"Ada apa? Kenapa semua orang berkumpul?" Ujar Nur penasaran, Embun mengangkat kedua bahunya pelan. Tanda Embun juga tidak tahu alasan warga desa berkumpul.
Embun dan Nur menghentikan laju sepeda motor matic yang mereka tumpangi. Embun sejenak mengamati, beberapa warga yang berkumpul di depan pabrik tua. Sebuah bangunan tua peninggalan zaman Belanda yang masih berdiri kokoh. Meski nampak beberapa bagian bangunan yang mulai tua dan berlumut. Namun tak bisa diragukan lagi, pabrik itu tetap kokoh tak lapuk di makan zaman.
Embun berjalan mendekat, dia merasa perlu mengetahui masalah yang terjadi. Tak seperti biasanya para warga berkumpul. Embun juga melihat, beberapa pemuda desa, baik laki-laki dan perempuan berkumpul. Mereka tak lain buruh pabrik yang mungkin terlibat masalah. Embun semakin penasaran, ketika tepat di depan pabrik. Embun melihat beberapa alat berat terparkir manis. Nampak beberapa excavator berhenti tepat di depan pintu masuk pabrik. Rasa penasaran Embun berubah menjadi kepedulian. Dia merasa ada masalah yang tengah dihadapi oleh warga desa.
Embun terus berjalan maju, dia berdiri paling depan. Embun mencoba mencari tahu dari beberapa warga yang dikenalnya. Sepintas Embun mengerti masalah yang tengah dihadapi warga desa. Sebagai orang yang ingin melihat desanya maju. Embun merasa harus ikut campur, tidak peduli resiko yang akan diterimanya.
"Kenapa kalian ingin membongkar pabrik? Selama ini warga desa bergantung pada operasional pabrik!" Ujar Ilham lantang penuh emosi, Embun tersentak kaget. Saat dia melihat Ilham tengah berdebat dengan salah satu manager pabrik. Beberapa aparat juga hadir menjaga keamanan.
Embun menghampiri Ilham, sedangkan Nur masih berjalan jauh di belakang. Nur nampak kesulitan menerobos kerumunan warga desa. Embun gadis lembut, bisa berubah menjadi kuat. Saat dia harus melawan atau menolong orang lain. Embun berdiri tepat di samping Ilham. Tanpa banyak bertanya, Embun merebut berkas yang ada di tangan Ilham. Sejenak Embun fokus membaca tulisan dalam berkas yang ada di tangannya. Embun mencoba mencerna masalah yang sedang terjadi. Mencari solusi tanpa otot atau perdebatan yang hanya bisa menghancurkan.
"Maaf sebelumnya, saya bicara dengan siapa?" Ujar Embun ramah, sang manager tersenyum ke arah Embun. Ilham terkejut melihat keramahan Embun yang seharusnya menjadi amarah. Namun tatapan penuh amarah Ilham, tak lantas membuat Embun berubah kasar.
"Saya Fahmi Antara, asisten pribadi yang ditunjuk langsung pemilik pabrik!" Ujar Fahmi, sembari mengulurkan tangan. Seketika Embun menangkupkan tangan.
"Embun!" Ujar Embun ramah, Fahmi mengangguk mengerti.
"Maaf pak Fahmi, saya tidak mengerti kenapa kalian harus meruntuhkan pabrik? Selama ini pabrik ini menjadi tempat bertumpu warga desa. Jika tidak keberatan, bisakah anda mengatakan alasan yang sebenarnya!" Tutur Embun lirih, Fahmi mengangguk seraya mengutas senyum. Sebaliknya Ilham semakin kesal melihat keramahan Embun. Ilham merasa cemburu melihat kedekatan yang tiba-tiba tercipta diantara Embun dan Fahmi.
"Seharusnya anda!" Ujar Fahmi, tapi perpotong ketika melihat gelengan kepala Embun.
"Panggil saja Embun, saya hanya warga desa biasa!"
"Baiklah kalau begitu, aku akan memanggilmu Embun!"
"Tidak perlu kamu berbaik hati. Mereka datang untuk meruntuhkan pabrik ini. Mereka ingin membuat warga desa sengsara!" Ujar Ilham emosi, Embun langsung menoleh. Dia menatap Ilham tajam, seolah Embun tak menyukai sikap kasar Ilham. Seketika pula, Ilham menunduk. Dia tidak ingin melihat tatapan kebencian Embun. Setidaknya saat cintanya tak terbalas, Ilham masih bisa menatap wajah Embun.
"Embun, berkas yang ada di tanganmu sudah bisa menjelaskan alasan kami meruntuhkan pabrik tua ini!" Ujar Fahmi ramah, Embun menggelengkan kepalanya pelan.
"Pak Fahmi, tulisan yang ada di dalam berkas ini tak sepenuhnya aku pahami. Satu hal yang aku pahami, kalian datang ingin meruntuhkan tempat kami mencari nafkah. Pabrik tua yang kalian anggap tak berharga. Ibarat sumber air di gersang desa kami. Jika anda meruntuhkan pabrik ini, artinya anda mengambil sumber mata air kami!"
"Maafkan aku Embun, kebijakan meruntuhkan pabrik ada di tangan pemimpin kami. Beliau merasa pabrik ini sudah tak layak untuk beroperasi. Kuantintas hasil produksi pabrik, tak mampu memenuhi kebutuhan pabrik pusat. Namun pengeluaran untuk operasional terus membengkak. Sebab itu, pabrik harus ditutup. Agar tak terjadi kerugian yang semakin besar!" Tutur Fahmi menerangkan, Embun menunduk lesu.
Embun tak pernah mengenal bangku kuliah. Namun memahami penjelasan Fahmi, Embun mengerti arah masalah yang terjadi. Pabrik tua penggilingan singkong sudah berdiri sejak puluhan tahun yang lalu. Embun mengingat benar, saat dia masih SD. Pabrik ini sudah berdiri kokoh, pabrik yang menjadi tumpuan warga desa. Pabrik penghasil tepung tapioka terbaik di kota ini. Bahkan mungkin di negara ini. Namun sejak beberapa tahun belakangan. Pabrik mulai jarang beroperasi, hasil panen yang menurun serta alat-alat pabrik yang mulai menua menjadi alasan pabrik sering berhenti beroperasi.
"Tidak bisakah pak Fahmi memberi kebijakan yang baru. Setidaknya biarkan pabrik beroperasi semampunya. Kemana warga desa menjual hasil panen? Jika selama ini, pabrik ini yang menjadi tempat kami menjual singkong dengan harga yang tinggi. Kemana mereka bekerja? Jika selama ini, pabrik tua ini tempat mereka mengais rejeki. Setidaknya pak Fahmi mempertimbangkan kehidupan warga desa!"
"Seandainya aku mampu!"
"Maksud pak Fahmi!" Ujar Embun tak mengerti.
Fahmi menoleh ke arah sebuah mobil mewah berwarna hitam. Nampak duduk seseorang dengan penampilan yang begitu rapi. Embun melihat sosok yang seolah ingin ditunjukkan Fahmi. Dengan mudah Embun memahami maksud perkataan Fahmi.
"Dia pewaris tunggal pabrik ini. Beliau baru kembali dari luar negeri. Hanya dia yang mampu merubah segalanya. Namun sejauh aku mengenalnya, dia tidak akan peduli akan rintihanmu. Pengusaha berhati dingin yang takkan peduli dengan air mata siapapun?" Ujar Fahmi lirih, Embun menunduk semakin dalam.
Embun menangkupkan kedua tangan tepat di depan dadanya. Ilham yang sejak tadi diam, langsung menarik tangan Embun turun. Ilham lupa akan batasan dirinya dengan Embun. Ilham hanya tak ingin melihat Embun menghiba. Apalagi pada orang-orang berhati dingin di depannya.
"Embun, tak perlu kamu memohon. Biarkan mereka meruntuhkan pabrik. Kita akan melawan!"
"Diam kamu!" Bentak Embun, Fahmi terkejut mendengar suara keras Embun. Ketegasan yang tiba-tiba muncul. Fahmi tak percaya, dalam lembut Embun ada kekuatan yang tersembunyi.
"Tapi Embun!"
"Biarkan aku melakukan tugasku. Aku siap mempertaruhkan segalanya. Asalkan desaku tak menangis!" Ujar Embun tegas, Ilham seketika diam. Dia mengenal Embun, tak mudah merubah pemikiran Embun.
"Apa yang kamu harapkan dariku Embun?"
"Pak Fahmi, biarkan aku menemui tuanmu. Aku akan bicara dengannya, akan kubuat dia yakin. Jika pabrik tidak perlu ditutup. Aku akan berusaha keras mengembalikan pabrik seperti dulu. Namun jangan pernah menutup pabrik, warga desa butuh pabrik tua ini!" Ujar Embun menghiba, tangannya terus menangkup. Fahmi diam, lalu menoleh ke arah mobil. Dengan isyarat mata, Fahmi mengirim pesan pada tuannya.
"Dia bersedia bertemu denganmu, tapi tidak di tempat ini. Beri aku nomer ponselmu, aku akan membuat janji denganmu!"
"Kenapa tidak sekarang?" Ujar Embun menawar, Fahmi menggelengkan kepalanya pelan.
"Semua tergantung dirimu, menemui tuanku atau detik ini akan kami runtuhkan pabrik!" Ujar Fahmi tegas, sontak Embun menggelengkan kepalanya.
"Jangan runtuhkan pabrik, aku akan menemui tuan anda. Kapanpun dan dimanapun?" Ujar Embun final, lalu memberikan nomer ponselnya pada Fahmi.
"Embun!" Sapa Fahmi, Embun mendongak menatap Fahmi yang sudah berdiri sedikit jauh darinya.
"Tuanku tidak mudah dihadapi, tapi persetujuannya menemuimu. Satu kesempatan langkah yang tak mungkin didapatkan orang lain!" Ujar Fahmi lalu melangkah menjauh.
"Embun lupakan pertemuan itu!" Ujar Ilham.
"Apa aku juga harus melupakan kegelisahan warga desa?" Sahut Embun dingin, jawaban yang nyata membuat Ilham terdiam. Embun berjalan lunglai menuju sepeda motornya. Hatinya gelisah dan bimbang. Tak pernah Embun menemui laki-laki tanpa kedua orang tuanya.
"Ilham, cemburu membuatmu semakin jauh dengan Embun. Jaga sikapmu, jika tidak ingin melihat Embun melangkah menjauh darimu!" Bisik Nur lirih, Ilham langsung menunduk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
uda fav lama, baru mulai baca lagi, semoga menarik ceritanya
2023-06-09
0
candra rahma
aku jd ingat cerita suamiku pabrik tebu tempat almarhum bpk mertua ku kerja saat itu jg di tutup tp waktu itu aku blm jd menantunya bahkan aku blm lahir mlhan denger ceritanya doang dah sedih apa lg melihatnya
2022-10-31
1
Cindy Ralisya
baguusssss thor novelmu
2022-10-28
0