"Mama mana, Pa?" tanyaku kepada Papa Surya yang sedang duduk bersantai di teras rumah, menemani Keinan bermain.
"Ke tukang sayur di gang depan. Kenapa emangnya, Shof?" jawab Papa Surya sekaligus bertanya balik kepadaku.
"Yah, udah berangkat, ya. Mau nitip jagung manis. Pengen buat bakwan jagung," jawabku sedikit mengesah.
"Ya udah, susul aja sana. Mumpung Mama kamu juga masih disana," kata Papa Surya.
"Iya deh. Aku susulin Mama dulu ya, Pa. Titip Keinan sebentar," kataku kemudian.
"Oke. Tenang aja, Kei biar Papa yang jagain," balas Papa Surya.
"Iya, Pa. Makasih. Kakak, kakak sama Opa dulu, ya. Bunda mau nyusulin Oma ke tukang sayur sebentar," pamitku pada Keinan.
"Iya, Bun. Hati-hati, ya," balas Keinan.
"Siap, kakak. Assalamu'alaikum," ucapku.
"Wa'alaikumsalam," Papa Surya dan Keinan menjawab bersamaan.
Aku kemudian bergegas untuk segera menyusul Mama Wulan yang sedang berbelanja di tukang sayur yang biasa mangkal di gang depan komplek perumahan kami tersebut.
Tidak lama kemudian aku pun sudah hampir sampai di tempat tukang sayur tersebut biasa mangkal. Dari kejauhan aku sudah bisa melihat gerobak tukang sayur yang sedang dikelilingi oleh beberapa ibu-ibu yang ingin berbelanja sayur, termasuk Mama Wulan juga.
Tetapi tiba-tiba saja langkahku terhenti tidak jauh dari kerumunan ibu-ibu pada gerobak tukang sayur tersebut begitu aku mendengar perkataan salah seorang ibu-ibu.
"Bu Wulan, sampai sekarang putranya masih belum ketemu juga ya, Bu?" tanya seorang ibu-ibu berkerudung biru.
"Sayangnya belum, Bu," jawab Mama Wulan.
Aku menghentikan langkahku dan sengaja berdiri di samping tiang listrik, sedikit menyembunyikan tubuhku dari kerumunan ibu-ibu yang sedang membelakangi-ku itu.
"Duh, yang sabar ya, Bu Wulan," kaya ibu-ibu berkerudung biru tadi ikut prihatin.
"Iya, Bu. Makasih," balas Mama Wulan.
"Tapi Bu Wulan, maaf-maaf nih sebelumnya. Kalau nggak salah mantunya Bu Wulan itu dulunya janda anak satu kan ya?" tanya ibu-ibu yang memakai daster batik.
Deg.
Aku sedikit tersentak mendengar pertanyaan ibu-ibu yang memakai daster batik tersebut. Aku juga dapat melihat Mama Wulan pun juga sempat terkejut sesaat, meski dengan cepat Mama dapat kembali menguasai dirinya sendiri.
"Iya, Bu. Tapi kenapa emangnya kalau seorang janda? Yang penting kan sikap dan kepribadiannya. Lagian juga, kalau boleh milih, siapa sih Bu yang mau untuk jadi seorang janda? Pasti nggak ada yang mau kan, Bu?" jawab Mama Wulan sekaligus menanyakan pendapat dari ibu-ibu tersebut.
"Iya juga sih, Bu Wulan. Tapi kan biasanya seseorang yang udah jadi janda gitu sering membawa nasib buruk loh Bu untuk orang-orang di sekitarnya," ucap ibu-ibu berdaster bunga-bunga.
"Nah iya, maksud saya tadi juga seperti itu, Bu Wulan. Jangan-jangan kejadian kecelakaan yang menimpa Awan itu karena nasib buruk dan kesialan yang dibawa oleh mantunya Bu Wulan yang seorang janda itu lagi, Bu?" imbuh ibu-ibu berdaster batik tadi.
Aku menutup mulutku karena terkejut mendengar perkataan kedua ibu-ibu berdaster tersebut.
'Yaa Allah, astaghfirullah hal adziim,' lirihku dalam hati.
"Bu, di dunia ini tuh nggak ada yang namanya nasib buruk dan kesialan karena seseorang. Semua yang terjadi pada kita itu udah digariskan oleh Allah Subhanahu wata'ala sejak awal. Bahkan sejak kita masih berada dalam kandungan. Emangnya ibu-ibu nggak percaya ya dengan takdir Tuhan? Semua jalan hidup kita itu udah tertulis dalam kitab Lauhul Mahfudz, Bu. Jadi nggak ada yang namanya nasib buruk dan kesialan karena seseorang. Apa yang terjadi, apa yang kita alami, itu semua emang udah jadi garis takdir dari Allah Subhanahu wata'ala untuk kita," tolak Mama Wulan dengan nada tegas.
Kedua mataku seketika langsung berkaca-kaca mendengar semua perkataan Mama Wulan. Ada rasa haru yang memenuhi hatiku. Secara tidak langsung Mama Wulan sudah membela diriku di depan ibu-ibu tersebut. Aku merasa bersyukur dan sangat bahagia.
"Tapi kan, Bu, yang seperti itu memang ada loh, Bu. Udah banyak juga kok buktinya," kata ibu-ibu berdaster bunga-bunga masih sedikit ngeyel.
"Udah ya, Bu. Cukup. Saya yang paling tau gimana menantu saya itu. Dan masalah kejadian kecelakaan yang dialami oleh Awan, itu semua adalah takdir dari Allah Subhanahu wata'ala. Bukan karena nasib buruk dan kesialan yang dibawa oleh menantu saya itu," tegas Mama Wulan lagi.
Aku menghapus air mata yang ternyata sudah mengalir di kedua pipiku. Aku kemudian membalikkan tubuhku dan berjalan meninggalkan tiang listrik tempat aku berdiri tadi untuk kembali menuju pulang ke rumah.
Aku urungkan niatku untuk menyusul Mama Wulan. Rasanya aku tidak akan sanggup kalau mendengar lebih banyak lagi pembicaraan ibu-ibu yang terkesan memojokkan diriku itu. Meskipun Mama Wulan secara tegas membelaku, tetapi aku tidak ingin menjadi kepikiran yang akhirnya akan mempengaruhi kondisi janin yang sedang aku kandung ini. Itu kenapa aku memilih untuk kembali ke rumah saja
🍁🍁🍁
"Assalamu'alaikum," salamku begitu memasuki halaman rumah.
"Wa'alaikumsalam," jawab Papa Surya dan Keinan yang masih berada di teras rumah.
"Loh, Shofi? Kok udah balik? Nggak jadi nyusulin Mama kamu ke tukang sayur di depan?" tanya Papa Surya heran.
"Udah kok, Pa. Tapi tiba-tiba aku udah nggak kepingin bakwan jagung lagi. Jadi ya nggak jadi deh," jawabku.
"Aku masuk ke dalam dulu ya, Pa. Haus, pengen minum dulu," pamitku kemudian kepada Papa Surya.
"Oh, iya nggak pa-pa. Kamu masuk dulu aja," balas Papa Surya.
"Kakak, Bunda masuk ke dalam dulu, ya," pamitku pada Keinan juga.
"Oke, Bunda," balas Keinan.
Aku kemudian melangkah masuk ke dalam rumah.
🍁🍁🍁
"Assalamu'alaikum," salam Mama Wulan begitu sampai di rumah kembali.
"Wa'alaikumsalam," jawab Papa Surya dan Keinan bersamaan.
"Ini kenapa lagi? Pulang dari belanja di tukang sayur kok mukanya kecut gitu?" tanya Papa Surya ketika melihat wajah Mama Wulan yang nampak kesal.
"Mama sebel banget, Pa. Masak ibu-ibu di tukang sayur tadi pada ngomongin yang enggak-enggak," jawab Mama Wulan, kesal.
"Emangnya pada ngomongin apa sih?" tanya Papa Surya penasaran.
Mama Wulan nampak mengerucutkan bibirnya seraya mengendik ke arah Keinan yang sedang asyik bermain di lantai. Papa Surya mengerti maksud dari istrinya itu. Dia tidak bisa bercerita karena ada Keinan disana.
"Oh. Ya udah deh, nanti aja kalau gitu," kata Papa Surya.
"Ini nih yang buat Mama nggak suka belanja di tukang sayur. Ibu-ibu yang belanja di tukang sayur itu sukanya pada ghibah dan ngomongin orang yang enggak-enggak," keluh Mama Wulan seraya mendudukkan dirinya di kursi di sebelah Papa Surya.
"Ya udah, besok-besok Mama nggak usah belanja di tukang sayur lagi. Biar Papa atau Bik Sani aja yang langsung belanja ke pasar," kata Papa Surya memberikan solusi.
Mama Wulan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Raut kesal masih terlihat di wajah Mama Wulan saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Uthie
Senang nya ma Wulan gak mudah terprovokasi dengan mulut lemes ibu-ibu yg sok suci dan gak punya dosa itu 🤨😡😡
2023-05-17
0
¢ᖱ'D⃤ ̐🔵⏤͟͟͞R𝔞shqι🐬𝐀⃝🥀
seperti Bisa. Mulu Julid Netizen sungguh menyakitkan
2023-04-18
0
APRILIA
jahat sekali punya pemikiran seperti itu, sukur mama Wulan memiliki pemikiran yg bijak.
2023-02-14
4