PMDC 11 Luna

Aku menyipitkan mata pada sesuatu berat yang menimpaku. Rasanya, tidak bisa bernafas karenanya meski semua oksigen telah kuhirup tetap saja sesak seperti asma.

"BAGAS!!!!!!!!"

"BERISIK!" bentak Bagas dan telingaku bergetar karena mulutnya tepat di lubang telingaku.

"Kamu, Bangun!" Aku mendorong kepalanya dan mengelus telingaku yang sedikit sakit dan berdenging.

Menit berikutnya, kaki dia menyusul mengunciku, membuatku semakin tidak bisa bergerak. Dia bahkan tidak memakai kaos. Astaga kemana kaosnya?

"Bagas, menyingkirlah!" Aku berteriak dengan marah dan mataku terpaku pada jam dinding yang munujukkan pukul delapan, sebentar lagi pegawai datang, dan sialnya Tossa membawa kunci serep.

"Siapa yang menyuruhmu tidur di sini?" Aku mencubit pinggang Bagas.

Bunyi rolling door menggema. Ya, terlambat, Tossa sudah tiba. Aku mengangkat tangan Bagas yang beratnya setengah mati dan pria ini masih tidak berkutik, jangan sampai Tossa mendapati kami seperti ini atau dia akan berpikir macam-macam.

Aku menampar pelan wajahnya dalam adrenalin yang meningkat. Sekali lagi menampar lebih keras pada pipi yang terluka. Tubuhku seketika melayang ...

Dalam sekejap saja Bagas telah berada di atasku. "Bag-ggg." Aku melepas jari-jari kuatnya yang menjerat leherku, saat nafasku terengah-engah.

"Luna." Bagas lantas menarik tangannya begitu dia sadar dan matanya yang tadi tajam kini meredup. "Kupikir ... orang jahat."

Dan aku batuk-batuk sambil mengelus leherku yang panas oleh cekikan nya.

"Biar aku lihat." Dia menarik tanganku perlahan. "Maaf."

"Diam! dan menyingkir dari leherku. Tubuhmu berat! jangan duduki aku, gila kamu Bagas."

"Hah Luna, kan sudah membangunkan mu Kamu tidak bangun-bangun, dan menarik ku, sekarang kamu marah-marah." Bagas menarikku dan dia kini yang memasang tampang kesal.

"Menarikmu? menarik apa? eh mana kaos mu."

"Di sofa bawah." Dia melangkah dan aku meraih tangannya tapi bukan tangan yang kudapat melainkan perut kubus berbentuk v, dia memiliki badan yang bagus dan ada empat urat vertikal menonjol diantara perutnya yang terdapat cekungan V, kenapa tubuhnya atletis, aku tersihir lagi oleh keindahannya.

"Ada Tossa," kataku dengan suara bergetar. "Aku saja."

"Kamu suka?"

Aku mendongak "Suka apa?" menatap lembut pada dia yang selalu hobi berbicara dari jarak dekat.

"Yang kamu pegang."

Dia mendekat dan tersenyum dan mengecup di bibirku. Lagi! dia tidak ijin, tapi bahkan aku tidak ingin menjauh.

"Luna eh!" Sebuah suara membuat kami menjauhkan bibir, dan pandanganku ku lempar ke arah tangga . Aku mendapati Shelin dengan melongo, terlihat canggung, dia menggaruk keningnya menatap kami. Secara otomatis aku mengikuti arah tatapan Shelin saat matanya membulat sempurna. Detik berikutnya aku menyadari tanganku masih di perut Bagas dan aku langsung melepas nya dengan senyum garing pada Shelin.

Aku membalik dada Bagas agar tidak terlihat Shelin yang masih terpaku ke arah perut Bagas.

"Tunggu di sini, Bagas." Aku menatapnya, nafas meningkat. Bagas mematung, seperti memikirkan sesuatu.

...*...

"Luna, kalian pacaran?" Shelin bertanya saat di lantai bawah. Dia mulai meletakkan papan orderan di lantai.

"Tidak. Dimana Tossa, kenapa kamu yang bawa kunci?" Aku menyipitkan mata ke Shelin yang tersenyum seolah menyindirku. "Tak usah berpikiran macam-macam." Aku meraih kaosnya Bagas dari atas sofa dan menggantungkan di bahu.

"Oh ya Tossa mampir tempat fotokopi. Ngomong-ngomong, sepertinya, phobia mu pada kaum Adam, sembuh ya?" Dia bertanya dengan suara meninggi

"Aku tidak tahu, mungkin saja benar seperti katamu. Atau malah tidak bereaksi terhadap Bagas." Aku mengangkat bahu, tidak mengerti dan meninggalkan Shelin.

Aku meraih telepon yang terus berdering setelah memberikan kaos Bagas, dan itu dari Bella yang tanpa basa-basi menyuruhku pulang. "Ya? APA!? aku akan pulang sekarang!" kataku dengan tidak sabar dan ingin cepat sampai rumah.

Aku memutuskan telepon dan mencari kunci motor, tanpa menjawab pertanyaan Bagas.

Selama dalam perjalanan pulang, aku yang diboncengi Bagas, terus mengotak-atik ponsel. Begitu sampai rumah, Bella menungguku di depan rumah dengan wajah gelisah.

"Aku sudah melarangnya dan dia tetap membawanya." Bella berbicara cepat, lalu aku berlari ke atas

Sesampai di kamar ibu, barang-barang berantakan. Aku terfokus pada kotak kayu teronggok terbuka, padahal aku sudah menguncinya.

Terduduk lemas, aku membolak-balik kotak kayu, Anton mengambil semua perhiasan milik ibu. Aku mere..mas kotak kayu dalam kegetiran, perut panas, asam lambung meningkat dan naik tenggorokan menyebabkan pahit kecut di mulut.

"Dimana orangnya? yang kemarin kan!? aku akan menghajarnya, tunjukan dimana?" Bagas bertanya dengan nada bergetar karena marah sambil memijat bahuku.

Aku seharusnya masih bisa mengejar Anton ke rumah ayah, tapi begitu aku ke sana, bisa-bisa aku tidak bisa keluar. Menggaruk keningku dalam kebingungan, aku mencoba berpikir dan pertanyaan Bagas bertubi-tubi membuatku jengkel.

Namun, peninggalan ibu adalah segalanya. Aku berdiri dan bersiap-siap.

"Maaf Luna, aku baru datang, seandainya lebih awal pasti tidak akan terjadi." Bela berkata dengan raut penyesalan

"Aku akan pulang ke rumah, jangan bilang Eric, Bell," bisik ku di telinga Bella.

"Lun, kamu tidak boleh pergi. Kau tahu terakhir kali kamu ke sana- " Bella menahan tanganku.

"Bell, kamu tahukan, itu sangat penting bagiku." Aku berkata dan meraih kunci tetapi Bagas sudah memakai helm dang menghalangiku.

"Mas, aku pergi sebentar, kamu kan masuk siang."

"Kamu mau kemana, ayo aku antar, orang kasar itu lagi kan?"

"Tolong, Bagas, jangan mencampuri urusan pribadiku." Aku berkata dengan tegas. "Kamu bisa meminjam motor Bella, untuk kerja." Aku tersenyum tipis padanya.

Bella menarik tangan Bagas dan aku seketika melewati Bagas, memakai helmku dan Bagas lagi-lagi menghalangi dengan menarik kunci motorku.

Aku menusukkan telunjuk ku ke dadanya. "Sekali lagi kamu menghalangiku pergi, aku bersumpah tidak akan bicara denganmu lagi." Dengan kegeraman dalam kata-kataku lalu aku mengulurkan telapak tangan menghadap langit.

Dia menatapku dengan tajam, tapi semenyeramkan dia kali ini bahkan itu tidak melebihi dari wajah menyeramkan ayah.

"BERIKAN," aku mendesis dan beberapa saat kutangkap bibirnya yang berkedut oleh kesal, tapi dia menangkupkan tangannya untuk memberikan kunci. Aku meraihnya dan langsung meninggalkan dia tanpa aku mengingat semua kata-katanya.

Dua puluh menit perjalanan, aku gemetar di depan rumah tiga lantai, seorang security seperti tahu kehadiranku dan membukakan pintu gerbang dan mengambil alih motorku.

Semua bayangan saat aku kecil berlarian di tempat ini tampak begitu nyata, memeluk ibu, memeluk ayah, memeluk adik dan aku tersenyum getir menapaki paving.

Aku melirik ke motor Ducati Desmodici yang terpakir, Anton padti di rumah. Langsung berlari menuju pintu utama, dan begitu aku akan mendorong pintu, aku langsung mundur ke belakang, merasa ngeri.

Sosok pria berusia 54 tahun yang baru saja tersenyum tampak menegang, rahangnya mengeras begitu menatap mataku.

Dan aku gemetar oleh kengerian, dingin menusuk kulit dan menyebar ke seluruh tubuh, tak peduli cuaca sangat panas 29 derajat dan aku menggigil oleh ketakutan yang merayap di bawah kulit. "A--aayah."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!