Rasa sesal pasti ada. Bukan hanya dalam benak Adnan. Namun, dalam benak kedua temannya juga. Andai waktu dapat diputar. Hari ini, tentu mereka akan berada di rumah masing-masing bersama dengan keluarga. Bukan malah bertaruh nyawa di gunung angker yang terkenal dengan praktik pesugihannya. Kini, baik Rizal maupun Galang tak berani lagi bersikap congkak seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Ketiganya berharap untuk dapat sampai ke basecamp dengan cepat lalu pulang bertemu dengan keluarga.
Dalam perjalanan turun mereka, berlalu tanpa rintangan yang berat. Jalanan memang bergelombang. Terkadang sedikit menanjak, terkadang juga turunan tapi bagi mereka, hal itu biasa. Hanya perihal waktu yang saja yang terasa janggal. Sama seperti ketika berangkat, waktu seolah berlalu dengan cepat. Memang, perputaran jam itu wajar, satu jam, dua jam, tiga jam semua normal. Hanya terasa begitu cepat saja hingga kemudian, temaram kembali menyapa.
"Sudah mulai gelap nik, kayaknya harus buka tenda," celetuk Adnan.
Kedua temannya sepakat dengan ucapan Adnan.
"Ya sudah, kita cari tanah yang landai di depan!"
"Oke Zal," jawab Adnan.
Setelah berjalan beberapa meter ke depan. Ada tanah landai yang cukup untuk membuka satu tenda. Ketiganya pun bersama-sama memasang tenda lalu mengeluarkan peralatan memasak. Di sinilah mereka baru ingat, kalau logistik yang mereka bawa telah menipis. Mentok hanya cukup sampai besok siang. Diskusi singkat pun dilakukan. Dengan kesepakatan kalau besok pagi, mereka harus berjalan cepat agar bisa lekas sampai di basecamp. Sebagai rencana cadangan, mereka akan survival, membawa tanaman atau buah apa pun yang bisa dimakan, di sepanjang perjalanan turun nanti untuk berjaga-jaga andai rencana mereka tidak terlaksana sesuai harapan.
"Eh, kita gak pernah solat nih semenjak naik gunung sampai hari ini," celetuk Adnan di tengah-tengah agenda makan mereka.
"Bukannya kenapa-kenapa sih, aku juga gak peduli seberapa taat kita dalam beribadah. Hanya saja, kita kan sedang tersesat. Kayaknya solat dan berdoa bisa membantu deh," imbuh Adnan.
"Emm.. yaudah, kita solat jamaah habis ini!" seru Rizal.
"Iya."
Ketiganya pun melanjutkan makan lalu tayamum dan kemudian melakukan solat berjamaah. Tayamum dilakukan mengingat persediaan air mereka terbatas. Hanya cukup untuk minum dan memasak air saja. Di sekitar mereka pun, masih belum terlihat ada mata air. Alhasil, tayamum dipilih untuk mensucikan diri sebelum kemudian melakukan solat maghrib. Usai solat, mereka berbincang ringan di dalam tenda sebelum kemudian, tertidur lelap.
Sayangnya, tidur lelap mereka terganggu oleh sebuah suara khas yang begitu familier bagi ketiganya. Ketiga pemuda itu pun membuka mata mereka seraya menajamkan pendengaran. Saling mengangguk satu sama lain ketika yakin kalau dugaan ketiganya, sama. Rizal meminta Galang untuk membuka sedikit resleting tenda lalu mengintip keluar bersama-sama.
..."Kress.. Kres.. Kress..."...
...Deg.....
"Suara ini kan..."
"Iya Nan, aku tahu maksud kamu," sahut Rizal.
Galang mulai bergidik seraya terus mengintip.
..."Kress... Kres... Kres..."...
Galang menarik dirinya masuk ke dalam tenda membuat kedua temannya reflek mengikuti.
"Ada apa Lang?"
"Gak apa-apa Nan, rada merinding saja."
Ketiga pemuda saling melempar pandangan. Isyarat semuanya pun merasakan hal yang sama.
...Kress... Kres... Kres......
Lamat-lamat, suarat terdengar kian mendekat. Mereka paham betul, suara ini mirip sekali dengan suara bapak-bapak pendorong gerobak alias si pengirim pasokan makanan ke desa Gringging. Setidaknya, itu yang penah mbah Nanik katakan. Permasalahannya adalah, jika benar mereka adalah pemasok makanan, tentu ketiga pemuda tidak akan takut. Namun, setelah mengetahui bahwa para penduduk di desa Gringging bukanlah manusia, tentu akan muncul spekulasi kalau si pengirim pasokan makanan pun, juga bukan manusia. Jelas masuk akal jika ketiga pemuda merasa ketakutan.
..."Kress...Krees... Kress."...
"Sialan! bener nih suara daun dan ranting yang terlindas roda gerobak," benak Rizal.
Perlahan, ketiga pemuda mulai beringsut lalu sedikit meringkuk. Terlihat jelas raut ketakutan dari wajah ketiganya serta gestur tubuh yang ditunjukkan. Meski demikian, rasa penasaran juga ada. Alhasil, batin dan otak saling berdebat untuk memutuskan. Hendak mengintip lagi ke luar ataukah tidak.
..."Kres.. Kres.. Kress.."...
Kian lama, suara gerobak yang melindas dedaunan kian mendekat. Nuansa tegang detak jantung yang kian kencang, mengalahkan suara jangkrik dan tonggeret di sekitar mereka.
..."Kreess.. Kress.. Kres.."...
Ketiganya saling berpandangan, mengangguk pelan lalu sekali lagi melongokkan kepala, mengintip dari pintu tenda.
"Astaghfirulloh haladzin!" pekik Adnan pelan.
Seperti yang telah mereka duga. Rembulan yang tengah bersinar sempurna, memantulkan cahaya hingga terlihatlah dua bapak-bapak si pendorong gerobak yang pernah ketiganya temui di desa Gringging. Awalnya masih siluet saja yang terlihat. Perlahan menjadi semakin jelas. Rizal, Adnan dan Galang membulat dalam diam. Hati cemas sembari berharap kalau kedua bapak-bapak itu tidak melihat mereka.
"Kayaknya kurang jelas nih. Kita maju ke pohon itu yuk!" ajak Rizal.
"Gila kamu Zal! takut tahu?" sahut Galang.
"Penasaran gak sama yang mereka bawa?"
"Emm.."
"Aku tahu kalau kalian berdua tuh sama kayak aku. Sama-sama penasarannya jadi, ayo ke sana!"
Akhirnya, Rizal, Adnan dan Galang berpindah ke balik pohon di dekat tenda mereka. Mereka mencari tempat yang cukup aman dan pas untuk mengintip lebih jelas.
..."Kres.. Kress.. Kres.."...
Adrenalin terpacu sempurna, deru jantung beradu seirama dengan besarnya rasa takut. Keringat mulai menetes, mata sigap menantikan apa yang akan segera mereka lihat.
..."Gluduk.. gluduk.."...
Suara gerobak terdengar sangat jelas ketika hampir melewati persembunyian mereka. Dengan mata kepala sendiri, ketiga pemuda akhirnya dapat melihat, apa yang bapak-bapak itu bawa.
"Pocong!" benak Galang dengan mata yang terbelalak.
Hampir saja ia membuat keributan andai Rizal dan Adnan tak menahan.
"Diam!" bisik Adnan.
Ternyata, sesosok pocong yang berada di dalam gerobak. Benar-benar mirip jenazah yang dibungkus kain kafan. Kain kafan putih terlihat begitu kontras dengan keadaan sekitar yang gelap. Meski rembulan tengah bersinar terang. Namun, cahayanya tentu tidak sama seperti matahari siang.
Para pendorong gerobak terus melaju melewati tempat persembunyian ketiga pemuda. Seolah, tak ada satu pun dari mereka yang menyadari keberadaan manusia. Atau mungkin, memang sengaja dibiarkan. Yang jelas, kedua bapak-bapak itu terus mendorong gerobaknya tanpa menoleh ke belakang. Terus dan terus hingga menghilang dari pandangan. Sementara Rizal, Galang dan Adnan terduduk lemas di bawah pohon. Tubuh mereka gemetar, bibir masih bungkam.
"Astaghfirulloh! Astaghfirulloh!"
Hanya istighfar yang terus Adnan dengungkan dalam hati hingga tenaganya sedikit pulih dan ia pun kembali masuk ke dalam tenda. Diikuti oleh kedua temannya.
"Ya Alloh! itu beneran pocong?" tanya Adnan.
"Jadi, yang diantar ke desa Gringging itu sebenarnya pocong?" sahut Galang.
"Kenapa yang kita lihat di sana sembako ya?"
...Deg......
...🍁 Bersambung... 🍁...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
IG: _anipri
woy! aku baca ini pas lagi mati listrik malam² lho. anjim lah emanh
2023-01-25
0
IG: _anipri
tenang kawan, yang penting niat untuk kembali aja
2023-01-25
0
Putrii Marfuah
nah lo...hayook beras,telur dll..aslinya apa tuh
2022-10-14
0