"Selamat pagi pak Fahmi!"
"Kamu sudah datang!" Ujar Fahmi terkejut, Embun mengangguk pelan.
Setelah semalam Embun gagal bertemu dengan pewaris Abimata. Pagi ini Embun sengaja datang lebih pagi. Dia ingin bertemu dengan tuan Abimata. Embun ingin segera menyelesaikan masalah dengan pewaris keluarga Abimata. Dengan begitu dia tidak akan berurusan lagi dengan keluarga sang penguasa.
"Sudah satu jam lebih saya menunggu anda. Sempat saya bertanya pada resepsionist, dia mengatakan bapak belum datang. Jadi saya putuskan menunggu bapak!"
"Kamu benar-benar tangguh!" Ujar Abra lantang. Fahmi menoleh, dia melihat Abra sudah berdiri tak jauh dari Embun.
Embun yang merasa canggung, seketika menunduk saat Abra sudah berdiri tepat di depannya. Fahmi tersenyum menatap raut wajah Abra. Ada ketertarikan yang nampak jelas di wajah sahabatnya itu. Apalagi Fahmi sempat melihat lirikan mata Abra. Sebuah tatapan yang seakan penasaran dengan sosok Embun.
"Kamu sudah datang, katanya tadi langsung ke restoran!" Ujar Fahmi menggoda, Abra diam menatap dingin Fahmi.
"Bisa diam tidak!" Sahut Abra sinis, Fahmi mengangguk tanda dia mengerti.
"Tuan, maaf saya terus memaksa bertemu dengan anda. Sebab semalam anda mengatakan ingin bertemu di kantor. Jadi sengaja saya datang pagi, karena takut mengganggu kesibukan tuan!" Ujar Embun sembari menatap wajah tampan Abra.
Pertama kali Embun bicara sedekat ini dengan laki-laki. Tatapan mata Embun, menunjukkan betapa dia berharap akan sebuah kebaikan dari Abra. Embun teguh atau lebih tepatnya keras kepala. Semua demi kebaikan warga desa. Apapun akan dilakukan oleh Embun? Asalkan warga desa mendapatkan kesejahteraan dari pabrik. Sumber rejeki yang selama ini menopang hidup sebagian besar warga desa.
"Hmmm!" Sahut Abra, seraya menatap kagum dua mata indah Embun.
"Embun, sekarang kamu sudah bertemu tuan Abra yang terhormat. Daripada kamu membuang waktu berhargamu. Lebih baik kamu katakan keinginan!" Ujar Fahmi sembari tersenyum menggoda Abra.
"Waktuku yang berharga bukan dia!" Sahut Abra dingin.
"Tuan Abra, saya tidak akan mengganggu waktu anda lebih lama lagi. Ini proposal yang sengaja saya siapkan. Agar anda bisa mempertimbangkan lagi keputusan untuk menutup pabrik. Silahkan anda memeriksa kebenaran data yang saya tulis. Jadi anda bisa menemukan letak kesalahan operasional pabrik. Sehingga pabrik mengalami penurunan yang sangat drastis!" Ujar Embun ramah dan sopan.
Embun memberikan sebuah map berwarna biru kepada Abra. Dengan santai Abra mengambil map dari tangan Embun. Entah kenapa Abra mulai tertarik untuk mendengar penjelasan Embun? Sikap hangat yang tak mungkin diberikan Abra pada wanita manapun? Fahmi menyadari perubahan Abra, sebagai sahabat sekaligus orang yang peduli pada Embun. Fahmi bahagia melihat kehangatan Abra. Setidaknya Abra tidak akan berbuat semaunya sendiri pada Embun.
"Sejak kapan kamu belajar menulis? Aku tidak percaya, kamu bisa membuat laporan serapi ini!" Ujar Abra tak percaya.
"Saya memang perempuan desa, tapi alhamdulillah saya masih mengenal perkembangan zaman!"
"Fahmi, kamu pelajari data ini. Besok aku ingin melihat penilaianmu. Kita tentukan besok, pabrik itu diruntuhkan atau tidak!"
"Siap tuan Abra!" Sahut Fahmi menggoda, dua mata Abra membulat menatap Fahmi tajam.
"Maaf!" Ujar Fahmi menyahuti tatapan Abra.
"Maaf tuan Abra, saya permisi pulang. Terima kasih bersedia menemui saya!" Pamit Embun, lalu membungkuk perlahan.
"Aku antar!" Ujar Fahmi, Embun menggelengkan kepalanya pelan.
"Sekali ini saja!"
"Maaf pak Fahmi, saya masih ada urusan. Saya akan pulang sore nanti. Jadi terima kasih atas tawarannya!" Ujar Embun sopan, Fahmi mengangguk menerima penolakan Embun.
"Sakitnya ditolak!" Bisik Abra, Fahmi menoleh ke arah Abra.
"Aku hanya menawarkan pertemenan, tidak lebih. Bodoh jika aku berharap lebih, ketika aku menyadari dia takkan bisa kugapai!"
"Seorang Fahmi menyerah sebelum berjuang. Apa aku tidak salah mendengar? Kamu playboy kampus, menyerah mendapatkan cinta gadis desa!"
"Abra, dia mungkin hanya gadis desa. Namun keteguhannya, kesucian dan keimanannya. Takkan tergoyahkan oleh ketampanan dan kemewahan yang kita tawarkan. Seandainya kamu mengetahui, siapa sebenarnya Embun Khafifah Fauziah? Kamu akan berpikir dua kali menghinanya!"
"Namanya Embun Khafifah Fauziah!" Ujar Abra tak percaya. Fahmi mengangguk tanpa ragu. Abra dia membisu, seketika bibirnya kelu. Fahmi heran melihat gelagat Abra yang aneh.
"Kenapa dengan namanya?"
"Fauziah, aku memanggilnya dulu!"
"Kamu mengenalnya!" Ujar Fahmi, Abra mengangguk.
"Dia teman kecilku. Usia kami berbeda beberapa tahun. Aku dan dia terpisah, ketika papa pindah ke luar negeri. Sedangkan dia harus menempuh pendidikan di pondok pesantren!"
"Kamu benar-benar mengenalnya!"
"Sudahlah, tidak penting. Itu masa kanak-kanak, tak perlu aku mengingatnya!" Ujar Abra dingin, lalu keluar dari kantor megahnya.
Braakkkk
Suara tabrakan dahsyat terdengar di depan gedung Abra. Nampak semua orang berlari, nampak beberapa sepeda motor berserakan. Abra dan Fahmi berlari melihat tabrakan yang terjadi. Mereka merasa takut, terjadi sesuatu pada Embun. Kecelakaan yang terjadi, hampir bersamaan dengan keluarnya Embun dari kantor Abra.
Abra dan Fahmi berlari tanpa komando. Mereka mencari keberadaan Embun. Gadis desa yang mengisi beberapa harinya. Tidak bisa dipungkiri, Abra dan Fahmi cemas memikirkan kondisi Embun. Apalagi saat tiba di lokasi, mereka melihat sepeda milik Embun. Abra dan Fahmi bergegas menghampiri kerumunan. Berharap bukan Embun korban tabrakan pagi ini.
"Dimana dia?" Ujar Fahmi cemas, Abra diam tak bergeming. Dia juga tak melihat keberadaan Embun.
"Embun!" Teriak Fahmi lantang.
Tak nampak wajah Embun, beberapa korban sudah mulai dibawa ke rumah sakit. Abra semakin cemas mencari keberadaan Embun. Mereka berlari tanpa arah, berharap kondisi Embun baik-baik saja. Namun semua seolah sia-sia, tak nampak wajah Embun. Kecemasan keduanya tak lagi bisa ditutupi. Bahkan beberapa karyawan Abra merasa bingung. Abra sang tuan yang dingin, berlari tanpa arah diantara korban kecelakaan. Suara sirine ambulans, semakin membuat hati keduanya gelisah.
"Fauziah!" Teriak Abra lantang, suaranya begitu keras menggema. Fahmi menoleh ke arah Abra. Nampak jelas ketakutan dimata sahabatnya. Abra sangat takut terjadi sesuatu pada Embun.
"Fauziah, dimana kamu?" Teriak Abra lebih lantang.
"Kenapa anda mengenal nama kecilku?" Ujar Embun lirih, dia berdiri tepat di belakang Abra.
Nampak hijab Embun penuh noda darah. Sejak tadi Embun membantu korban kecelakaan. Sebenarnya Embun juga korban kecelakaan, tapi Embun tidak terluka. Hanya ada beberapa goresan di kaki dan tangannya. Embun sempat menghindar, saat ada mobil yang melaju tanpa kendali. Mobil yang menjadi penyebab kecelakaan.
"Kamu baik-baik saja!" Ujar Abra lega, Embun berjalan mundur. Dia menjauh saat Abra hendak menyentuhnya. Abra ingin memeriksa kondisi Embun. Namun penolakan Embun nyata, batasan keduanya tak bisa diabaikan begitu saja.
"Anda belum menjawab pertanyaanku!"
"Tidak penting, aku harus pergi sekarang!" Ujar Abra dingin, menutupi kegelisahan yang mengusik hatinya.
"Fahmi kita pergi!" Ujar Abra, lalu berjalan menjauh dari Embun.
"Hanya Achmad yang memanggilku Fauziah!" Teriak Embun lantang, Fahmi menoleh bergantian ke arah Abra dan Embun.
"Kalian saling mengenal!"
"Fahmi, kita pergi!"
"Tapi Abra!"
"Hanya pengecut yang terus lari dari kenyataan. Dulu kamu pergi tanpa pamit, hari ini kamu menghindar tanpa menoleh. Aku tidak peduli kamu Achmad atau Abra. Bagiku keduanya tak berarti dalam hidupku. Saat ini aku menemuimu demi warga desaku, tidak lebih!" Tutur Embun, Abra diam tanpa menoleh.
"Embun, kita pulang sekarang!" Pinta Ilham ramah, Embun mengangguk pelan.
"Bukankah dia putra kepala desa!" Ujar Fahmi lirih, Abra membalikkan tubuhnya. Dia melihat Embun berjalan bersama dengan Ilham.
"Dia telah berubah!" Batin Abra sendu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
wah ternyata mereka b-2 ada story di masa kecil yah
2023-06-09
0
Arin
klo peran cwe Kay gni mah sy suka sekli🥰
2023-05-10
0
candra rahma
bucin nt km Abra ka dabra😂
2022-11-01
0