"Embun!" Sapa Fahmi, dengan mata sayu Embun menoleh.
Nampak pemuda gagah berdiri tegak di sampingnya. Ketampanan Fahmi sebelas dua belas dengan Abra. Dia sahabat yang selalu ada di kala susah dan senang Abra. Fahmi saksi perjalanan hidup Abra. Dalam setiap keluh kesah Abra, Fahmi sosok pertama yang menjadi perisai. Seandainya ada air mata yang menetes dari mata Abra. Fahmi orang pertama yang akan menghapus air mata itu.
"Pak Fahmi!" Sahut Embun ramah, Fahmi mengedipkan kedua matanya.
Sosok wanita yang pernah membuatnya terkesima. Kini nyata menjadi wanita paling berharga dalam hidup sahabatnya. Wanita yang mampu meruntuhkan dinding tinggi keangkuhan dalam hati Abra. Bening tetes cinta yang mulai mendinginkan jiwa Abra yang gersang. Embun yang menyejukkan dalam panas hidup Abra. Wanita yang nyaris sempurna, sosok yang membuat sahabatnya lemah dan hangat. Fahmi mengubur jauh rasa kagumnya. Menggantinya menjadi rasa persaudaraan yang tulus.
"Panggil aku Fahmi, seperti kamu memanggil Abra!" Ujar Fahmi, Embun menggelengkan kepalanya seraya menunduk.
Fahmi menatap Embun dengan tajam. Tundukkan kepala Embun, menjadi tanya yang takkan mudah menemukan jawabannya. Fahmi merasa heran, ketika Embun tak memperlakukan dirinya sama dengan Abra. Bahkan Fahmi menangkap ada rasa bersalah dari wajah Embun. Namun Fahmi tak ingin berasumsi. Dia ingin mendengar penjelasan dari bibir Embun. Alasan rasa bersalah yang membuat Embun menundukkan kepalanya.
"Kenapa? Aku dan Abra seumuran. Bahkan sepantasnya aku memanggilmu nyonya. Sebab kamu istri dari bosku!"
"Aku jauh lebih muda darimu. Tak pantas aku memanggil nama padamu. Jika masalah status, itu saat aku menjadi istri sah Abra. Walau sesungguhnya, aku tak berharap akan panggil seperti itu!"
"Jika memang kamu merasa tak pantas memanggilku hanya dengan nama. Kenapa kamu selalu memanggil dengan nama pada Abra? Sikap tak pantasmu bentuk kasih sayang atau sebuah penolakan!" Ujar Fahmi dingin, Embun menunduk lalu sekilas nampak gelengan kepala Embun.
"Lalu!" Sahut Fahmi dingin, seakan dia tidak terima akan sikap tak pantas Embun. Abra mungkin diam, tapi Fahmi tidak akan menerima sikap Embun begitu saja. Harus ada alasan yang jelas. Agar dia bisa menerima sikap Embun.
"Entahlah pak Fahmi? Sejak pertama aku mengenalnya, tak pernah ada rasa hormatku padanya. Saat malam dia memintaku datang, lalu pulang tanpa peduli padaku. Semenjak saat itu, aku marah padanya. Ketika aku menatapnya memeluk dan mencium wanita itu. Hatiku merasa jijik akan sikap tak pantasnya. Semua kenanganku dengannya, hanya meninggalkan rasa marah. Sampai aku lupa akan sopan santun padanya!"
"Tapi dia suamimu? Kamu sudah bersedia menjadi istrinya. Bukankah imanmu tak membiarkan sikap tak pantasmu. Sebab suami surga seorang istri!"
"Pak Fahmi, seandainya anda berada di posisiku. Mungkin anda memahami gejolak hatiku. Amarahku padanya nyata, rasa tak nyamanku jelas kurasa. Walau dia menjadi suamiku, bahkan setelah semua yang terjadi diantara kami. Hatiku masih ragu menerimanya, mungkin sikap dinginku padanya. Hanyalah sebuah cara, agar dia membenciku!" Tutur Embun lirih, sontak Fahmi menoleh.
Kedua mata Fahmi membulat sempurna. Ada rasa tak percaya, Embun mengatakan semua itu. Fahmi merasa tak percaya, wanita santun seperti Embun. Mampu berpikir sejauh itu, bahkan lupa akan iman yang dipegangnya kuat. Fahmi benar-benar tak percaya, Embun mengharapkan sebuah perpisahan dari pernikahan yang bahkan belum tercatat. Langit seakan runtuh tepat di kepalanya. Saat Embun lantang menolak pernikahan dengan laki-laki sehebat Abra.
"Kenapa kamu bisa berpikir sekeji itu?"
"Karena Abra yang lebih dulu mengkhianati ketulusanku!" Sahut Embun lantang, Fahmi menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Aku tidak mengerti!" Ujar Fahmi, Embun meneteskan air mata. Lalu dengan tangan gemetar, Embun memberikan ponsel miliknya.
Fahmi terdiam menerima ponsel Embun. Perasaannya campur aduk, dia tak mengerti maksud Embun. Dalam kebingungan, Fahmi menerima ponsel milik Embun. Dua bola matanya membulat sempurna. Kala dia melihat isi dari ponsel Embun. Fahmi langsung mengembalikannya pada Embun.
"Semua itu tidak benar. Abra tidak melakukan semua itu. Siapapun yang mengirimkannya padamu? Dia hanya ingin kamu membenci Abra. Sebab dia tahu, Abra sangat mencintaimu!" Ujar Fahmi terbata-bata, Embun mengetus senyum tipis. Seolah cara bicara Fahmi sudah menjawab kebingungan hatinya.
"Aku tidak perlu pembuktian!"
"Tapi kamu percaya dengan semua itu!" Ujar Fahmi, Embun membisu sembari menatap lurus ke depan. Isyarat dia mengiyakan perkataan Fahmi.
"Embun, Abra sangat mencintaimu. Dia melakukan semuanya demi dirimu. Seandainya semua video itu benar. Itu bukan Abra yang sekarang. Abra hanya memikirkan dirimu. Dia tidak peduli pada orang lain. Abra mengemudi bak kehilangan akal. Ketika dia mendengar Abah masuk rumah sakit. Abra tak lahi peduli akan kerugiannya. Dia membatalkan semua rapat hanya demi menemanimu. Abra khawatir akan dirimu yang sendirian, tapi kamu malah berpikir yang tidak-tidak!"
"Haruskah aku diam, ketika aku melihat semua ini. Dia suamiku, tapi tangannya merangkul wanita lain. Salahkah amarahku, saat aku ingat tangannya tak hanya menyentuhku. Namun banyak tubuh lain yang sudah disentuhnya!" Ujar Embun lantang, Fahmi diam. Kini dia menyadari, amarah Embun pantas. Semua yang pernah dilakukan Abra, takkan mudah terhapus.
"Kamu cemburu!" Ujar Fahmi, Embun menoleh dengan tatapan tajam.
"Cemburu, entahlah apa arti dari amarah dan rasa tidak nyamanku padanya? Satu hal yang pasti, dia membuatku takut. Aku takut saat ini merasakan bahagianya di sampingnya. Namun besok aku menangis karena dirinya!" Ujar Embun sembari terisak.
"Embun, Abra sangat mencintaimu!"
"Jika dia mencintaiku, dimana Abra saat aku menangis ketakutan melihat abah sakit? Jika dia menyayangiku, dimana Abra saat aku membutuhkan dekapannya? Abra tidak ada, dia jauh dari pandanganku. Aku sendiri, hanya DIA sang pemilik hidup peganganku!" Ujar Embun emosi, Fahmi diam sembari mengangguk. Perkataan Embun tidak salah, Abra sangat jauh darinya. Dia berada ratusan kilometer dari Embun.
"Embun!" Ujar Abra, Embun menoleh ke arah Abra.
Dengan langkah tegas, Embun menjauh dari Abra. Dia tidak ingin melihat wajah Abra. Embun kecewa, sangat kecewa pada Abra. Rasa kecewa yang bermula dari rasa membutuhkan. Awal sebuah cinta yang tak disadari oleh Embun.
"Embun!" Ujar Abra sembari menahan tangan Embun.
"Lepaskan!" Ujar Embun dingin, sembari menatap penuh rasa kecewa. Dua mata indah Embun sembab. Tak tahu berapa banyak air mata yang menetes. Semua bentuk rasa cinta Embun akan sosok Abra.
"Aaaaa!" Teriak Embun, ketika Abra menarik tubuhnya. Abra mendekap erat Embun, menempelkan kepala Embun tepat di dadanya. Embun meronta, tapi Abra menahan tubuh Embun dengan sangat kuat. Hingga akhirnya Embun kalah dan pasrah dalam dekapan Abra.
"Marahlah, jika perlu benci aku. Jika semua itu bisa menghapus rasa kecewamu. Aku ibarat kertas yang tak lagi putih. Banyak coretan hitam dalam lembar hidupku. Apa yang kamu ketahui? Mungkin hanya seujung kuku dari keburukanku. Namun percayalah, semua itu aku lakukan jauh sebelum mengenalmu. Maaf, jika kamu bukan wanita satu-satunya dalam hidup seorang Abra Achmad Abimata. Namun bisa aku pastikan, kamu wanita terakhir dalam hidup seorang Abra. Embun, dengarlah detak jantungku. Detak yang seolah ingin membunuhku. Aku khawatir sekaligus takut memikirkan tangismu. Namun apa dayaku, ratusan kilometer menjadi jarak kita saat itu. Embun sayang, tidak akan ada kata marahku padamu atas semua sikap kasarmu. Namun jangan pernah menjauh dariku, karena napasku ada bersamamu!" Tutur Abra sembari mendekap erat Embun.
"Lepaskan!"
"Sayang, kamu percaya atau tidak? Saat ini hanya namamu yang ada dalam hidupku!" Sahut Abra, Embun terdiam dalam dekapan Abra.
"Abra begitu mencintai Embun. Dia terlihat berbeda, sampai aku tidak percaya. Laki-laki yang berbicara, seorang Abra Achmad Abimata yang angkuh. Penakluk hati yang kinu takluk dalam cinta suci nan bening seorang gadis desa!" Batin Fahmi tak percaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
kamu harus bekerja lebih keras lagi Abra tuk meyakinkan dan meraih cinta serta kepercayaan Embun
2023-06-09
1
Nur Khomariyah
embun terlalu egois. .
itulah rumah' tangga yg tidak terbuka
2023-02-20
1
Yunie
bingung lsg k suasana yg lain ...
2022-11-10
0