Rizal, Adnan dan Galang saling berpandangan. Tak ada satu pun dari mereka yang berani menjawab. Meski demikian, ketiganya mengerti kalau selama ini, mbah Nanik tahu semuanya sebab, ia dapat langsung menduga kalau ketiga pemuda, habis dari gua.
"Kami.. hanya merasa kalau sudah waktunya untuk kami pulang," ucap Rizal kemudian.
Mbah Nanik lantas mengucapkan sesuatu yang membuat ketiga pemuda terhenyak.
"Bagaimana bisa kalian pulang kalau kesepakatan telah dibuat?"
...Deg......
Ketiga pemuda membulat heran.
"Kesepakatan apa?" tanya Galang.
"Kesepakatan antara para warga desa beserta kepala desa. Kesepakatan yang memutuskan kalau kalian akan tetap tinggal."
...Deg.....
"Maksudnya apa mbah? bagaimana bisa kami tetap tinggal? kami punya keluarga, kami harus pulang. Atas dasar apa warga desa menahan kami?" cerca Adnan.
"Itulah hasil keputusannya, kalian tidak punya hak untuk mendebat atau pun menolak."
"Mbah!" pekik Galang dengan suara meninggi.
Rizal menarik pelan lengan Galang agar Galang dapat menahan diri. Setelah itu, Rizal yang kembali berbicara.
"Mohon maaf mbah! kami sungguh tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Betapa pun mbah Nanik dan para warga desa baik kepada kami, kami tetap harus pulang. Kami juga meminta maaf andai kata ada perkataan dan perilaku yang tidak berkenan. Mohon mbah Nanik mengerti!"
"Hemm..."
"Sebenarnya, kalian memang sudah kami incar. Setiap tempat memang biasa mengambil tumbal bukan? contohnya saja sebuah jembatan, sungai besar, bangunan tinggi menjulang atau pun gunung. Pada beberapa waktu berselang, biasanya akan jatuh korban. Tidak peduli siapa, asal apes saja, dia bisa mengalami nasib yang mengenaskan. Hal itu sudah biasa untuk membuat keadaan menjadi damai dan tenang. Namun kalian, kami hanya ingin meminta kalian untuk tinggal, tidak perlu mengambil nyawa kalian."
"Untuk apa? kami benar-benar tidak mengerti. Jika kami tinggal di sini, apa desa Gringging akan menjadi tenang? apa gunung ini akan baik-baik saja? maksud saya adalah tidak ada korelasi dari pengorbanan manusia untuk ketenangan suatu tempat. Apa kalian memuja setan? tentu saja pengorbanan manusia hanyalah sekedar tipu muslihat mereka yang memang ingin membuat manusia lebih takut padanya hingga menyekutukan sang pencipta. Tidak seharusnya hal seperti ini dilakukan."
Mbah Nanik lantas tertawa. Tawa tipis khas orang tua.
"Yang kamu katakan memang benar tapi posisi kalian sekarang, tidak dalam kondisi yang bisa bernegosiasi dengan kami."
...Deg.....
Emosi Galang tersulut dan ia pun tak dapat lagi mengendalikan ucapannya. Nada bicara meninggi, raut wajahnya penuh emosi. Sementara mbah Nanik hanya menanggapinya dengan santai. Sama sekali tak menunjukkan amarah. Rizal dan Adnan masih terus berusaha menenangkan temannya ketika mbah Nanik kembali berbicara.
"Baiklah kalau itu keinginan kalian. Memang tidak adil jika kalian, kami minta tinggal secara sepihak. Namun, kami tetap tidak bisa melepaskan kalian begitu saja juga."
"Jangan berbelit-belit!" bentak Galang.
"Saya akan memberi kalian satu kesempatan. Kalian ingin pergi dari sini maka, pergilah! lakukan apa pun yang kalian bisa. Saya yakin, kalian akan tetap kembali lagi ke sini."
"Sialan! apa yang mau kamu lakukan? sengaja menyesatkan kami? membuat kami berputar-putar?"
"Lang tenang!" sahut Adnan.
"Saya telah memberi kalian kesempatan. Saya beserta warga desa ingin kalian tinggal. Sedangkan kalian, ingin pulang maka berusahalah sekuat tenaga. Kami pun juga akan berusaha membuat kalian tetap tinggal. Setidaknya, kami masih memberi kalian kesempatan untuk berusaha."
Galang sangat marah, ia tendang lemari kayu yang ada di depannya dengan sangat kencang. Mbah Nanik tidak bergeming sedikit pun kecuali ucapan terakhir yang ia lontarkan sebelum kemudian, keluar dari kamar ketiga pemuda.
"Cepatlah pergi sebelum kami berubah pikiran!"
...Deg.....
Ketiga pemuda pun lekas melanjutkan agenda mengemas barang-barang lalu segera beranjak dari rumah mbah Nanik.
"Gila! tempat macam apa ini?" gerutu Galang.
"Ayo cepat!" seru Rizal.
"Iya."
Di luar rumah, para warga telah berkumpul. Entah kapan mereka datang, teras hingga halaman rumah mbah Nanik telah penuh.
"Gimana ini?" tanya Galang seraya mengangkat sebelah alisnya.
"Lanjut jalan!" sahut Adnan.
Ketiga pemuda menerobos kerumunan sembari mengucap permisi dengan sopan. Tak ada satu pun warga yang berusaha menahan mereka. Hanya sekedar memandang ke mana pun mereka berjalan.
"Kita dilihatin terus nih," ucap Galang.
"Biarkan saja!" jawab Rizal.
Ketiganya terus berjalan hingga melewati rumah terakhir di desa tanpa kembali menoleh ke belakang. Entah kenapa, ketiganya menjadi paranoid. Khawatir ketika menoleh, para warga akan berubah wujud menjadi macam-macam rupa yang mengerikan.
"Ayo cepat! percepat langkah!" seru Adnan.
"Iya."
Tepat ketika mereka benar-benar keluar dari area perkampungan, beberapa anak kecil tiba-tiba muncul seraya gelendotan di tangan ketiga pemuda.
"Eh siapa kalian?" tanya Rizal sembari berusaha melepaskan tangannya.
"Tolong mas! tolong!" pinta salah seorang anak perempuan seusai diempaskan Rizal.
"Kami siapa? dari mana datangnya kalian?" tanya Rizal lagi.
"Dari sana!" jawab si anak perempuan sembari menunjuk ke arah perkampungan desa Gringging.
"Dari desa Gringging?"
"Iya."
"Lalu kenapa kalian di sini? sana pulang! kami juga mau pulang."
"Eh Zal tunggu!" sela Adnan.
"Ada apa?"
"Selama kita berada di desa Gringging, apa kamu pernah lihat ada anak kecil?"
...Deg.....
Rizal membulat seketika seraya lekas menampik tangan seorang anak kecil lain yang berusaha meraih lengannya.
"Benar, tidak ada anak kecil di desa Gringging. Kalian siapa?"
"Tolong kak!" rengek beberapa anak kecil bersamaan.
"Gak bisa! kami tidak bisa menolong kalian. Kami saja sedang tersesat. Nyawa kami ini sedang terancam, pergi sana!" usir Rizal.
"Tolong kami! kami ikut kakak ya?"
"Enggak."
"Tolong kak, kami tidak mau di sini tapi orang tua kami mengirim kami ke sini."
"Hah? gimana-gimana? kenapa orang tua kalian ngirim kalian ke sini?"
"Tidak tahu. Seingat kami, kami sedang sakit demam di rumah lalu terbangun di sini. Ada banyak orang yang tidak kami kenal. Kami mau ikut kakak-kakak pulang."
...Deg......
"Zal, jangan-jangan mereka ini.. tumbal."
Rizal dan Galang membulat seraya beringsut mundur memberi jarak. Keduanya membernarkan ucapan Adnan dan kemudian bergegas kabur. Adnan meminta maaf karena tidak bisa menolong anak-anak itu lalu turut berlari juga mengikuti kedua temannya. Rizal, Adnan dan Galang baru berjalan pelan ketika yakin kalau anak-anak tadi sudah tidak mengikuti.
"Serem banget desa itu," ujar Galang.
"Iya Lang, kok bisa kita sampai di sana? kita ngapain sih? apa kita berbuat salah?"
Pertanyaan Adnan membuat kedua temannya berpikir dengan keras. Ketiganya kembali mengingat tentang hari pertama mereka berangkat dari rumah hingga ke basecamp gunung ini. Menginap semalam, sarapan lalu mulai mendaki. Semua biasa saja hingga kemudian, Galang menyadari kalau sikapnya dan sikap Rizal terkesan congkak karena menganggap remeh para makhluk alam lain yang berada di gunung ini.
"Emm.. iya."
Tampaknya, ketiga pemuda telah mengerti perihal alasan dipilihnya mereka untuk dijadikan tumbal. Alasan kenapa para jin hendak menahan mereka.
"Astaghfirulloh!"
Adnan mulai menyebut sang pencipta dan benar-benar menyesal telah bersedia mendaki gunung ini.
...🍁 Bersambung... 🍁...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
IG: _anipri
nah kan
2023-01-25
0
IG: _anipri
apa mereka jga bakal jadi tumbal?
2023-01-25
0
IG: _anipri
kesepakatan apa?
2023-01-25
0