Sore ini adalah jadwalku untuk memeriksakan kehamilanku ke dokter kandungan. Aku ditemani oleh Kak Anjani dan Bang Langit. Sementara Keinan, Bintang, dan Inara di rumah bersama dengan Papa Surya dan Mama Wulan.
"Bagaimana Dok keadaan kandungan adik saya?" tanya Kak Jani setelah sang dokter wanita berhijab itu selesai melakukan pemeriksaan terhadap aku dan kandunganku.
Kak Jani membantuku untuk duduk kembali di kursi di sebelahnya. Bang Langit tidak ikut masuk, dia memilih untuk menunggu di luar ruangan pemeriksaan saja.
"Syukur alhamdulillah kondisi janinnya bagus dan perkembangannya juga baik. Perkembangan janin sudah sesuai untuk janin usia enam bulan," jawab Dokter Cahya, dokter kandungan yang menangani kehamilanku dari awal.
"Alhamdulillaah," ucap Kak Jani bersyukur.
"Vitaminnya nanti jangan lupa diminum ya, Bu Shofi. Makan makanan yang bergizi. Istirahat yang cukup. Jangan terlalu capek juga. Dan yang paling penting, jangan terlalu banyak pikiran. Biar nggak mempengaruhi perkembangan janin ibu," pesan Dokter Cahya kepadaku.
"Baik, Dok," jawabku mengiyakan.
"Kalau begitu kami permisi dulu ya, Dok," pamit Kak Jani seraya berdiri lalu membantuku untuk ikut berdiri juga.
"Iya, Bu. Silahkan," balas Dokter Cahya yang juga ikut berdiri dari duduknya.
"Terima kasih banyak ya, Dok," ucap Kak Jani seraya menyalami Dokter Cahya.
"Sama-sama, Bu."
"Terima kasih banyak ya, Dokter Cahya," ucapku yang juga ikut menyalami tangan kanan Dokter Cahya.
"Sama-sama, Bu Shofi. Itu sudah menjadi kewajiban saya," balas Dokter Cahya dengan senyum ramahnya.
"Kami permisi dulu, Dok. Assalamu'alaikum," pamitku dan Kak Jani.
"Silahkan, Bu. Wa'alaikumsalam," jawab Dokter Cahya.
Aku dan Kak Jani kemudian berjalan keluar dari ruangan Dokter Cahya tersebut.
"Gimana, Ma?" tanya Bang Langit begitu kami berdua keluar dari ruangan Dokter Cahya dan menghampirinya.
"Dokter bilang kondisi Shofi dan bayinya sehat, Pa," jawab Kak Jani.
"Syukurlah kalau gitu," ucap Bang Langit.
"Kita ke bagian farmasi untuk mengambil obat dan vitamin Shofi dulu yuk, Pa," ajak Kak Jani.
"Mama sama Shofi duluan aja ke bagian farmasi. Nanti Papa nyusul. Papa mau ke toilet sebentar," kata Bang Langit.
"Oh, oke deh kalau gitu. Kita tunggu Papa di bagian farmasi, ya," Kak Jani pun mengiyakan.
"Oke, Ma."
Aku dan Kak Jani kemudian berjalan menuju ke bagian farmasi untuk antri mengambil obat, sementara Bang Langit pergi ke toilet yang ada di rumah sakit tersebut.
Aku dan Kak Jani duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan. Menunggu namaku dipanggil oleh petugas bagian farmasi untuk mengambil obatku.
Tanpa kami duga sebelumnya, tiba-tiba saja kami bertemu dengan Kak Anggun dan Chika, kakak perempuan dan adik perempuan dari Bayu, mantan suami pertamaku. Mereka berdua menghentikan langkah mereka begitu melihat aku dan Kak Jani.
"Kak Shofi," panggil Chika dengan tersenyum senang.
Ya, hubunganku dengan Chika memang lumayan baik. Tidak seperti hubunganku dengan Kak Anggun, yang selalu bersikap ketus kepadaku sejak pertama kali aku datang ke rumah mereka dulu.
"Chika? Kak Anggun?" ucapku kaget dan tidak menyangka kalau akan bertemu dengan mereka disini.
Aku dan Kak Jani kemudian berdiri dari duduk kami.
"Gimana kabar Kak Shofi?" tanya Chika.
"Alhamdulillaah, kabar kakak baik kok. Kamu dan yang lainnya gimana kabarnya, Dek?" tanyaku juga.
"Kabar kita juga baik kok, Kak," jawab Chika.
"Oh, ada yang lagi periksa kandungan nih kayaknya," kata Kak Anggun sinis, seperti biasanya.
"Iya, Kak. Gimana kabar Kak Anggun?" tanyaku sekedar menjaga kesopanan.
"Kasihan banget sih, kamu. Lagi hamil gini tapi malah suaminya hilang dan sampai sekarang masih belum ditemuin juga. Pasti suami baru kamu itu kena imbas dari nasib sial yang kamu punya itu. Ck-ck-ck, kasihan," cibir Kak Anggun.
Aku merasakan hatiku seketika memanas karena emosi. Tidak berbeda jauh dengan Kak Jani yang berdiri di sebelahku saat ini.
"Hei Mbak, kalau punya mulut itu dijaga dong. Shofi nyapa baik-baik loh. Bukannya dijawab tapi malah ucapan anda seperti itu. Mending nggak usah ngomong aja sekalian daripada omongannya nyakitin hati orang kayak gitu," ucap Kak Jani kesal.
"Eh, apa-apaan nih? Nggak usah ikut campur urusan orang lain, ya," ketus Kak Anggun, marah.
"Kak," lirihku seraya memegangi lengan Kak Jani, berusaha meredakan emosi kakak iparku tersebut.
Kak Jani menoleh ke arahku. Aku kemudian menggelengkan kepalaku pelan, tidak ingin memperpanjang urusan ini.
"Enggak Shofi. Dia udah keterlaluan. Omongannya juga nggak enak banget. Punya hak apa dia berbicara seperti itu tentang kamu," tolak Kak Jani berapi-api.
"Udah Kak, biarin aja. Nggak usah ditanggepin," kataku masih mencoba meredakan emosi Kak Jani.
"Eh, makin kurang ajar ya kamu, Shof. Ini juga, ngapain sih ikut campur urusan orang lain," seru Kak Anggun marah seraya menuding ke arahku dan Kak Jani bergantian.
"Kak Anggun jangan gitu dong. Kita lagi di rumah sakit loh ini. Jangan cari gara-gara deh, Kak," kata Chika juga yang berusaha menghentikan amarah kakaknya itu.
"Kamu anak kecil tau apa sih? Diem aja deh," ketus Kak Anggun tidak terima.
"Hmh, ternyata seperti ini kelakuan mantan ipar kamu, Shofi," cibir Kak Jani dengan santainya.
Ya, setelah memahami situasi yang terjadi juga menilai sikap dan perilaku Kak Anggun juga Chika, Kak Jani akhirnya bisa menentukan sikap seperti apa yang harus dia ambil.
Aku melepaskan lengan Kak Jani yang tadi aku pegang. Sepertinya aku tidak perlu lagi mengkhawatirkan apa yang akan diperbuat oleh kakak iparku yang seorang sarjana psikologi ini. Dia pasti sudah memikirkan dengan matang sikap yang akan dia ambil setelah ini.
"Maksud kamu apa?" ucap Kak Anggun marah, tidak terima mendengar perkataan Kak Jani tadi.
"Enggak ada maksud apa-apa kok. Saya cuma merasa kasihan aja, dulu Shofi pernah menjadi bagian dari keluarga kalian. Shofi pasti merasa sangat tertekan saat itu, memiliki seorang kakak ipar seperti anda," ucap Kak Jani yang sudah tidak emosi lagi.
"Kamu,,," ucap Kak Anggun yang masih dengan amarahnya yang berkobar-kobar.
"Tapi saya juga ingin berterima kasih sama kalian. Terima kasih karena sudah melepaskan Shofi sebagai bagian dari keluarga kalian. Hingga akhirnya keluarga kami bisa memiliki seorang menantu yang baik dan sopan seperti Shofi ini. Keluarga kami merasa sangat beruntung karena mendapatkan berlian seperti Shofi dan juga Keinan," lanjut Kak Jani lagi.
Diam-diam aku mengulum senyum tipis. Kak Jani memang paling tau bagaimana cara menghadapi seseorang berdasarkan sikap dan perilakunya.
Dapat aku lihat juga Kak Anggun yang mengepalkan kedua tangannya erat. Amarah sangat terlihat jelas dari raut wajahnya. Sementara Chika hanya bisa terdiam tanpa bisa membalas.
"Maaf ya, sayang, agak lama," kata Bang Langit yang tiba-tiba sudah menghampiri kami berempat.
Aku, Kak Jani, Kak Anggun, dan Chika pun kompak menoleh ke arah Bang Langit yang baru saja datang.
"Iya, Pa. Nggak pa-pa kok," balas Kak Jani seraya tersenyum lembut kepada suaminya itu.
"Tadi Inara nelpon pake HP Oma-nya, minta dibeliin jus buah sama donat katanya," kata Bang Langit.
"Ya udah, nanti kita mampir beliin aja, Pa. Sekalian buat Bintang sama Keinan juga," balas Kak Jani.
"Iya, Ma. Eh, ketemu temen, ya, kalian?" tanya Bang Langit begitu menyadari keberadaan Kak Anggun dan Chika di hadapan kami.
"Oh, enggak kok, Pa. Ini, mantan kakak ipar sama adik iparnya Shofi dulu. Kita cuma nggak sengaja aja ketemu disini," jawab Kak Jani.
"Oh, gitu. Obat kamu udah belum, Shof?" tanya Bang Langit beralih kepadaku.
"Belum, Bang. Masih nunggu dipanggil," jawabku.
"Ibu Shofiyyah Az-Zahra."
Terdengar panggilan dari pengeras suara.
"Nah, itu udah dipanggil. Kamu tunggu disini sama kakak kamu aja. Biar Abang yang ambilin," kata Bang Langit.
"Eh, iya Bang. Makasih," ucapku.
"Papa ambil obatnya Shofi dulu sebentar ya, Ma," pamit Bang Langit kepada Kak Jani.
"Oke, Pa," balas Kak Jani.
Bang Langit kemudian bergegas menuju ke bagian pengambilan obat.
"See, keluarga kami semua sangat menyayangi Shofi dan Keinan. Jadi, sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak ya. Karena kalian semua telah melepaskan Shofi sehingga keluarga kami bisa mendapatkan menantu sebaik Shofi dan cucu selucu Keinan," ucap Kak Jani lagi dengan tersenyum.
Kak Anggun terlihat semakin marah saja.
"Ayo Chik, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja dari tadi cuma dengerin orang pamer," ketus Kak Anggun yang kemudian berbalik dan menarik tangan Chika, mengajaknya pergi.
"Duluan ya, Kak," seru Chika seraya menoleh ke belakang.
"Iya, Chik. Hati-hati," balasku sedikit berteriak karena Chika dan Kak Anggun sudah sedikit jauh.
Kemudian aku mendengar suara Kak Jani yang tertawa cekikikan merasa puas.
"Kak Jani, isshhh. Kebiasaan deh," gerutuku yang juga ikut tertawa kecil.
"Menghadapi orang kayak gitu emang harus dengan cara seperti itu, Shof. Skak mat aja udah. Nggak bisa bales lagi kan dia," kata Kak Jani.
Benar juga. Dalam hati aku membenarkan ucapan kakak iparku itu. Aku juga semakin salut dengan ketepatan Kak Jani dalam menghadapi setiap orang yang mencari masalah dengan kami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
¢ᖱ'D⃤ ̐🔵⏤͟͟͞R𝔞shqι🐬𝐀⃝🥀
Bener kak Jani. Lawan dengan cara elegan🤣🤣
2023-04-18
0
❀_Ayu_❀
Good job Kak Jani....👏.
Langsung gaskeun orang-orang kayak gitu....😏. Mulutnya perlu disekolahin lg biar bisa ngomong yg baik & benar... 😏.
2023-01-30
7
CebReT SeMeDi
wkwkw Skak mat buat anggun, namanya g sesuai Ama kelakuannya, emang harus digituin sih, dibalesnya jangan pake emosi juga. mesti pake trik lgsg deh diem klakep🤣🤣
2023-01-16
3