"Assalammualaikum!"
"Waalalikumsalam, kamu sudah pulang!" Ujar Abah Iman, Embun mengangguk pelan. Embun dan Ilham mencium punggung tangan Abah bergantian. Kedekatan Ilham dengan keluarga Embun tak lagi bisa diabaikan. Ilham sudah seperti putra bagi Abah Iman. Status yang begitu dekat dengan Embun, tapi tak pernah diharapkan oleh Ilham.
Embun merasa heran melihat beberapa mobil mewah terparkir manis di halaman rumahnya. Embun teringat akan pesan abahnya. Jika ada tamu yang akan datang. Embun datang bersama Ilham. Sengaja Ilham mengantar Embun dengan berjalan kaki. Selain keduanya bisa semakin dekat. Ilham merasa perlu mendapatkan kesempatan mengatakan cinta pada Embun. Namun hati tak selasaras dengan hati. cinta yang tumbuh di hati Ilham tak mampu terucap. Hanya diam yang tercipta selama keduanya berjalan bersama. Gelap malam seolah membuat jarak yang begitu jauh, Ilham tak mampu mengatakan isi hatinya.
"Siapa yang datang?"
"Mereka teman-teman Abah. Kebetulan mereka baru datang. Rencananya mereka akan menginap!"
"Sekarang mereka dimana?"
"Mereka sedang membersihkan diri. Jika kamu tidak nyaman mereka menginap. Nanti kamu menginap di rumah budhe Siti. Kebetulan budhemu sedang memasak di dapur!" Ujar Abah, Embun mengangguk pelan. Embun berjalan masuk ke dalam rumahnya. Tubuhnya terasa lengket, dia ingin segera membersihkan diri.
"Kamu tidak ingin masuk dulu!" Tawar Abah Iman, Ilham diam membisu.
Ada getaran aneh dalam hatinya. Ilham termenung, perkataan Nur bermain liar dalam benaknya. Ketakutan akan perjodohan Embun. Nyata terpampang di depannya. Kegelisahan hati yang mencinta, ketakutan jiwa yang kehilangan tambatannya.
"Tidak terima kasih, sudah larut malam!" Sahut Ilham ramah, saat dia mulai tersadar. Abah Iman mengangguk sembari tersenyum. Tanda dia setuju akan perkataan Ilham. Sepintas abah Iman melihat kepedihan Ilham. Meski dia tak mengerti, ada atau tidak rasa Ilham untuk Embun?
"Hati-hati di jalan!" Sahut Abah Iman, Ilham mengangguk pelan.
Abah Iman menuju ruang makan di dalam rumahnya. Dia memeriksa persiapan makan malam bagi para tamunya. Setelah peluhan tahun, akhirnya hari ini mereka datang. Iman tidak ingin para tamunya kekurangan. Tentu saja dengan batas kemampuannya.
"Embun!" Bisik Fahmi, seketika Abra mendongak. Dia melihat Embun turun dari kamarnya. Gamis dan hijab panjang menutup sempurna tubuh indahnya. Wajah teduh Embun, menenangkan hati yang menatapnya.
"Kenapa dia disini?" Sahut Abra, Fahmi mengangkat kedua bahunya pelan.
"Embun, duduk di sebelah abah. Makan malam dulu, setelah itu kamu bisa pergi ke rumah budhe!" Ujar Abah, Embun menghampiri Abah. Embun berjalan menunduk, dia menyadari ada tamu penting abahnya. Tamu yang sangat dikenalnya.
"Putrimu cantik!"
"Tuan terlalu memuji!" Sahut Abah Iman, Embun mendongak.
"Kamu!" Ujar Embun terkejut, Abra dan Embun saling menatap.
"Memang aku, sejak tadi aku duduk disini. Salah sendiri jalan menunduk, sampai kamu tak menyadari ada orang di depanmu!" Sahut Abra sinis, Abah Iman dan Ardi saling menoleh. Keduanya merasa heran, melihat Abra dan Embun saling mengenal. Meski sejak kecil keduanya saling mengenal dan dekat.
"Lebih baik jika kalian saling mengenal!" Ujar Ardi senang, tuan besar Abimata yang tak lain kakek Abra.
"Hmmm!" Sahut Embun dan Abra hampir bersamaan.
Keduanya saling mengacuhkan, baik Embun dan Abra sama-sama dingin. Tak ada yang tahu dalam hati mereka. Satu hal yang pasti, benci mulai bersemi di hati Embun. Rasa kecewanya pada Abra, membuat Embun enggan mengenal Abra.
"Jodoh!" Ujar Fahmi spontan, Abra dan Embun menatap tajam Fahmi. Mereka marah mendengar celetukan Fahmi. Sikap yang benar-benar nyata tak ingin bersama.
"Sebaiknya kalian belajar saling mengenal!"
"Untuk apa?" Sahut Abra dingin, menutup pembicaraan. Semua terdiam seketika, tak ada lagi suara di atas meja makan.
Suasana hening yang menyisakan tanya. Permintaan saling mengenal yang tak menemukan jawaban. Embun tak peduli dengan permintaan Ardi. Bagi Embun, hanya Abah Iman yang berhak meminta atau menyuruhnya. Sedangkan Abra sedikitpun tak memikirkan hubungannya dengan Embun. Masa kecil yang pernah terjadi. Takkan bisa kembali, tapi juga tidak untuk terulang.
Hampir lima belas menit mereka semua makan malam. Rencana menginap, memang benar adanya. Secara otomatis, Embun memilih menginap di rumah budhenya. Dia tidak ingin berada di bawah satu atap yang sama dengan Abra. Rencananya setelah menyiapkan secangkir kopi dan cemilan malam. Embun langsung pergi, tubuhnya terasa lelah setelah seharian berada di luar rumah.
"Silahkan, hanya ada secangkir kopi dan singkong rebus. Maklum ini desa, jauh dari kota!" Ujar Embun ramah, sembari melirik ke arah Abra.
Embun sengaja mengatakan semua itu, karena Embun ingin menyindir Abra. Fahmi yang melihat lirikan Embun, sontak terkekeh. Ketika dia melihat dua mata Abra yang melotot. Fahmi merasa geli dengan sikap Abra yang tiba-tiba layaknya Anak kemarin sore.
"Terima kasih Embun, singkong rebus sudah lebih dari cukup. Sejak lama aku merindukan makanan sederhana ini. Alasan utama aku mendirikan pabrik disini. Namun sepertinya Abra ingin meruntuhkan impianku. Sebab itu malam ini aku datang. Demi impianku tetap berdiri kokoh!" Tutur Ardi ramah, Embun tersenyum simpul. Lalu memutar tubuhnya, tapi langkah kakinya terhenti. Ketika dia merasakan, ada tangan yang menahan langkahnya.
"Ada apa Abah? Ada sesuatu yang abah butuhkan?"
"Duduklah Embun!" Ujar Abah Iman lirih dan sedikit berat. Seolah ada beban yang tengah mengganjal pikirannya. Dengan perlahan Embun duduk berhadapan dengan Abra.
Nampak Iman menoleh ke arah Ardi. Sebuah tatapan yang seakan meminta persetujuan. Ardi langsung mengangguk, sembari mengedipkan mata. Sebuah isyarat yang hanya diketahui oleh Iman dan Ardi. Abra dan Fahmi diam tanpa kata. Keduanya merasa hanya pelengkap. Tujuan mereka ada di rumah Embun. Hanya sebagai pendamping, tidak lebih. Meski sebenarnya, Abra dan Embun yang menjadi bintang utama.
"Aku yang bicara, atau tuan yang bicara!"
"Lebih baik kamu, Embun takkan peduli jika aku yang bicara. Soal Abra, aku yang bertanggungjawab!"
"Baik tuan!" Sahut Iman tegas, seraya mengangguk pelan. Iman menatap raut wajah putrinya. Ada rasa berat dalam hati. Namun janji harus ditepati, ikhlas atau tidak. Janji tetap menjadi hutang yang akan diperhitungkan.
"Embun!" Panggil Iman lirih, Embun menoleh. Nampak raut wajah sedih yang terlihat oleh Embun. Entah kenapa Embun merasakan kepedihan sang ayah? Namun suara hati Embun tak menemukan jawabannya. Hanya pasrah yang bisa dilakukan Embun.
Huuuufff
Suara helaan napas Iman, semakin membuat Embun gelisah. Tak pernah sekalipun, Embun melihat Abahnya mengeluh. Namun malam ini, dia mendengar jelaan helaan napas sang ayah. Suara lelah akan beban yang ada dipundaknya. Seorang ayah yang membesarkan buah hati, tanpa pendamping.
"Ada apa Abah? Katakan, Embun siap mendengar apapun itu!"
"Embun, puluhan tahun yang lalu. Saat almarhumah ibumu masih ada. Abah dan tuan Ardi mengingkat sebuah janji!"
"Janji!" Sahut Embun tak mengerti, Iman mengangguk pelan. Abra dan Fahmi terdiam, sedangkan Ardi tersenyum menatap Embun. Seakan hidupnya akan bahagia, setelah Embun mengetahui yang sebenarnya.
"Janji demi persahabatan yang ingin kami ubah menjadi persaudaraan. Abah dan tuan Ardi, berniat menjodohkan salah satu cucunya dengan putri abah!"
"Maksud abah!"
"Menjodohkanmu dengan salah satu cucu tuan Ardi!" Ujar Abah Iman lirih, seketika Embun menunduk. Tak ada kata yang keluar dari bibir mungilnya.
"Embun!" Sapa Abah Iman lirih, Embun menunduk semakin dalam. Ada rasa sakit yang teramat. Saat dia menyadari, kebahagiaannya akan berakhir. Kebebasannya terenggut oleh ikatan pernikahan.
"Embun, jika kamu tidak setuju. Kami tidak akan memaksa. Katakan apa jawabanmu? Semua tergantung keputusanmu!" Ujar Ardi ramah, Embun diam membisu.
"Tunggu kakek, siapa yang akan dijodohkan dengan dia?" Ujar Abra lantang, sembari menatap tajam Embun.
"Kamu!"
"Kenapa harus aku?" Sahut Abra tidak suka, Embun diam tertunduk. Bayangan hidup bersama orang yang tak menyukainya. Sedikit mengusik ketenangan hatinya. Embun merasa bimbang, tak ada alasan dia menerima perjodohan ini. Namun menolak, juga bukan hal yang benar.
"Jika kamu tidak setuju, kakek tidak keberatan. Namun kamu harus ingat, perkataan kakek semalam!"
"Tapi ini tidak adil!"
"Terserah padamu, pendapatmu tidak berlaku disini!" Ujar tuan Ardi final, Abra mengepalkan tangannya. Dia marah mendengar perjodohan dirinya dengan Embun.
"Embun!" Panggil Abah Iman, saat melihat Embun berdiri tanpa pamit.
Embun menghentikan langkahnya. Dia membisu, mencari kata yang tepat untuk mengatakan seluruh isi hatinya. Namun semua serasa mendadak, tak ada jawaban yang selaras dengan hatinya. Embun bingung dan kalut, dia sendirian tanpa siapapun yang bisa diajak berdiskusi?
"Embun, kami tidak akan memaksamu!" Ujar tuan Ardi, Embun menghela napas panjang. Abra terus memperhatikan Embun, Entah apa yang ada di dalam hatinya? Satu hal yang pasti, Abra masih tidak percaya dengan keputusan kakeknya.
"Jika memang janji itu terucap dari bibir Abah. Sebagai seorang anak, aku akan menerima perjodohan ini. Aku tidak akan membuat Abah yang membesarkanku terhina dan dianggap munafik. Sebab tak memenuhi janji yang dia ucapkan. Sejak lahir sampai detik ini, hidupku hanya milik abah. Tak pernah aku berpikir membangkang perintah Abah. Namun pernikahan bukan sebuah bisnis yang bisa ditakar untung dan rugi. Akan ada janji suci dalam ikatan sakral. Hubungan yang berlandaskan Lillahhitaallah, hanya ingin menggapai ridho-NYA. Dan demi sebuah hubungan yang suci ini. Aku berharap, kakek bertanya pada tuan Abra Achmad Abimata. Bersediakah dia menerima gadis desa sepertiku. Gadis yang tak sepadan dengannya, gadis yang tak pantas ada di sampingnya. Jangankan menjadi istrinya, berjalan di sampingnya. Aku sangatlah tak pantas. Mungkin hubungan ini tidak akan mudah bagiku. Namun akan jauh lebih sulit, jika imam dunia akhiratku tak mengharapkannya!" Tutur Embun bijak, Ardi dan Iman mengangguk. Sedangkan Abra terdiam membisu, Fahmi hanya duduk diam di samping. Semua perkataan Embun, tak lain perkataan Abra sebelumnya.
"Jadi kamu bersedia!" Ujar Tuan Ardi, Embun mengangguk pelan.
"Aku akan pergi dari rumah ini. Jika Abah yang menghendakinya. Hanya tangan Abah yang berhak memilihkan tangan imam dunia akhiratku!"
"Maafkan Abah Embun!"
"Tidak ada yang salah Abah, aku percaya pilihan Abah tidak salah. Mungkin dia yang terbaik untukku!" Sahut Embun, lalu pamit pergi.
"Dia, setuju menikah denganku!" Batin Abra tak percaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Ainin Mu
baru kali ini baca novel menghayati Mak jleb bgt pas d lamar
2024-02-03
0
EMAH FARID
ko nyesek yaaa 😭😭😭😏😭
2023-02-19
0
Puji Ustariana
ma sya Allah gadis yg sholeha dan berakhlak mulia, kok jadi aku yg keluar air mata 😭😭
2023-01-16
0