Malam ini lagi-lagi aku terbangun di malam hari. Aku tengok jam yang tergantung di dinding kamarku ini. Sudah jam satu dini hari. Tidak setiap malam memang aku mengalami hal seperti ini, terbangun di tengah malam karena merasa lapar. Hanya kadang-kadang saja.
Aku usap perutku penuh sayang.
"Adek lapar, ya? Pengen makan nasi goreng lagi? Yuk, Bunda buatin, ya," lirihku seakan mengajak bicara bayi yang sedang berada di dalam perutku tersebut.
Entah kenapa setiap kali terbangun di malam hari dan merasa lapar seperti ini, yang aku inginkan hanyalah memakan nasi goreng saja dan bukan makanan yang lainnya.
Ah, aku jadi rindu nasi goreng spesial buatan Mas Awan. Biasanya setiap kali aku terbangun di malam hari seperti ini pasti Mas Awan yang akan memasakkan nasi goreng untukku. Nasi goreng spesial dengan bumbu cinta katanya. Dan aku pasti akan langsung menghabiskan nasi goreng yang dibuat Mas Awan itu tanpa tersisa.
Kedua mataku seketika langsung berkaca-kaca. Buliran bening itu kembali terjun bebas tanpa bisa aku cegah. Aku sangat merindukan suamiku itu. Satu bulan sudah berlalu semenjak terjadinya kecelakaan itu. Dan sampai sekarang masih belum ada kabar tentang keberadaan Mas Awan.
Tetapi di dalam hatiku aku masih sangat yakin kalau suamiku itu baik-baik saja, meski entah dimana keberadaannya saat ini. Dan satu do'aku yang selalu aku panjatkan kepada Allah Subhanahu wata'ala, semoga nanti ketika aku melahirkan aku bisa ditemani oleh Mas Awan. Dan Mas Awan-lah yang akan mengumandangkan adzan pertama untuk buah hati kami nanti.
Aku mengusap air mata yang mengalir di pipiku menggunakan tangan kananku. Menarik nafas dalam, berusaha menenangkan kembali diriku sendiri. Setelah memastikan Keinan masih terlelap dalam tidurnya, aku pun kemudian bergegas untuk turun dari tempat tidur.
Aku menuruni anak tangga kemudian menuju ke arah dapur. Mempersiapkan semua bahan dan bumbu yang diperlukan, setelah itu aku pun kemudian mulai memasak nasi goreng yang aku inginkan tersebut.
Setelah nasi goreng buatanku matang, aku kemudian menuangkannya ke atas piring. Membawanya ke meja makan, aku pun kemudian mulai memakan nasi goreng buatanku itu.
Tetapi baru saja satu suapan yang aku makan, tiba-tiba perutku langsung terasa mual. Aku langsung bangun dari dudukku kemudian berlari ke arah wastafel. Aku memuntahkan kembali isi perutku di wastafel.
Beberapa saat kemudian, setelah perutku terasa lega, muntahku pun berhenti. Aku segera menyiram muntahanku lalu berkumur sekaligus mencuci mulutku menggunakan air dari kran wastafel.
Aku usap wajahku. Rasanya lemas sekali kalau habis muntah seperti ini. Aku menopang tubuhku dengan berpegangan pada pinggiran wastafel. Air mataku kembali mengalir lagi. Kali ini aku menangis sesenggukan, meski dengan menahan suaraku, tidak ingin mengganggu yang lainnya yang sedang beristirahat.
Selalu saja seperti ini. Rasanya lapar, pengen banget makan nasi goreng. Tapi begitu aku makan nasi goreng buatanku sendiri pasti langsung aku muntahin lagi.
"Adek kenapa nggak mau makan nasi goreng buatan Bunda? Nggak seenak nasi goreng buatan Papa, ya?" tanyaku seraya mengusap lembut perutku.
"Adek kangen ya sama Papa? Adek kangen nasi goreng spesial buatan Papa, ya?"
Dan aku justru semakin sesenggukan karena mendengar kata-kataku sendiri.
"Bunda juga kangen banget sama Papa, Dek. Kangen nasi goreng spesial buatan Papa juga, hiks hiks. Kita berdo'a sama-sama ya, Dek. Semoga dimanapun Papa berada, Allah Subhanahu wata'ala selalu melindungi Papa. Dan semoga Papa bisa segera kembali dan berkumpul dengan kita semua lagi. Aamiin Yaa robbal 'aalamiin, hiks hiks," kataku di sela-sela isak tangisku, masih dengan mengusap-usap lembut perutku.
Tiba-tiba saja,
"Shofi."
Aku berbalik begitu mendengar suara Mama Wulan memanggilku.
"Mama," lirihku.
Aku melihat Mama Wulan nampak berjalan tergesa-gesa menghampiriku.
"Kamu kenapa, Shof?" tanya Mama dengan memegangi pundakku.
"Biasa, Ma. Habis muntah," jawabku masih sedikit lemas.
"Terus kenapa ini nangis?" tanya Mama lagi seraya menghapus air mata di pipiku.
Aku tak kuasa untuk menjawab pertanyaan dari Mama itu. Mama kemudian memutar tubuhnya dan melihat ke arah meja makan.
"Kamu kebangun karena lapar lagi? Pengen makan nasi goreng lagi?" tanya Mama, yang juga sudah hafal dengan kebiasaanku itu.
"Iya, Ma," jawabku.
"Terus kenapa dimuntahin lagi? Karena bukan Awan yang masak nasi gorengnya?" tanya Mama lagi, menebak.
Aku kembali menangis begitu mendengar Mama menyebut nama Mas Awan. Mama Wulan kemudian langsung memelukku. Ditepuk-tepuknya punggungku pelan, berusaha meredakan tangisanku.
Beberapa saat kemudian, setelah tangisanku sedikit mereda, Mama kemudian melepaskan pelukannya.
"Udah, jangan nangis lagi. Kamu duduk dulu. Biar Mama yang masakin nasi goreng buat calon cucunya Mama ini," kata Mama dengan mengusap lembut perutku.
"Nggak usah, Ma. Udah malem, Mama pasti capek," tolakku merasa sungkan.
"Nggak pa-pa. Nggak capek kok. Cuma masak nasi goreng aja. Udah, kamu duduk dulu aja. Yuk!"
Mama Wulan kemudian menuntunku untuk berjalan menghampiri meja makan kembali. Aku lalu didudukkan di kursi makan oleh Mama. Tangisanku sudah berhenti untuk saat ini.
"Tunggu sebentar, ya," kata Mama.
"Iya, Ma," balasku.
Mama Wulan kemudian berjalan menuju ke arah dapur dan mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. Dengan cekatan Mama Wulan kemudian memasak nasi goreng tersebut.
Beberapa saat kemudian, Mama Wulan sudah kembali menghampiriku dengan membawa sepiring nasi goreng buatannya tersebut. Aroma nasi goreng yang sedap langsung menyeruak masuk ke dalam hidungku.
"Nih, udah mateng. Ayo kamu cobain. Semoga kali ini nggak dimuntahin lagi dan calon cucunya Mama suka dengan nasi goreng buatan Oma-nya ini," kata Mama Wulan.
"Iya, Ma. Makasih ya, Ma," balasku.
Mama Wulan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Mama Wulan kemudian duduk di sebelahku. Aku pun kemudian mulai memakan nasi goreng buatan Mama tersebut.
Satu suap, dua suap. Dan ternyata benar kata Mama Wulan, aku sama sekali tidak merasa mual. Bahkan nasi goreng buatan Mama Wulan ini terasa sangat enak.
"Beneran nggak mual, Ma," kataku dengan wajah riang.
"Syukurlah kalau gitu. Ayo dihabisin," kata Mama Wulan dengan tersenyum.
Aku kemudian melanjutkan memakan nasi goreng buatan Mama Wulan itu dengan sangat lahap. Tidak butuh waktu lama, satu piring nasi goreng itupun sudah berpindah ke dalam perutku. Selesai makan aku kemudian meminum air putih.
"Alhamdulillaah. Makasih banyak ya, Ma," ucapku berterima kasih kepada Mama Wulan.
"Iya, sama-sama. Syukurlah kalau calon cucu Oma ini suka dengan nasi goreng buatan Oma-nya. Seenggaknya, selama Awan nggak ada, Mama bisa masakin nasi goreng buat kamu dan calon cucu Mama ini," kata Mama Wulan dengan kembali mengusap lembut perutku.
"Iya, Ma. Terima kasih banyak," ucapku dengan kedua mata yang sudah kembali berkaca-kaca.
Mama Wulan kembali memelukku.
"Kita harus tetep yakin dan selalu berdo'a. Awan pasti akan segera kembali dan berkumpul bersama dengan kita semua lagi," kata Mama Wulan.
"Iya, Ma," balasku yang sudah kembali meneteskan air mataku.
Aku merasakan pundakku basah. Aku tau Mama Wulan juga sudah meneteskan air matanya. Aku memeluk Mama Wulan semakin erat. Kami berdua berpelukan dan saling menguatkan satu sama lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Uthie
Masih ada misteri dan belum bisa ketebak dari cerita ini.... lanjut terus 👍👍💞
2023-05-17
0
¢ᖱ'D⃤ ̐🔵⏤͟͟͞R𝔞shqι🐬𝐀⃝🥀
Dede nya Pinter cari perhatian oma nya
2023-04-18
0
APRILIA
kasian sekali , terasa banget rindunya seorg bumil yg biasanya selalu manja ingin selalu ditemani suaminya😞
2023-02-14
5