DIPERTIMBANGKAN

Keesokan paginya, sama seperti sebelumnya. Mbah Nanik membangunkan Rizal, Adnan dan Galang. Sarapan pun telah tersaji di meja yang berada di ruang tengah. Menu kali ini adalah ikan kuah santan pedas. Sungguh menggugah selera, terbayang sudah kelezatannya. Wedang jeruk hangat pun tidak ketinggalan. Dilahap dengan nasi hangat, sungguh nikmat. Bahkan, Galang sampai habis dua piring penuh yang tak ayal membuatnya menjadi sasaran ejekan dari kedua temannya.

"Biarin! salah sendiri enak. Mbah Nanik pinter banget masaknya," ucap Galang.

"Dasar kemaruk!"

Galang hanya memanyunkan bibirnya, menanggapi olokan dari Adnan. Pagi itu memang sama dengan pagi sebelumnya. Hanya saja, keanehan yang mulai mengusik pikiran adalah ketika menyaksikan langit temaram seperti menjelang petang. Betapa pun coba dirasionalkan, tetap saja tidak masuk akal. Kalau pun mendung, tidak begini.

"Kenapa ya ini?" benak Adnan di dalam hati.

Tidak dapat dipungkiri, Adnan mulai risau. Terlebih, semalam ia mengalami sesuatu yang sulit dinalar.

"Kenapa banyak hal menjadi tanda tanya besar ketika kami sampai di desa ini ya?"

"Kenapa bengong Nan?" tanya Galang membuyarkan fokus Adnan.

"Lihat langitnya!"

Galang lantas menengadah dan lekas mengerti maksud Adnan.

"Kok bisa ya Lang?"

"Gak tahu Nan, aneh ini."

Mbah Nanik menghampiri tiga pemuda seraya mengajak mereka untuk duduk bersama di dipan teras.

"Kalian sedang lihat apa?" tanya mbah Nanik kemudian.

"Langitnya mbah, kenapa temaram terus ya? kalau gak temaram, ya malam, aneh sekali," ucap Adnan.

"Oh itu, tidak ada yang aneh kok."

Belum sempat mbah Nanik menjelaskan, dua orang warga datang dengan memikul karung di pundaknya.

"Apa itu Ri yang kamu bawa?" tanya mbah Nanik.

"Makanan mbah, sembako dari kepala desa," jawab seorang warga yang dipanggil "Ri" oleh mbah Nanik.

"Oh sudah dibagi ya?"

"Iya mbah."

"Taruh situ saja! terima kasih ya!"

"Iya mbah."

Kedua warga itu pun meletakkan dua karung sembako di teras lalu pamit untuk pulang. Rizal dan Adnan berusaha membantu dengan cara mengangkat dua karung itu ke dalam.

"Terima kasih!" ucap mbah Nanik.

"Isinya apa saja mbah?" tanya Adnan.

"Buka saja kalau ingin tahu!"

Adnan lantas membuka salah satu karung yang ternyata memang benar berisi beras, gula, minyak, telur dan lain sebagainya.

"Mau ditatain sekalian gak mbah? telurnya takut pecah," tanya Adnan menawarkan bantuan.

"Tidak usah, saya bisa."

"Wah tidak apa-apa mbah, mumpung ada kami di sini."

"Ya sudah kalau tidak merepotkan."

Rizal, Adnan dan Galang pun mengeluarkan satu persatu sembako dari dalam karung lalu menatanya dengan rapi di dapur. Dapur rumah mbah Nanik masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar dan tungkunya pun berasal dari tanah liat. Sungguh masih tradisional dan ekonomis. Hidup di desa yang masih dikelilingi hutan tentu terdapat banyak kayu kering berserakan. Memasak menggunakan kayu bakar tentu lebih ekonomis.

Keakraban ini seolah membuat ketiga pemuda itu terhanyut. Merasa biasa dan nyaman seolah rumah itu, memanglah tempat tinggal mereka hingga tanpa terasa, malam kembali menyapa. Betapa pun tidak masuk akalnya, ketiganya mulai terbiasa. Mulai merasa kalau tidak ada yang aneh di sana. Mengalir begitu saja seperti hangatnya perbincangan mereka. Adnan mulai terhenyak ketika tanpa sengaja, mbah Nanik mengatakan sesuatu yang memancing rasa penasarannya.

"Di desa Gringging ini, kalian sedang menjadi pembicaraan banyak orang."

...Deg.....

"Kenapa mbah?" tanya Adnan.

"Ya karena kita hampir mati karena hipo waktu itu," timpal Galang.

"Hssst! apa yang sedang para warga bicarakan mbah tentang kami bertiga?" tanya Adnan lagi.

"Semua orang sedang berdiskusi. Kepala desa sedang mempertimbangkan."

"Diskusi apa? mempertimbangkan apa?"

Adnan kian penasaran, sayangnya mbah Nanik seolah tersadar akan sesuatu lalu lekas mengalihkan topik pembicaraan mereka. Berapa kali pun Adnan coba mengembalikan fokus pembicaraan. Namun, mbah Nanik kembali bisa mengalihkannya. Kejanggalan demi kejanggalan berlalu begitu saja. Meski penasaran serta batin masih gusar. Adnan memaklumi sikap mbah Nanik yang terlihat enggan membahasnya.

...🍁🍁🍁...

Di kamar, Adnan mendiskusikan hal itu kepada teman-temannya. Andai mereka berpikir sama seperti dirinya. Rizal memang terlihat berpikir keras. Namun Galang, ia sama sekali tidak peduli dan beranggapan kalau Adnan lah yang terlalu banyak berpikir.

"Jangan overthingking Nan! nanti bisa jadi negatif mikirnya. Jangan sampai, kamu berprasangka buruk kepada para warga desa yang menolong kita!" ucap Galang.

Rizal berdehem lalu membenarkan ucapan Galang.

"Kami tidak merasa aneh Zal?" tanya Adnan menegaskan.

"Aneh sih ada tapi ya sudahlah, jangan terlalu dipikirkan!"

"Kamu lupa dengan yang kuceritain tadi malam?"

"Loh loh loh, ada cerita apa semalam?" tanya Galang.

Galang merasa tak dianggap karena Adnan dan Rizal menyembunyikan sesuatu darinya. Pada akhirnya, Adnan kembali menceritakan mimpinya kepada Galang. Galang hanya manggut-manggut sembari sesekali mengedarkan pandang seiring bulu kuduknya yang meremang.

"Kayaknya, kamu berhalusinasi deh Nan. Kalau gak gitu, emang kamu merasakan ada penampakan makhluk astral. Duh! di hutan begini kan memang wingit. Gak heran kalau banyak dedemit."

"Jangan asal bicara kamu Lang!"

"Apa sih Zal? mana yang salah dari ucapanku?"

Rizal hanya bisa diam.

"Tuh kan.. aku benar."

"Menurutmu gimana Zal?" tanya Adnan.

"Kalau aku.. hemm.. gak ada yang gak mungkin sih. Kehadiran makhluk astral, bisa saja benar. Mengingat di sini kan.. ya begitulah. Halusinasi juga bisa jadi iya karena saat aku nungguin kamu terlelap, aku sama sekali gak dengar apa-apa dan gak lihat apa-apa."

"Jadi, cuma aku nih yang bisa dengar?"

"Kayaknya gitu dan kalau hanya satu orang yang merasakan, kebenarannya masih belum bisa divalidasi Nan. Maaf nih bukannya gak percaya tapi.."

"Iya-iya aku paham. Sejujurnya pun aku berharap kalau apa yang aku dengar itu, tidak pernah ada tapi, setelah mendengar ucapan mbah Nanik tentang kita yang sedang ramai menjadi bahan perbincangan para warga, kok aku, jadi gusar ya?"

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Gak tahu dan gak berani nebak Zal. Muncul rasa gelisah dan tidak bisa tenang. Apalagi mbah Nanik bilang kalau kepala desa sedang mempertimbangkan kita. Nah ini, mempertimbangkan apa maksudnya?"

"Halah begitu saja tidak tahu. Maksudnya itu, mereka hendak mengantar kita turun ke basecamp atau meminta kita balik sendiri. Di satu sisi, mereka khawatir kalau kita dilepas sendiri lagi. Di satu sisi yang lain, mereka udah pada tua. Sudah tidak kuat jika mengantar kita," jelas Galang.

Rizal dan Adnan terdiam untuk beberapa saat. Apa yang Galang ucapkan, masuk akal dan bisa diterima nalar. Namun entah kenapa, hati Adnan masih saja gusar. Di otaknya masih ada tanda tanya besar yang belum bisa terhapuskan oleh jawaban yang Galang lontarkan.

"Jangan membebani pikiran dengan hal-hal yang tidak perlu Nan!" pinta Galang.

"Galang benar, kita tidur saja dulu! besok dibahas lagi, sudah malam."

Dengan terpaksa, Adnan mengiyakannya.

"Iya Zal."

Adnan lantas merebahkan tubuhnya di ranjang seraya mengosongkan pikirannya agar dapat lekas terlelap.

...🍁 Bersambung... 🍁...

Terpopuler

Comments

IG: _anipri

IG: _anipri

sellau berpikir positif dia. Galang di paling berpikir positif, wkwkwk

2023-01-24

0

IG: _anipri

IG: _anipri

dia nggak tahu masa?

2023-01-24

0

IG: _anipri

IG: _anipri

iya, bener. tapi kalau lagi musim ujan ya agak susah nyari kayu bakar yang masih kering

2023-01-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!