Tok. Tok. Tok.
Terdengar pintu ruanganku diketuk dari luar.
"Masuk," kataku setengah berteriak dari dalam ruanganku.
Ceklek.
Pintu terbuka dari luar. Ternyata itu adalah Mbak Maya.
"Bu Bos," sapa Mbak Maya terlihat sedikit panik.
"Mbak Maya. Ada apa, Mbak? Kok kelihatan panik gitu?" tanyaku dengan mengangkat wajahku.
Dengan tergesa-gesa Mbak Maya berjalan menghampiriku kemudian berdiri di depan mejaku.
"Mas Dion telepon dan ngabarin kalau Rafka panasnya tambah tinggi, Shof. Anaknya juga rewel nangis terus," jawab Mbak Maya memburu.
Aku langsung berdiri karena terkejut mendengar perkataan Mbak Maya tadi. Mas Dion adalah suami Mbak Maya. Sementara Rafka adalah putra mereka yang baru berumur sembilan bulan.
"Astaghfirullah hal adziim. Yang kemarin itu belum sembuh ya Mbak demamnya Rafka?" tanyaku.
"Masih naik turun. Kadang turun, terus nanti naik lagi demam lagi. Mbak ijin pulang sekarang, ya? Mau bawa Rafka ke dokter," jawab Mbak Maya sekaligus meminta ijin.
"Iya-iya, Mbak. Mbak Maya pulang aja sekarang nggak pa-pa," balasku.
"Tapi nanti yang jagain kasir?" tanya Mbak Maya teringat dengan tanggung jawabnya.
"Biar aku yang jagain, Mbak. Nggak pa-pa kok," jawabku meyakinkan Mbak Maya.
"Ya sudah kalau gitu. Makasih ya, Shof. Mbak pamit dulu," ucap Mbak Maya.
"Tunggu sebentar Mbak," sergahku menghentikan Mbak Maya yang hendak membalikkan badannya.
"Kenapa, Shof?" tanya Mbak Maya setelah kembali membalikkan badannya ke arahku.
Aku mengambil dompetku kemudian mengeluarkan lima lembar uang pecahan seratusan dari dalamnya. Aku pun kemudian melangkah mendekati Mbak Maya dan langsung menggenggamkan uang tersebut ke tangan kanan Mbak Maya.
"Shofi?" tanya Mbak Maya terkejut dan bingung.
"Buat bawa Rafka ke dokter," ucapku dengan tersenyum.
"Tapi nggak perlu seperti ini juga. Mbak ada kok," tolak Mbak Maya merasa tidak enak hati.
"Nggak pa-pa, Mbak. Rezekinya Rafka. Tolong jangan ditolak," aku berkata seraya melepaskan tanganku kemudian menepuk pelan lengan Mbak Maya.
"Terima kasih banyak, Bu Bos," ucap Mbak Maya dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.
"Sama-sama, Mbak. Udah sana, Mbak Maya buruan pulang terus bawa Rafka ke dokter. Semoga Rafka segera sembuh ya, Mbak," kataku seraya mendo'akan kesembuhan untuk Rafka.
"Iya, Shof. Aamiin. Sekali lagi terima kasih banyak ya, Shof. Mbak langsung pulang. Assalamu'alaikum."
"Iya, Mbak, sama-sama. Wa'alaikumsalam. Hati-hati ya, Mbak."
Mbak Maya menganggukkan kepalanya kemudian berbalik dan melangkah pergi meninggalkan ruanganku ini.
Aku berbalik, melangkah kembali ke mejaku kemudian mematikan laptopku. Setelah itu aku kemudian bergegas keluar dari ruanganku dan melangkah menuju ke meja kasir. Menggantikan tugas Mbak Maya hari ini sebagai kasir.
🍁🍁🍁
Rafka, anak Mbak Maya, terpaksa harus opname di rumah sakit. Dokter mendiagnosa Rafka sakit tipes. Jadi Mbak Maya juga ijin tidak masuk kerja dulu. Dan untuk sementara waktu ini akulah yang menggantikan posisi Mbak Maya dan bertugas sebagai kasir di kafe ini.
Seperti biasa, setiap jam makan siang pengunjung di kafe ini lumayan ramai. Keinan sudah pulang sekolah dan saat ini sedang bermain di dalam ruanganku. Biasanya nanti kalau dia sudah bosan, dia akan keluar sendiri lalu bergabung dengan Dedi di balik meja barista. Atau kalau tidak maka Keinan akan pergi ke dapur menghampiri chef Yudha.
Keinan sangat suka menemani Dedi dan chef Yudha, sekaligus memperhatikan bagaimana keduanya bekerja dan melakukan keahlian masing-masing. Layaknya anak kecil seusianya, rasa ingin tahu Keinan sangat besar.
Keinan sangat suka memperhatikan bagaimana Dedi meracik minuman pesanan para pelanggan. Keinan juga sangat suka memperhatikan bagaimana chef Yudha memasak berbagai macam jenis makanan pesanan para pelanggan. Tetapi tentu saja Keinan tetap memperhatikan keamanannya ketika dia berada di dapur bersama dengan chef Yudha.
Aku tersenyum senang. Dengan keadaan yang seperti ini, maka aku bisa menggantikan tugas Mbak Maya sebagai kasir dengan tenang. Keinan aman terkendali.
Tetapi tiba-tiba saja, perhatianku terarah ke pintu masuk kafe yang baru saja dibuka oleh Adit, yang menyambut pelanggan yang datang seperti biasanya. Dan seketika aku membulatkan kedua mataku ketika melihat seseorang yang baru saja masuk ke dalam kafe ini. Itu adalah Bayu.
Aku bisa melihat Bayu yang langsung tersenyum ke arahku. Aku sama sekali tidak membalas senyuman Bayu tersebut. Entahlah, hatiku rasanya sudah mati rasa untuk laki-laki yang pernah menjadi suamiku itu.
Meskipun Bayu adalah ayah kandung dari Keinan, tetapi ketika aku teringat dengan penderitaan yang aku dan Keinan alami setelah Bayu meninggalkan kami, sebelum Mas Awan datang dan membawa kebahagiaan untuk aku dan Keinan, maka rasa sakit hatiku itu seakan kembali aku rasakan. Dan kurasa itulah yang menyebabkan hatiku terasa mati rasa terhadap Bayu saat ini.
Aku semakin membulatkan kedua mataku ketika aku melihat Bayu berjalan menghampiriku di meja kasir ini. Apa lagi yang dia inginkan kali ini?
"Hai, Shofi. Gimana kabar kamu?" sapa Bayu dengan tersenyum seraya menanyakan kabarku.
"Seperti yang kamu lihat, aku baik," jawabku datar tanpa ekspresi.
Bayu nampak mengesah pelan. Mungkin dia menyayangkan sikap dinginku. Tapi itu bukan urusanku. Karena sungguh, aku tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan Bayu seperti ini.
"Oh iya, dimana Keinan? Gimana kabar Keinan?" tanya Bayu lagi.
"Keinan baik. Dia sedang beristirahat," jawabku datar dan seperlunya saja.
"Aku sudah mendengar kabar tentang Awan. Aku turut prihatin ya. Kamu yang sabar," ucap Bayu menyampaikan keprihatinannya.
"Terima kasih," balasku.
Rasanya aku benar-benar muak dan ingin mengusir Bayu saat ini juga. Tapi aku sadar kalau itu sesuatu yang tidak sopan. Aku pun hanya bisa berdo'a dalam hati semoga Bayu bisa segera pergi dari sini. Setidaknya dari hadapanku untuk saat ini.
"Kalau kamu perlu bantuan, apapun itu, aku selalu siap untuk ---"
"Maaf. Jika tidak ada hal yang lainnya, silahkan untuk duduk di meja yang masih kosong di kafe ini. Masih ada pelanggan yang harus saya layani," aku seketika langsung memotong perkataan Bayu begitu aku melihat ada dua orang pemuda yang berdiri di belakang Bayu, hendak membayar pesanan mereka.
Bayu menoleh ke belakang. Dilihatnya dua orang pemuda yang berdiri mengantri di belakangnya. Raut kecewa sangat nampak di wajah Bayu saat ini.
"Ya sudah. Aku duduk dulu kalau gitu," ucap Bayu pada akhirnya.
"Silahkan," balasku.
Bayu kemudian melangkah meninggalkan meja kasir dengan berat hati. Aku membuang nafas lega. Syukurlah Allah Subhanahu wata'ala mendengar do'aku sehingga Bayu akhirnya bisa segera pergi dari hadapanku. Aku pun kemudian melayani dua orang pemuda yang hendak membayar tagihan dari pesanan yang sudah mereka nikmati tadi.
Sekilas aku lihat kalau Bayu sudah duduk di kursi di dekat jendela kaca. Dan ternyata sedari tadi Bayu tidak mengalihkan pandangannya sama sekali dari aku. Dia terus saja menatap lekat ke arahku.
Terus menerus diperhatikan seperti itu oleh Bayu membuat aku merasa risih sendiri. Ingin pergi juga tidak mungkin. Aku memiliki tanggung jawab untuk menggantikan posisi Mbak Maya sebagai kasir selama Mbak Maya tidak bisa masuk kerja ini.
Dan lagi, jika aku langsung pergi saat ini juga, aku tidak ingin Bayu merasa kegeeran karena dia mengira aku pergi karena salah tingkah dengan keberadaan dirinya. Aku justru ingin membuktikan kepada Bayu bahwa kehadirannya tidak berarti apa-apa untukku. Kedatangan Bayu yang sangat mengejutkan ini tidak mempengaruhi diriku.
Karena itu sebisa mungkin aku bertahan dan bersikap sebiasa mungkin. Meski risih karena terus menerus diperhatikan secara intens oleh Bayu. Tapi aku berusaha untuk mengabaikannya. Seraya berdo'a di dalam hati, semoga Bayu bisa segera pergi dari sini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
¢ᖱ'D⃤ ̐🔵⏤͟͟͞R𝔞shqι🐬𝐀⃝🥀
Ngga Awan, Ngga Shofi bener2 Dermawan. Karyawan nya dianggap seperti Saudara semua
2023-04-18
0
🍌 ᷢ ͩ𝐀𝐍𝐈𝐍 🌾
Bayu belum move on ya dari sofie
2023-02-13
2
🍭ͪ ͩ🏡 ⃝⃯᷵ᎢᶬKristin⒋ⷨ͢⚤
masa lalu biarlah masa lalu,, yang baru sudah menunggu
2023-01-30
1