Setelah selesai sholat isya, Kiyai Afnan, Umi Khadijah, Gus Hafidz dan Aisyah berkumpul diruang keluarga. Sedangkan Miftah melakukan kesibukan lain.
Aisyah duduk di samping Umi Khadijah, sedangkan Gus Hafidz duduk di samping Abi nya.
"Nak Aisyah, apa kamu ingin melanjutkan wasiat terakhir Ayahmu?" tanya Kiyai Afnan.
Hati Aisyah tidak dapat berbohong, jika dia ingin melanjutkan wasiat dari Ayahnya. Tetapi, pikirannya tidak sesuai dengan keinginan hatinya.
"Ta–tapi Abi, bukankah Gus Hafidz akan menikah?" tanya Aisyah.
"Abi yakin, Hafidz akan bisa adil! ya kan, Hafidz?"
Hafidz menatap Abi nya. Dia tidak habis pikir dengan apa yang Abi nya katanya barusan. "Hafidz gak bisa Bi! Poligami tidak segampang itu."
"Tapi, ini satu-satunya jalan untuk melanjutkan wasiat terakhir Ayahnya Aisyah, da—" Perkataan Kiyai Afnan terpotong.
"Maaf Abi, bukannya Aa gak sopan, karena memotong perkataan Abi, Jika Aa bisa adil, apakah Aisyah ingin jadi istri kedua, atau Ning Amina—putri Kiyai Rizky— ingin dimadu? kita tidak bisa mengambil keputusan sepihak, Abi." potong Gus Hafidz.
"Masalah Kiyai Rizky, Abi yakin, kalau Kiyai Rizky akan setuju!"
Gus Hafidz memandang kearah Aisyah. "Keputusan Aisyah juga penting, apa keputusanmu Aisyah?"
"A–ais belum bisa mengambil keputusan!"
Umi Khadijah mengelus kepala Aisyah. "Kamu harus mengambil keputusan, Nak."
Aisyah menatap Umi Khadijah. "Jika Umi yang berasal di posisi Ais, apa yang akan Umi lakukan?"
"Jika Umi yang berada di posisi Aisyah, Umi akan memiliki mengalah dari pada jadi istri kedua." Umi Khadijah tersenyum. "Tapi terserah Aisyah aja, mau mengambil keputusan kaya gimana!"
"Meskipun Umi mencintai laki-laki tersebut?" tanya Aisyah.
"Jika kita ikhlas akan ketentuan Allah, semuanya akan baik-baik aja." Mata Umi Khadijah berkaca-kaca. "Jika kita tidak dipersatukan dengan orang yang namanya kita sebut dalam do'a, In syaa Allah kita akan dipersatukan dengan orang yang menyebut nama kita dalam do'anya."
Aisyah langsung memeluk Umi Khadijah. Keputusan sudah bulat. Meskipun dirinya mencintai Gus Hafidz tetapi tidak akan perna mengambilnya dari wanita yang sudah menjadi istrinya, meskipun wanita itu ikhlas. Karena tidak ada yang benar-benar Ikhlas, jika ada yang terlihat baik-baik saja saat suaminya memiliki istri lain, bukan berarti dia sudah ikhlas, tetapi bisa jadi sudah terbiasa akan keadaan.
Umi Khadijah mengelus pundak Aisyah. "Apapun keputusanmu, Umi akan setuju. Tapi, Umi lebih setuju jika Ais gak mengambil langkah untuk menjadi istri kedua."
Aisyah melepaskan pelukannya. "Aisyah sudah putuskan, wasiat Almarhum Ayah tidak akan di lanjutkan, Aisyah yakin, Aisyah yakin pasti Ayah setuju dengan keputusan Aisyah."
Gus Hafidz terdiam kaku ditempatnya, matanya berkaca-kaca, harapan sudah hancur. Hati kecilnya selalu menyalakan Uminya yang terlalu terburu-buru melamar putri Kiyai Rizky dengan alasan bahwa umurnya sudah mapan untuk menikah.
"Sampai detik ini, jantungku hanya berdetak kencang saat melihat mu, Aisyah! Maafkan aku Aisyah, maafkan aku yang mencintaimu dalam diam, tanpa seizin mu aku melangit kan namamu sampai saat ini, jika waktu bisa ku ulang, akan ku ulangi saat-saat bersamamu, dan akan ku cegah Umi untuk melamar Ning Amina," batin Gus Hafidz.
•••SKIP•••
Hari ini semua keluarga Kiyai Afnan dan keluarga Umi Khadijah sedang sibuk menyiapkan pernikahan Gus Hafidz. Sedangkan Aisyah cuman terbaring diatas tempat tidur Mifta.
"Kak Aisyah, ayo cepat! nanti kita bisa telat loh," ujar Mifta.
Aisyah tersenyum. "Ning Mifta duluan aja!"
"Cepetan iya kak! nanti Umi nyariin." Mifta keluar dari kamarnya, meninggal Aisyah yang masih terbaring di atas tempat tidur.
Aisyah tertawa kecil, mentertawakan dirinya sendiri. "Aku aja yang bukan siapa-siapanya akan melihatnya menikah dengan wanita lain, rasanya nyesek banget, lalu bagaimana perasaan istri sahnya melihat suaminya menikah dengan perempuan lain? Aisyah, kamu sudah mengambil keputusan yang tepat dan benar, meskipun sedikit menyakitkan."
Aisyah bangun dari tempat tidur, lalu menyiapkan dirinya untuk sebagai keluarga dari pihak pengantin laki-laki.
Aisyah melangkahkan kakinya menuju ke tempat Umi Khadijah yang sedang sibuk menyiapkan segalanya.
"Apa Aisyah boleh bantu, Umi?" tanya Aisyah.
Umi Khadijah tersenyum. "Ndk usah sayang, kamu duduk aja!"
Aisyah membalas senyuman Umi Khadijah. "Jika Umi butuh bantuan, panggil Aisyah aja, In syaa Allah Aisyah akan bantu."
"Pasti sayang!"
"Kalau begitu, Aisyah ke Ning Mifta dulu, Umi, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Aisyah menyalami tangan Umi .
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Umi Khadijah.
🦋🦋🦋
Bukannya pergi ke Mifta, Aisyah malah melangkah kakinya asrama putri.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam Aisyah didepan sebuah kamar asrama.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawaban salam dari dalam kamar.
Setelah beberapa menit, pintu kamar pun terbuka.
"AISYAH .... " teriak Dea saat pintu sudah terbuka dan melihat siapa yang mengucapkan salam.
Aisyah hanya tersenyum mendengar teriakkan Dea.
"Boleh aku masuk?"
"Boleh lah, inikan kamar kamu juga." Dea menarik tangan Aisyah untuk masuk kedalam.
Aisyah duduk diatas tempat tidurnya. "Azizah mana, Dea?"
"Dia lagi mandi," jawab Dea.
Aisyah hanya mengangguk-angguk kepalanya.
"Ais, kamu baik-baik aja?" tanya Dea.
"Apa sangat jelas, kalau aku tidak baik-baik aja?"
"Di kening mu tertulis LAGI GALAU, DITINGGAL NIKAH AMA DOI." Dea sengaja menekan kata-katanya di akhirat kalimatnya
Aisyah tertawa kecil. "Dea, aku minta maaf jika beberapa bulan ini aku merepotkan mu."
"Ngapain minta maaf, padahal aku yang merepotkan mu, meskipun aku santri lama, tapi beberapa bulan ini kamu yang selalu bangunin aku untuk sholat," ujar Dea.
"Dea, aku akan balik ke ke rumah! aku gak bisa di sini lagi." Aisyah menundukkan kepalanya. Semalam setelah menyampaikan keputusannya, Aisyah menelfon supirnya untuk menjemputnya di tempat acara pernikahan Gus Hafidz.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments