"Kamu gila, kenapa kamu memintanya datang? Apa kamu buta? Sekarang jam 01.30, dia pasti sedang tidur tadi!" Ujar Fahmi emosi penuh kekesalan.
Abra tersenyum sinis, dia memutar-mutar ponsel pintaranya. Isyarat dia senang telah mengerjai Embun. Sedangkan Fahmi terlihat kesal. Sikap Abra membuatnya takut, jika Embun benar-benar datang di malam yang gelap ini. Apalagi lokasi pabrik berada di tengah-tengah perkebunan yang minim cahaya. Pabrik yang berdiri jauh dari rumah warga. Semakin membuat pabrik terlihat mencekam. Jarak pabrik dengan rumah Embun lumayan jauh. Embun harus jalan menuruni. Minimal butuh waktu dua puluh menit menuju pabrik penggilingan.
"Dia sudah berani membuat janji denganku. Jadi dia harus menanggung konsekuensinya. Seseorang yang berani menghadang keinginanku. Harus melihat siapa diriku? Dia menggagalkan peruntuhan pabrik. Sekarang aku ingin melihat. Apa yang bisa dia lakukan demi pabrik tua ini?" Ujar Abra dingin dan bengis. Fahmi sebagai asisten, sekaligus sahabat Abra. Mengenal karakter tuannya itu.
"Aku sudah menduga sejak awal. Kamu dengan mudah setuju menemuinya. Tentu dengan niat yang tidak baik. Aku hanya mengingatkan. Embun bukan perempuan sembarangan. Aku sempat mencari tahu, dia putri pemuka agama. Orang tuanya sangat dihormati di desa ini. Jadi berhati-hati saja, jika tidak ingin berurusan dengan warga desa!" Ujar Fahmi tegas, Abra mengangkat kedua bahunya pelan.
Abra Ahmad Abimata, putra keluarga Abimata yang kaya. Pengusaha yang memiliki kepintaran dan insting yang luar biasa dalam bisnis. Sikap dingin dan kejamnya takkan pandang bulu. Apalagi bila ada yang membangkang perintahnya. Dia bos yang tak pernah peduli pendapat anak buahnya. Dia selalu mengedapkan teori tanpa hati. Termasuk saat berurusan dengan Embun.
"Aku tidak peduli akan statusnya. Aku hanya ingin membuktikan, kelancangannya mencegah pembongkaran pabrik. Selaras dengan keberanian memenuhi janjinya. Jika dia peduli dengan warga desa. Dia pasti datang kemari. Dalam keberanian, tidak ada rasa takut dalam gelap. Segala resiko harus dia terima, karena memulai perang denganku. Perempuan desa seperti dirinya yang tak mengenal bangku kuliah. Tidak akan bisa mengerti arti untung rugi. Bisnis bukan badan amal, tapi sebuah usaha mendapatkan keuntungan!"
"Jika dia datang, apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku akan menepati janjiku. Akan kuterima penjelasannya. Mungkin juga waktu, agar dia bisa membuktikan perkataannya. Jika pabrik tua ini tidak harus ditutup!" Ujar Abra lantang, suara beratnya menggema dalam keheningan malam. Fahmi hanya bisa diam melihat dingin Abra. Namun dalam diam Fahmi, dia bertekad menjaga Embun.
Hampir dua puluh menit lebih Abra dan Fahmi menunggu Embun. Malam semakin larut, suara ayam berkokok menandakan pagi mulai menyapa. Abra yang bersandar di dashboard mobil, mulai merasa jengah. Bintang yang bertabur di langit, tak mampu menenangkan hatinya. Jam berdetak begitu lambat baginya. Fahmi tersenyum melihat sahabatnya untuk pertama kalinya menunggu seorang wanita. Biasanya wanita yang menunggu Abra. Menyerahkan dirinya tanpa syarat.
"Kita pulang, besok pagi lakukan pembongkaran. Dia tidak akan datang!"
"Abra, rumahnya jauh di atas. Butuh waktu untuk sampai kemari. Apalagi menembus gelap malam. Jangan seorang wanita, laki-laki saja butuh waktu lama sampai kemari!"
"Dua puluh menit sudah cukup menunggunya!"
"Tapi butuh waktu lebih dari itu untuk sampai kemari!" Ujar Fahmi, Abra tidak peduli. Abra masuk ke dalam mobil.
"Abra tunggu!" Teriak Fahmi, Abra sudah duduk tepat di belakang kemudi.
"Tuan Fahmi!" Sapa Embun, sontak Fahmi menoleh.
Fahmi menatap Embun heran, tanpa suara Embun sudah berada di belakangnya. Tak ada suara sepeda motor. Namun tiba-tiba saja, Embun sudah berdiri di belakang Fahmi. Abra yang melihat kedatangan Embun. Tersenyum penuh arti. Senyum yang tak mudah dimengerti oleh orang lain. Bahkan Fahmi sahabatnya tidak akan memahami arti senyum itu.
"Embun, kapan kamu datang?"
"Saya baru saja datang, maaf sudah lama menunggu. Sepeda motor saya mogok, terpaksa saya berjalan kemari dari gerbang utama pabrik!" Ujar Embun polos, Fahmi terbelalak. Dia tidak menyangka, Embun berjalan kaki menemui dirinya dan Abra. Jarak gerbang utama lumayan jauh. Butuh waktu lima sampai sepuluh menit berjalan. Perjuangan yang tak bisa dianggap remeh.
"Kamu jalan kaki!" Ujar Fahmi tak percaya, Embun mengangguk pelan. Fahmi menggelengkan kepalanya lemah. Sekilas Fahmi menoleh ke arah Abra. Nampak Abra memperhatikan Embun tanpa berkedip.
"Bisa saya bicara dengan tuan Abimata!" Ujar Embun ramah, Fahmi mengangguk pelan.
"Sebelum aku memanggilnya, aku ingin bertanya satu hal. Kenapa kamu tahu nama belakangnya?"
"Abah mengenal keluarga Abimata. Beliau yang mengatakan pada saya tentang asal usul keluarga Abimata!" Ujar Embun ramah, Fahmi manggut-manggut mengerti. Lalu dengan langkah perlahan. Fahmi menghampiri Abra yang duduk nyaman di balik kemudi mobilnya.
"Abra, dia datang. Sekarang temui dia!" Ujar Fahmi, Abra diam membisu.
"Aku sudah menunggunya lama. Katakan padanya, untuk menemuiku besok di kantor. Sekarang aku malas menemuinya!" Sahut Abra santai, Fahmi melongo. Dia tak percaya Abra bisa setega itu. Tanpa merasa bersalah, Abra menolak bertemu dengan Embun.
"Kamu benar-benar kehilangan akal!" Ujar Fahmi kesal, lalu meninggalkan Abra. Fahmi menghampiri Embun yang berdiri menunggu keputusan Abra.
Lama Fahmi bicara dengan Embun, sehalua mungkin Fahmi memberikan pengertian. Agar Embun tak kecewa dan sakit hati. Fahmi benar-benar tak percaya, Abra bisa bersikap sekasar itu pada Embun. Apalagi perjuangan Embun sampai di pabrik tidaklah muda. Fahmi merasa kasihan dan tak berdaya, melihat sikap Abra yang tak pantas.
"Baiklah pak Fahmi, saya permisi dulu. Sebentar lagi masuk waktu sholat tahajud. Saya harus segera pulang, takut abah khawatir!" Ujar Embun ramah, tanpa ada amarah sedikitpun di wajahnya.
"Kamu pulang menggunakan apa?"
"Saya bisa berjalan kaki. Sepeda motor sudah saya titipkan di pos pabrik. Besok pagi baru saya ambil!"
"Kamu yakin, apa perlu saya antar?" Tawar Fahmi, Embun menggelengkan kepalanya lemah. Seutas senyum mewakili keramahan Embun. Menjelaskan tak ada amarah di hati Embun.
"Perempuan yang tulus dan suci. Embun nama yang indah. Sebening hati yang ikhlas menerima ketidakadilan. Tak pernah aku bertemu perempuan sebaik ini. Demi orang lain, dia rela menerima resiko apapun. Seandainya aku bisa melawan Abra. Tentu aku akan membelamu Embun!" Batin Fahmi, sembari menatap punggung Embun yang menghilang dalam kegelapan.
Braaakkkk
"Sudah puas kamu, dia pulang tanpa hasil apapun? Pagi buta dia berjuang untuk sampai kemari. Namun dengan angkuhnya, kamu menolak bertemu dengannya!" Ujar Fahmi kesal, tepat setelah membanting pintu mobil Abra.
"Dia saja tidak marah, tapi kenapa malah kamu yang marah?"
"Bagaimana aku tidak marah? Dia sekarang pulang berjalan kaki. Tidak hanya itu, jalan yang dilewatinya menanjak. Berapa jam dia harus berjalan? Kamu mungkin tak peduli, karena hatimu mati!"
"Kamu menyukainya!" Ujar Abra dingin.
"Ini bukan tentang suka atau tidak, tapi dia perempuan yang kamu tindas tanpa ampun!"
"Kamu benar-benar menyukainya!"
"Kelak bisa saja kamu yang menyukainya Abra!" Ujar Fahmi penuh emosi.
"Tidak mungkin!"
"Semua mungkin bila jodoh sudah berkehendak!" Sahut Fahmi dingin.
Sreekk Sreekk Sreekk
"Lihat dia Abra, Embun berjalan di tengah gelap. Semua karena sikap arogantmu!" Ujar Fahmi, sembari terus menyinari langkah Embun dengan lampu mobilnya.
"Perempuan tangguh!" Batin Abra.
"Pak Fahmi, silahkan jalan lebih dulu. Saya baik-baik saja!" Ujar Embun ramah dari tepi jalan. Fahmi mengangguk dari dalam mobil. Lalu mengemudikan mobilnya melewati Embun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
beuh laki" ga punya perasaan yah tuh si Abrar
2023-06-09
0
Itha Fitra
awas aja abra jatuh cinta ama embun,pasti dech langsung klepek"
2023-02-18
0
candra rahma
kualat nt si Abra ka dabra🤧
2022-11-01
1