Gus Hafidz mondar-mandir didalam kamarnya, menunggu kedatangan Mifta.
"Aku harus ngomong sama Aisyah! ia, aku harus ngomong sama Aisy—" Perkataan Hafidz terpotong saat pintu kamarnya terbuka.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Miftah berjalan kearah Hafidz. "Kenapa Aa?"
"Aa mau ngomong sama Aisyah!"
"Tapi. Aa, bentar lagi kita akan berangkat!"
"Sekali ini aja dek, bantuin Aa, cuman sebentar kok, Aa janji gak akan lama." Hafidz memandang Mifta dengan tatapan memohon.
"Janji, harus sebentar!"
"Janji." Hafidz tersenyum.
"Ya udah aku panggil Kak Ais, Aa tunggu disini, oke!"
"Oke, jangan lama dek,"
"Iya, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Mifta undur diri dari hadapan Gus Hafidz.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Gus Hafidz.
*****
"Apa ndk ada jalan lain, Ais?" tanya Dea.
"Jika aku masih disini, aku ndk akan bisa move on dan makin sakit melihatnya bersama perempuan lain, Dea." Aisyah menatap Dea.
"Umi tau, kalau kamu akan pergi?"
"Belum, aku ndk tau caranya pamit sama Umi dan Kiyai Afnan," ujar Aisyah.
"Terus, kamu mau pergi aja, gitu?"
"Maunya gitu, tapi gak enak juga ama Meraka, masa aku pergi gitu aja, padahal Mereka sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri." Aisyah menundukkan kepalanya.
"Sarang Aku, sebaiknya kamu pamit, jangan pergi gitu aja, ndk sopan Ais!"
"Akan ku usahakan, tapi jika aku ndk sempat pamit, kamu kasih surat ini ke mereka ia." Aisyah mengambil sebuah kertas yang ada didalam tas kecilnya, lalu menyerahkan ke Dea.
Dea mengambil kertas yang Aisyah berikan. "Kamu niat benar iy, mau pergi dari pesantren, semuanya udah kamu siapkan."
"Jika kamu ada di posisi aku, apa yang kamu lakukan Dea?"
"Ya pastinya, Aku juga akan mengambil keputusan yang sama kaya kamu, masa iya aku mau liat dia mesra-mesraan dengan pasangannya,"
"Nah, itu kamu ngerti, hehehehe ...."
"Tapi, Ais, kamu ndk akan perna lupain aku ka—" Perkataan Dea terpotong.
Tok ... tok ... tok ....
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Mifta mengetuk pintu kamar Aisyah.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Aisyah dan Dea.
Mifta masuk saat pintu sudah terbuka. "Maaf kak, mengganggu."
"Iya ndak apa-apa Ning, Apa kita mau berangkat?" tanya Aisyah.
"Belum Kak, masih ada waktu 1 jam, sebelum berangkat." Mifta tersenyum. "Apa Kak Ais bisa ikut aku sebentar?"
"Bisa Ning." Aisyah menatap kearah Dea. "Dea aku pergi dulu, jangan lupa suratnya."
Dea hanya mengangguk-angguk kepalanya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam Miftah dan Aisyah.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Dea.
****
"Ning, kenapa kita ke kamar Gus Hafidz?" tanya Aisyah saat sudah berada didepan kamar Hafidz.
"Aa mau ngomong, katanya." Miftah mengetuk pintu kamar. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,"
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Pintu kamar dibuka dari dalam oleh Gus Hafidz.
Mifta menarik tangan Aisyah untuk masuk kedalam. "Cepetan ngomongnya! sebentar lagi berangkat."
tanpa membuang-buang waktu, Gus Hafidz menutup pintu kamarnya saat Mifta dan Aisyah sudah masuk kedalam.
"Kamu yakin dengan keputusan kamu?" Hafidz menatap Aisyah dengan penuh pengharapan agar Aisyah tidak membatalkan wasiat ayahnya.
"Jika kamu ingin melanjutkan wasiat Ayahmu, bagaimanapun caranya saya akan usahakan Aisyah, kamu tidak akan jadi istri kedua, dan tidak ada poligami," batin Gus Hafidz.
"Santai aja kali, Aa, tatapannya!" sindir Mifta.
Aisyah memainkan jari-jarinya. "Ke–putusan A–aku tetap sama Gus."
Gus Hafidz mengusap wajah dengan kasar. "Fikiran lagi Ais, aku bisa lakuin apapun agar wasiat itu dilanjutkan, aku bisa batalin pernikahan ini, aku yakin, Kiyai Rizky mengerti dengan keadaan."
Aisyah menatap Gus Hafidz tak percaya. "Pernikahan Gus tinggal beberapa jam lagi, jangan melakukan hal yang konyol, semuanya sudah lengkap, tinggal ijab qabul, apa kata orang nanti, aku ndk mau, Umi sama Abi malu gara-gara aku."
"kamu egois Aisyah, kamu cuman memikirkan dirimu sendiri, tanpa memikirkan orang lain, termasuk Aku!"
Aisyah tidak dapat menahan air matanya untuk keluar, ini pertama kalinya Gus Hafidz berkata seperti ini Padanya.
"Sebelum aku menikah, aku mau jujur sama kamu Aisyah, mungkin ini sedikit terlambat, tapi lebih baik terlambat dari pada tidak jadi sama sekali." Hafidz berjalan ke arah sofa yang ada di kamarnya.
Aisyah menatap ke arah Gus Hafidz yang berada di sofa, matanya sudah basah karena air mata.
Sedangkan Miftah hanya diam ditempat, untuk menyimak pembicara Aisyah dan Gus Hafidz.
Sebenarnya Mifta tidak ingin mendengar percakapan Meraka, Tapi, Mifta juga tidak ingin meninggalkan Aisyah dan Hafidz berdua-duaan di kamar.
"Aisyah, Aku akan menikahi gadis lain, tapi aku tidak bisa mencintai gadis lain, walaupun gadis itu berstatus istriku, Karena aku cuman mencintai satu gadis, ia itu kamu, jika Allah tidak mengabulkan do'aku berjodoh denganmu di dunia, makan aku akan berdoa, agar Allah menjodohkan kita di surga," tutur Gus Hafidz.
Aisyah terduduk di lantai, tangisannya pecah mendengar perkataan Gus Hafidz. Dirinya merasa beruntung dan merasa bersalah. Keputusan untuk pergi dari pesantren sudah benar. Jika dia masih disini bukan cuman dirinya yang tidak bisa move on, Tapi, Gus Hafidz tidak akan bisa mencintai istrinya kelak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments