"Abra!" Panggil Indira, Abra menoleh ke arah Indira.
"Dia Embun, calon istriku!" Ujar Abra dingin.
"Kakak bercanda!"
"Tidak ada yang butuh pendapatmu!" Sahut Abra dingin.
"Apa lagi?" Sahut Abra, ketika tangan Embun menarik ujung bajunya.
"Dimana aku sholat? Aku tidak membawa baju ganti!" Ujar Embun polos, Abra menghela napas panjang.
"Akan kusiapkan tuan putri!" Sahut Abra kesal. Abra menarik tangan Embun paksa, tanpa peduli akan sosok Indira yang berdiri di dekat mereka.
"Tunggu Abra!" Teriak Haykal, Abra menghentikan langkahnya. Abra jelas mendengar teriakkan sang ayah. Suami dari Indira Wijaya, putra kebanggaan Ardi Abimata.
"Ada apa?" Sahut Abra, tanpa menoleh. Embun menunduk ketakutan, tangannya dingin dan tubuhnya bergetar. Tanpa Embun sadari, dia telah bersandar pada tubuh tegap Abra. Embun seolah butuh perlindungan Abra, entah kenapa Embun takut mendengar suara Haykal?
"Kemana kamu akan membawa wanita itu? Sejak kapan satu kata darimu bisa memutuskan seorang wanita itu pantas menjadi menantuku? Ingat Abra, tanpa izinku kamu tidak akan bisa menikah dengan wanita manapun? Apalagi wanita rendah yang sedang kamu gandeng. Dia tidak pantas menjadi menantuku!"
"Pantas atau tidak, sejak dulu tak pernah aku butuh persetujuanmu. Papa tidak pernah bertanya padaku, saat menikah dengannya. Sekarang katakan padaku, hak apa yang membuat papa berhak memutuskan hidupku?"
"Abra, jaga bicaramu. Dia istri papa, ibu yang membesarkanmu!"
"Dia istri papa, tapi bukan ibuku!" Ujar Abra lantang, Embun ketakutan mendengar pertengkaran Abra dan Haykal.
Embun memeluk lengan Abra erat, dia lupa akan batasan yang ada diantara dirinya dengan Abra. Embun menyembuyikan wajahnya di balik jas hitam Abra. Ketakutan Embun jelas terlihat, Abra merasakan tubuh Embun bergetar. Embun ketakutan melihat pertengkaran yang tak seharusnya terjadi.
"Mas, sudahal tidak perlu berdebat. Abra berhak menentukan hidupnya. Dia sudah cukup umur, biarkan dia memutuskan yang terbaik bagi dirinya!" Ujar Indira menenangkan, Haykal menggelengkan kepalanya tidak setuju.
Sejak dulu Abra dan Haykal selalu bertentangan. Salah satu alasan Abra memilih tinggal di luar negeri. Semua demi menghindar dari Haykal dan Indira. Bahkan Abra tak pernah ingin mengenal Ibra dan Naura, saudara sedarah beda ibu. Hubungan ayah dan anak yang terus memburuk. Setelah kematian ibu yang melahirkan Abra. Amarah dan kecewanya pada Haykal. Membuat Abra merasa benci pada Haykal dan keluarga kecil yang dibangun Haykal.
"Abra, antar aku pulang!"
"Kamu akan tetap disini. Kamu harus melihat semua ini!" Ujar Abra, Embun menggelengkan kepalanya lemah. Abra tidak peduli akan ketakutan Embun. Dengan sedikit memaksa, Abra memutar tubuh Embun. Keduanya kini berhadapan langsung dengan Haykal.
"Papa, sampai detik ini aku mencoba tenang menghadapi sikap kerasmu. Namun masalah yang satu ini. Aku tidak akan diam, dia calon istriku. Wanita yang aku pilih menjadi bagian hidupku!"
"Wanita yang akan menghabiskan hartamu. Wanita yang jelas ingin mengambil seluruh kekayaanmu. Wanita yang ingin menumpang hidup padamu. Merasakan kemewahan yang bahkan tak pernah ada dalam impiannya. Wanita yang tidak pernah diajarkan harga diri oleh orang tuanya!" Ujar Haykal lantang, Abra marah mendengar hinaan Haykal.
Kedua mata Abra memerah, hatinya terbakar ketika mendengar hinaan yang tak pada tempatnya. Abra hampir saja lupa, jika Haykal ayah kandungnya. Amarah Abra seketika mereda, ketika Embun menggenggam erat tangan Abra. Menenangkan hati yang mendidih akan hinaan tak pantas Abra. Hati Abra tenang, saat menyadari Embun ikhlas menerima hinaan Haykal.
"Maaf tuan Haykal, sebelum anda mempertanyakan tentang didikan orang tua saya. Lebih baik anda berkaca pada diri anda sendiri. Tanyakan pada hati terdalammu, apa yang telah anda ajarkan pada keturunanmu? Sikap sombong akan harta yang jelas hanya titipan. Sikap rendah tanpa kehormatan, dengan mengumbar sesuatu yang tak pantas dilihat. Atau sifat tamak dan menang sendiri, seakan-akan tidak akan ada kata sakit yang mendekat pada kalian!"
"Siapa kamu? Kenapa kamu tahu namaku? Apa kamu sudah mencari informasi tentang keluarga ini?"
"Sayangnya, seujung kuku aku tidak pernah ingin mengenal keluarga ini. Anda benar, jangankan dalam kehidupan nyata. Dalam mimpi aku tidak pernah berharap menjadi bagian keluarga ini!"
"Lantas, kenapa kamu ada disini? Jika bukan mengemis cinta Abra!" Ujar Haykal.
"Papa cukup!" Teriak Abra.
"Tuan Haykal, percayalah sampai detik ini. Tidak ada kata cinta atau mencintai dihati kami. Seandainya putramu menjadi suamiku. Semua itu menjadi jalan yang memang harus kami lalui!" Ujar Embun, seketika Abra menoleh. Nampak raut wajah sedih, seolah perkataan Embun melukai hatinya. Sebaliknya tatapan tegas Embun, membuatnya terlihat kuat.
"Jika bukan karena cinta, apa pernikahan kalian karena harta?" Sahut Haykal lantang, Embun menggelengkan kepalanya pelan.
"Sekarang aku mengerti, kenapa Abra selalu menilai hubungan dengan status sosial? Ternyata semua itu menurun dari anda. Namun percayalah tuan, tak selamanya harta membuat anda tenang dan bahagia. Adakalanya sederhana menjadi ketenangan dalam kekalutan!"
"Kamu berani menjawabku!"
"Abah selalu mengajarkan padaku. Agar aku melindungi diri dari hinaan dan sikap kasar orang lain. Agar orang itu, menghargai kita meski sedikit saja. Bukan berniat atau membangkang pada yang lebih tua. Sejak kecil aku menghormatimu. Mengharapkan sosok berwibawa layaknya dirimu dulu. Namun bayangan manis di masa kecilku. Tak lebih dari angan seorang gadis kecil yang tak menyadari kuat pengaruh sebuah kata bernama uang. Sosok hangat dan baik yang pernah aku kenal. Berubah menjadi dingin tak berhati, ketika kemewahan dan kejayaan ada dalam hidupmu!"
"Tunggu, siapa kamu sebenarnya? Bagaimana kamu bisa menilaiku? Status sosialmu, tidak membuatmu berhak menilaiku!"
"Tuan Haykal Putra Abimata, ayah kandung Abra Achmad Abimata. Suami almarhumah ustadzah Ima'tussaidah, guru mengaji di desa tempat tinggalku. Saudara jauh abah Iman, yang tak lain ayah kandungku!"
"Kamu!" Ujar Abra tak percaya, sembari menarik tangan Embun. Meminta Embun menghadap ke arahnya. Seolah Abra berharap sebuah penjelasan.
"Kamu mengenal Ima!"
"Bukankah dia istri sholeha yang anda tinggalkan!"
"Kamu siapa?" Ujar Haykal tak percaya.
"Aku Embun Khafifah Fauziah, gadis kecil yang dulu selalu merengek ingin duduk di atas pundakmu. Berharap saat itu mampu menggapai bintang bersamamu!"
"Kamu gadis itu!"
"Iya, itu aku gadis yang selalu ada mengikuti langkah kakimu dulu. Namun itu dulu, setelah kepergian kalian. Tak pernah terbersit dalam pikiranku, mengenal atau bahkan mengingat masa itu. Sungguh takdir itu misteri, hari ini aku bertemu denganmu. Bahkan mungkin akan menjadi bagian dari keluargamu!"
"Jangan bermimpi, sampai kapanpun aku tidak sudi melihat kak Abra menikah denganmu? Dia pantas mendapatkan wanita yang lebih baik darimu!" Sahut Naura sinis, Abra langsung menoleh. Tatapan tajam mengunci Naura.
"Sekarang kamu sudah mendapatkan jawabannya!" Ujar Embun dingin, lalu menoleh ke arah Abra.
"Aku ingin pulang, pikirkan kembali pernikahan kita. Aku tidak ingin kamu terpaksa menikah dengan wanita rendah sepertiku!" Ujar Embun dingin, lalu membalikkan badan. Berjalan melewati Abra, perlahan menuju pintu masuk rumah megah keluarga Abimata.
"Aku tak pernah menolak atau ragu menikah denganmu. Sebab bukan aku yang akan terluka, kamu yang seharusnya berpikir seribu kali. Menikah denganku akan membawamu hidup dalam hinaan dan kepahitan. Apa yang terjadi pada mama? Mungkin akan terjadi padamu!"
"Apa kamu pikir itu membuatku takut? Kamu salah menilaiku Abra. Apapun yang terjadi padaku kelak. Itu semua tergantung dirimu, karena kamu imam dan pelindungku!" Sahut Embun santai.
"Jelas kamu tidak ragu, kamu akan hidup dalam kemewahan!" Ujar Naura sinis, Abra langsung menunjuk wajah Nuara. Seketika Indira menarik tangan Naura. Jelas dia melihat amarah Abra. Emosi yang takkan bisa dikendalikan akhirnya.
"Nona besar, kemewahan yang anda tawarkan tak sedikitpun membuat air liurku menetes. Harta kalian masih terlalu murah, jika dibandingkan kasih sayang abah dan orang-orang yang menyayangiku!"
"Abra, pikirkan kembali. Kamu masih memiliki waktu sampai nanti malam. Setelah nanti malam, kamu tidak bisa kembali atau menyerah!"
"Embun!"
"Hmmm!"
"Jika aku setuju menikah denganmu. Apa yang akan kamu persembahkan untukku?" Ujar Abra lantang, Embun menoleh ke arah Abra.
"Kesucian iman yang aku genggam selama ini. Akan kujadikan kamu imam dunia akhiratku. Kuserahkan semua yang aku miliki, tapi saat kamu sendiri yang memintanya!"
"Meski tak ada cinta diantara kita!" Ujar Abra, Embun mengangguk pelan.
"Kenapa?"
"Karena bakti terakhirku pada abah!"
"Tidak mungkinkah kamu mencintaiku!" Ujar Abra lagi, Embun menggelengkan kepalanya pelan. Abra diam menatap gelengan kepala Embun yang jelas menyakitinya.
"Kenapa?"
"Kita berbeda, aku dan kamu lahir dari dua dunia yang tak sama. Takkan pernah ada satu kata dalam hubungan kita. Namun percayalah Abra, sekali tanganku kamu genggam. Takkan aku melepas diri darimu. Sampai tanganmu yang melepasnya. Sebuah ikrar suci yang kuucapkan padamu, hanya padamu calon imam dunia akhiratku!" Sahut Embun lantang, Abra tak berkutik. Abra tak mampu mencegah langkah kaki Embun. Dia melihat harapan yang bercampur dengan kebencian Embun. Haykal tak percaya, melihat sikap Abra yang hangat pada Embun.
"Embun!" Sapa Ibra, sontak Embun mendongak.
"Ibra!"
"Kamu akan menikah dengan kak Abra!" Ujar Ibra tak percaya, Embun mengangguk pelan.
"Kenapa kamu melupakan janji kita?"
"Janji yang terucap bukan terlupa, tapi janji itu telah terlanggar. Saat dua tahun lalu, kamu tidak menemui abah!"
"Tapi!"
"Maafkan aku Ibra, Abra yang menjadi calon imam dunia akhiratku. Abah sudah memilih, tak ada hakku membantah!"
"Sudah selesai kalian bicara!" Sahut Abra kesal, lalu menarik tangan Embun.
"Ikut aku!"
"Abra lepaskan!" Teriak Embun.
Tap Tap Tap
"Masuklah, ini kamarku. Aku akan meminta seseorang membawakan mukena dan baju ganti. Jangan keluar dari kamarku, apalagi menemui Ibra!" Ujar Abra emosi, tepat setelah mereka naik ke lantai dua. Lebih tepatnya kamar megah Abra yang bersebelahan dengan ruang kerja Abra.
"Pemaksa!" Sahut Embun kesal, lalu menutup pintu kasar.
"Akan kupastikan kamu menjadi milikku. Dengan atau tanpa cinta, pernikahan kita akan terlaksana. Aku ingin melihat, seberapa kuat kamu menahan hinaan mereka. Orang-orang yang tak pernah menghargai orang lain!" Batin Abra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
ternyata ada misi tersembunyi juga ya dibaliik sikap keras & sombong Abra ke Embun
2023-06-09
1
Aliya Jazila
aku kagum dg othor nya kata2nya benar2 bijak
2023-05-13
1
Hani P Hani
kesucian hati embun akan membuat titik cerah dalam keluaraga abra
2022-12-09
3