"Kemana kita pergi?"
"Terserah, aku akan menemanimu!" Sahut Embun santai, Abra menatap Embun tak percaya. Tak ada rasa takut atau khawatir di mata Embun. Pergi berdua dengan Abra, tanpa Ilham atau Nur.
"Kamu tidak takut pergi denganku!"
"Kenapa takut? Secara agama kamu suamiku, meski ada batasan yang harus kamu jaga. Jadi tidak ada alasan aku takut pergi denganmu!" Sahut Embun, sembari terus bermain dengan ponselnya.
Abra tersenyum, sekilas ada pikiran buruk yang melintas dalam benaknya. Sejak pertunangan dua minggu yang lalu. Abra dan Embun resmi menikah secara agama. Abah Iman sendiri yang menjadi wali dan penghulu bagi putrinya. Sebuah Pernikahan yang terjadi, agar tidak ada dosa dan fitnah dalam hubungan Embun dan Abra. Pernikahan secara agama yang disaksikan oleh beberapa tetua desa. Tidak terkecuali, Ilham dan Nur yang hadir sebagai sahabat Embun.
"Kalau begitu kita pulang. Aku ingin kamu menjadi istri seutuhnya. Setidaknya aku ingin merasakan kebahagian sebagai seorang suami!" Ujar Abra, Embun mengangguk. Abra tertawa bahagia, seakan izin resmi Embun sudah didapatkannya.
"Tapi ingat, hubungan suami istri kita masih dengan batasan yang ada. Kamu belum berhak atas diriku sepenuhnya. Jika kamu melakukan kesalahan. Aku berhak mengakhiri pernikahan ini!" Sahut Embun dingin, Abra mengangguk. Kebahagian yang baru saja dirasakannya sirna. Embun seolah menjatuhkan Abra tanpa ampun ke atas tanah.
Akhirnya semua terdiam, Embun fokus pada ponselnya. Sedangkan Abra kembali fokus pada kemudi mobilnya. Sesuai dengan perjanjian awal, Abra membawa Embun menuju rumahnya. Rumah megah keluarga Abimata, tempat harta lebih berharga dibandingkan hubungan. Sejak mengenal Embun, Abra lebih senang berada di rumah atau kantor. Hiburan malam yang sering dia kunjungi. Kini seolah tak menarik, semua terasa membosankan. Bagi Abra waktu bersama Embun terlalu berharga.
"Kita sudah sampai!" Ujar Abra dingin penuh kekesalan. Sejak duduk di dalam mobil Abra, Embun terus fokus dengan ponselnya. Abra merasa kesal, ketika Embun tak peduli padanya. Embun yang polos, membuka pintu mobil. Tak terlintas dalam benaknya, jika Abra kesal padanya.
"Kamu sedang menghubungi siapa? Sejak tadi sibuk dengan ponsel. Kamu mengacuhkan aku, seolah aku supir yang tak berarti!"
"Maaf!" Sahut Embun, satu kata yang hambar ditelinga Abra. Sebab kata maaf yang tak keluar dari dalam hati Embun.
"Hmmm!" Sahut Abra tak kalah santai.
Abra turun dari mobil, diikuti oleh Embun. Keduanya berjalan beriringan, Abra berada di depan. Sedangkan Embun terus mengikuti langkah Abra. Embun layaknya seorang gadis kecil yang mengikuti ayahnya. Tak berapa lama, tepat di depan pintu. Abra menghentikan langkahnya, dia membalikkan badan menghadap Embun. Seketika tangan Abra terjulur, meminta ponsel milik Embun. Saat Abra melihat Embun terus larut dalam ponsel pintar miliknya.
"Ada apa?" Ujar Embun tak mengerti, Abra melirik ke arah ponsel Embun. Dengan isyarat mata, Abra meminta ponsel milik Embun.
"Kenapa?"
"Aku ingin waktumu hanya untukku. Berikan ponselmu, jika tidak ingin menambah kekesalanku!" Ujar Abra, Embun menelan ludahnya kasar.
"Berikan!" Ujar Abra lantang, ketika melihat Embun hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas selempangnya.
"Ini!" Ujar Embun marah, ketika dia melihat tatapan tajam Abra.
Abra tersenyum, dengan santai Abra menggandeng tangan Embun. Keduanya berjalan masuk ke dalam ruang keluarga. Nampak beberapa orang tengah duduk berbincang. Ardi dan Haykal saling duduk berhadapan. Naura dan Ibra duduk tak jauh dari Haykal. Sedangkan Indira, datang membawa makanan ringan dan minuman. Rutinitas keluarga Abimata, ketika memiliki waktu luang.
"Assalammualaikum!" Sapa Embun ramah, Haykal dan Naura tersenyum sinis. Ibra langsung menunduk, ketika dia melihat genggaman tangan Abra. Ardi menatap bahagia kedatangan Embun. Sedangkan Indira hanya diam, tak ada raut wajah bahagia atau penolakan.
"Waalaikumsalam!" Sahut Ardi, Embun menghampiri Ardi. Dia mencium hangat punggung tangan Ardi. Abra mengikuti Embun, sikap ramah pertama kali Abra pada Ardi. Dengan isyarat mata, Embun meminta Abra mencium punggung Haykal dan Indira. Keramahan yang tak pernah dilakukan Abra. Namun sikap hangat yang begitu diinginkan Indira.
"Embun, kamu sudah makan!"
"Embun sudah makan bersama Abra!"
"Baiklah, kita bisa duduk bersama!" Ujar Ardi, Embun menunduk. Seolah dia merasa tidak nyaman diantara Haykal dan Naura.
"Tidak pantas dia duduk bersama kita. Dia hanya perempuan desa!" Sahut Naura, Embun diam membisu. Bukan dia kalah, tapi diam mengalah akan lebih baik. Perdebatan tanpa ujung, hanya akan membuat Ardi terluka.
"Jaga bicaramu!" Teriak Abra, sontak Embun menarik tangan Abra. Embun menggelengkan kepalanya pelan. Seakan Embun tidak suka melihat amarah Abra.
"Tapi dia sudah keterlaluan!" Ujar Abra, Embun menggelengkan kepala. Abra langsung mengangkat dagu Embun. Dia menatap nanar mata indah Embun. Lalu dengan hangat, Abra menarik tangan Embun naik ke lantai atas.
"Maaf kakek, aku permisi!"
"Pergilah Embun, kakek akan mengantar makanan ringan untuk kalian!" Sahut Ardi, Embun mengangguk pelan.
Tap Tap Tap
Abra dan Embun melangkah menuju lantai atas. Sedangkan Ardi menatap tajam Naura. Sikap kasar Naura, membuat Ardi marah. Dia sangat kesal dengan sikap Naura yang kurang pantas. Sebaliknya Naura yang merasa terintimidasi, langsung menunduk.
"Haykal, cabut dua kartu kredit Naura!" Titah Ardi, seketika Naura berdiri. Dia terkejut mendengar permintaan kakeknya.
"Tapi ayah!"
"Lakukan atau aku sendiri yang melakukannya!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
nih yang punya hak mutlak kakek Ardi atau Haykal yah
2023-06-09
0
Arin
bagus kakek,orng macam mereka emng mest di ksih pljran
2023-05-11
0
Pipit Puspita
baca novel mba dew ngga bisa d tebak alurnya.. tapi itu tantangn sendiri saat baca hana jga tika..
2023-03-20
0