Satu Minggu telah berlalu, selama satu minggu ini, Aisyah membatasi dirinya untuk ke rumah Kiyai Afnan, bukan karena apa, tapi Aisyah menghindari Gus Hafidz, selama seminggu ini, Aisyah menyibukkan dirinya dengan belajar.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ning Mifta duduk di samping Aisyah.
Aisyah melihat kearah samping nya. "Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Mifta tersenyum kearah Aisyah, sudah satu minggu Aisyah selalu menghindari dirinya. "Apa kabar, kak?"
"Alhamdulillah baik, Ning." Aisyah membalas senyuman Miftah. "kalau Ning Mifta, apa kabar?"
"Alhamdulillah baik juga, Kak," kata Miftah
"Alhamdulillah," ujar Aisyah.
"Kak Ais sibuk, ya?" tanya Mifta.
"Iya Ning, hafalan makin banyak," jawab Aisyah.
"Umi nyariin kakak." Mifta memandang kearah Aisyah.
Aisyah tersenyum. "Umi apa kabar, Ning?"
"Alhamdulillah baik, kak, Umi selalu nyariin kakak, kenapa kakak gak perna ke rumah lagi?" tanya Miftah.
"Seperti yang kamu liat, Ning, aku sangat sibuk, hafalan makin numpuk," ujar Aisyah.
Miftah menganggukkan kepalanya, dia sangat mengerti keadaan Aisyah sekarang.
"Aa juga nyariin kakak, katanya, kenapa kak Ais, gak pernah main lagi ke dalem." Bibir Mifta tersenyum.
Aisyah cuman terdiam mendengar perkataan Miftah.
Melihat Aisyah yang terdiam, Mifta bertanya, "selama disini, kak Aisyah tak memiliki perasaan sedikitpun buat Aa?"
Aisyah menatap Mifta lalu tersenyum. "Siapa yang tidak akan jatuh cinta sama Gus Hafidz Ning, Gus Hafidz pintar, sopan, lemah lembut, penyayang, memiliki wajah yang tampan, mungkin santriwati yang ada disini, ingin memiliki pendamping hidup seperti Gus Hafidz."
"Termasuk kak Ais?" tanya Mifta.
"Ya." Aisyah mendudukkan kepalanya. "tapi aku hanya bisa mencintainya dengan diam, Ning, aku merasa gak pantas bersanding dengannya, selama ini aku salah, karena sudah menyebut namanya dalam do'a."
Miftah menatap Aisyah. "Kenapa waktu itu aku tanya, Kakak gak jawab jujur?"
Aisyah tersenyum. "Kalau aku jujur, apa yang akan terjadi, Ning?"
"Kalau kak Aisyah jujur, setidaknya ini gak akan terjadi," ujar Miftah.
Aisyah terkekeh kecil. "Aku berada di pesantren belum cukup satu tahun, Ning, baru beberapa bulan, mana mungkin aku berani jujur soal itu, mungkin kalau Ning berada di posisi aku, Ning Mifta akan melakukan hal yang sama."
Mifta terdiam mendengar perkataan Aisyah.
Aisyah menghapus air mata yang mengalir ke pipinya. "Di masa lalu, aku gadis yang sangat buruk, tanpa Ayah, aku gak akan bisa ada disini, Ning."
"Maafin Miftah kak, Mifta gak ngertiin posi—" Perkataan Miftah terpotong.
"Kak Aisyah!"
Nafas Ara ngos-ngosan saat sudah sampai didepan Aisyah dan Miftah.
"Ada apa Ra?" tanya Aisyah.
"Kak Aisyah di panggil Umi, Umi mau ngomong soal Ayahnya Kak Aisyah." jawab Ara, setelah nafasnya sudah teratur.
Perasaan Aisyah tidak tenang, dirinya merasa cemas, dia takut akan terjadi sesuatu.
"A–ayah!" lirih Aisyah.
Aisyah merasa tidak tenang, dirinya merasa cemas, fikiran buruk tentang ayahnya menghantui pikiran saat melangkah ke rumah Kiyai Afnan.
"A–assalamualaikum," salam Aisyah.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Kiyai Afnan.
Umi Khadijah berdiri dan berjalan kearah Aisyah. "Aisyah, ayo duduk dulu, Nak,"
Umi Khadijah membawa Aisyah untuk duduk di di sofa.
"U–umi, Ayah Aisyah kenapa?" tanya Aisyah.
Umi Khadijah mengelus kepala Aisyah. "Ayah kamu mengalami kecelakaan, sayang."
Aisyah terdiam kaku ditempatnya, air matanya mengalir tanpa diminta, bibirnya gemetar, tenggorokannya terasa dicekik tak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
Melihat keadaan Aisyah, Umi Khadijah langsung memeluknya. "Aisyah, tenang sayang."
"A–ayah," lirih Aisyah.
"Tenang Ais, semuanya akan baik-baik saja." Tangan Umi Khadijah mengelus kepala Aisyah.
Tangisan Aisyah pecah. "A–ayah, hiks, hiks, hiks."
"Ayahmu akan baik-baik saja, Nak!" bisik Umi Khadijah
"A–ais, hiks, hiks, hiks, mau ketemu A–ayah, Umi!"
"Ya sayang, kita akan ke rumah sakit,"
"Umi hiks, hiks, hiks, A–ayah tidak hiks, hiks, hiks, akan ni–nggalin A–ais kak?" tanya Aisyah.
Air mata Umi Khadijah ikut menetes mendengar pertanyaan Aisyah. "Tidak sayang."
"A–ais hiks, hiks, hanya pu–punya hiks, hiks A–ayah, Ais gak mau A–ayah pergi ninggalin hiks, hiks Ais seperti Bunda." Tangan Aisyah mengeratkan pelukannya.
Mata Miftah berkaca-kaca mendengar ucapan Aisyah, dirinya sangat bersyukur karena sampai saat ini masih diberikan keluarga yang masih lengkap.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Gus Hafidz masuk kedalam rumah.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Kiyai Afnan dan Miftah.
"Abi, mobil udah siap, kita bisa berangkat sekarang," ujar Gus Hafidz.
Umi Khadijah membantu Aisyah untuk berdiri. "Ayo sayang."
Sebelum berangka, Kiyai Afnan menitipkan pesantren ke salah satu Ustadz yang ada di pesantren.
****
Setelah melakukan perjalanan terbilang cukup jauh, akhirnya mereka sampai dirumah saki tempat Riyan berada.
"Bi Ani!" teriak Aisyah saat melihat Bi Ani sedang duduk di kursi rumah sakit.
"Non Aisyah." Bi Ani langsung berdiri saat melihat Aisyah jalan kearahnya.
"Bibi, hiks, hiks, hiks A–ayah ke–kenapa, Bi." Aisyah langsung memeluk tubuh Bi Ani.
Air mata Bi Ani tak dapat ditahan lagi, hatinya ikut sakit saat melihat Aisyah menangis, Bi Ani sangat faham dan tau bagaimana ayah dan anak ini saling membutuhkan satu sama lain.
Bi Ani mengelus kepala Aisyah. "Ayah non Aisyah akan baik-baik saja, percaya sama Bibi."
"Bagaimana keadaan Riyan, Bi Ani?" tanya Kiyai Afnan.
"Tuan sedang di tangani dokter, Pak," jawab Bi Ani.
Umi Khadijah menghampiri Aisyah yang masih menangis. "Sudah, jangan menangis lagi, lebih baik Ais do'a agar Ayahnya Ais baik-baik saja."
"Hiks, hiks, hiks Ais mau liat Ay—" Perkataan Aisyah terpotong saat pintu ruangan terbuka.
"Keluarga pasien yang bernama Riyan wijaya?"
"S–saya Dok, sa–saya putrinya," jawab Aisyah.
"Pasien ingin berbicara dengan Pak Afnan, Ibu Khadijah, Hafidz dan Aisyah." kata sang dokter.
Umi Khadijah memegang tangan Aisyah untuk masuk kedalam ruangan.
Saat masuk kedalam ruangan, tangisan Aisyah tak bisa dibendung lagi, dengan langkah cepat, Aisyah menghampiri Ayahnya.
"A–ayah."
Riyan tersenyum. "A–ais, ke–mari, Nak."
Aisyah memegang tangan Ayahnya. "A–ayah, hiks, hiks, hiks apa yang terjadi?"
Riyan hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Aisyah.
Riyan melepaskan genggaman Aisyah dari tangannya. "A–afnan, Hafidz."
Mendengar namanya disebut, Kiyai Afnan dan Hafidz berjalan ke arah Riyan dan Aisyah.
"A–afnan, jaga put–riku dengan bai–k, di–dik dia agar bisa menjadi wanita sa–lihah." Riyan menggenggam tangan Kiyai Afnan. "Nak Ha–fidz, me–nikah, menikahlah dengan Aisyah, hanya ka–mu yang sa–ya percaya."
"Gak ... gak Ayah, Ais akan tetap bersama ayah, Ayah yang akan menjaga Aisyah, bukan orang lain!" teriak Aisyah.
Umi Khadijah menghampiri Aisyah untuk menenangkannya. "Aisyah, jangan seperti ini, Nak."
"Aisyah gak mau Ayah pergi," ujar Aisyah.
Umi Khadijah menarik Aisyah kedalam pelukannya. "Aisyah jangan kaya gini, mending Aisyah berdo'a pada Allah."
"A–afnan, tuntun A–aku, Af" pinta Riyan.
Mendengar permintaan Ayahnya, membuat Aisyah semakin histeris dan pingsan.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments