso, badut 7
2024-03-06
0
Blue Love
angel anak nya santoso? pembantu sumiran yg gak berangkt kerja itu? tp dia ikut aksi perampokan?
2024-01-21
0
Diankeren
bni'y sumiran kah?
2023-12-20
0