"Aku pergi dulu!" Pamit Embun, seraya menarik tangan Abra. Embun mencium punggung tangan Abra. Dengan tatapan tak percaya Abra terdiam. Abra merasa terkejut, ketika mendengar Embun berpamitan.
"Tunggu, kamu akan kemana?"
"Bukankah kamu sudah sampai di kantor. Aku juga sudah ikut sampai ke kantor. Jadi sekarang aku ingin pergi. Aku ada janji dengan seseorang!"
"Kamu ada janji dengan siapa? Kenapa tadi kamu tidak mengatakannya? Aku pikir kamu akan ikut ke dalam. Jika kamu pergi, aku akan ikut denganmu!" Ujar Abra tegas dan lantang.
"Untuk apa?"
"Menamanimu!"
"Aku bukan anak kecil, tidak perlu ditemani. Kita punya urusan sendiri-sendiri. Jadi aku mohon hargai itu!" Ujar Embun tegas, lalu membuka pintu mobil Abra.
Seketika Abra turun dan berlari memutar. Entah kenapa Abra begitu protektif pada Embun? Jauh sebelum kejadian semalam. Abra masih baik-baik saja, tidak pernah Abra berpikir mengekang Embun. Malah cenderung acuh dengan kegiatan Embun. Namun semua berubah, kejadian semalam benar-benar merubah hidup Abra. Ada rasa takut kehilangan, kegelisahan yang seolah mengisi penuh hatinya saat ini. Kehangatan yang terjadi diantara Abra dan Embun. Menyadarkan Abra, Embun begitu berharga dan akan terus berharga dalam hidupnya.
"Sayang, aku mohon jangan pergi!" Ujar Abra menghiba, dengan sigap Abra menahan langkah kaki Embun. Dia tidak ingin Embun pergi menjauh darinya.
Embun menoleh dengan raut wajah penuh tanya dan tak percaya. Perubahan sikap Abra dalam semalam. Benar-benar membuatnya bingung. Abra seakan ingin terus mengintai kegiatan Embun. Meski semua itu benar, sebab status mereka yang telah bersama. Jelas memberikan hak Abra sepenuhnya atas diri Embun.
"Apa yang kamu inginkan? Aku sudah ikut denganmu. Sekarang saat aku ingin pergi, kamu malah melarang. Aku benar-benar harus pergi. Ada yang harus aku kerjakan!" Ujar Embun, Abra menggelengkan kepalanya lemah.
"Terus, apa yang bisa aku lakukan? Menemanimu rapat, duduk di pojok ruangan. Menerima tatapan penuh tanya para pegawaimu!" Cecar Embun, Abra diam membisu.
"Tunggulah Abra di ruangannya. Rapat pagi ini akan berlangsung cepat. Ini hanya rapat evaluasi!" Timpal Fahmi, Abra mengangguk pelan. Seakan setuju dengan perkataan Fahmi. Sebaliknya Embun langsung menoleh ke arah Fahmi. Tatapan tajam dan tidak suka, bak belati tajam yang siap menusuk Fahmi.
Sontak Fahmi menutup mulut dengan tangannya. Dia berjalan mundur menjauh dari Abra dan Embun. Fahmi memilih menjadi penengah. Dia tidak ingin menjadi bagian dari perdebatan sebuah keluarga. Abra menghela napas, seakan dia sadar akan amarah Embun.
"Sayang!"
"Aku pergi sekarang!" Sahut Embun dingin, lalu mencium punggung tangan Abra. Fahmi tersenyum melihat Abra yang terlalu cemburu akan Embun.
"Biarkan dia pergi, Embun bisa menjaga kesuciannya!" Ujar Ardi lantang, Haykal berjalan tepat di belakangnya.
"Tapi kakek!" Sahut Abra, Ardi hanya menggelengkan kepala. Dia mengerti arti rengekan Abra. Namun Embun berhak hidup bebas. Dia tak seharusnya terkekang dengan statusnya kini.
"Terima kasih, Embun permisi!" Ujar Embun sesaat setelah dia mencium punggung tangan Ardi. Sedangkan pada Haykal, Embun hanya mengangguk. Tanda dia menghormati Haykal.
"Aku akan menjemputmu!" Ujar Abra lantang, tapi Embun diam tak menoleh. Dia terus berjalan menjauh. Meninggalkan Abra dengan perasaan galau.
"Semakin kamu mengekangnya, semakin dia ingin lepas. Jauh sebelum mengenalmu, dia bisa menjaga kesuciannya. Sekarang percaya dan yakinlah, Embun akan terus menjaga kesuciannya demi dirimu!" Ujar Ardi lirih, Abra mengangguk pelan. Fahmi menghampiri Abra, dia mendekat tepat di samping Abra.
"Dasar bucin!" Bisik Fahmi menggoda Abra.
"Diam kamu!"
Dengan berat hati Abra membiarkan Embun pergi. Menepis kegelisahan dalam hatinya, mencoba percaya jika semua akan baik-baik saja. Abra menuruti perkataan Ardi, dengan percaya pada kesetian Embun. Akhirnya Abra ikhlas melepas Embun dan pertama kalinya Abra merasa enggan mengikuti rapat penting di perusahaannya.
PUKUL 16.00 WIB
Setengah hari berlalu, tak ada kabar dari Embun. Abra sudah menyelesaikan rapatnya beberapa jam yang lalu. Tepat setelah kekuar dari ruang rapat. Abra mencoba menghubungi Embun, tapi ponsel Embun tak bisa dihubungi. Sejak saat itu Abra uring-uringan. Dia merasa kacau, ketika tak bisa menghubungi Embun. Ardi melihat kegalauan Abra, dengan penuh pengertian Ardi mengajak Abra pulang. Berharap Ardi bisa menengkan Abra yang kalut.
"Duduk Abra, kakek ingin bicara!" Ujar Ardi, Abra mengangguk lalu duduk tepat di depan Ardi. Abra duduk dengan lemas, seolah tak ada gairah dalam hidupnya.
Haykal melihat putranya yang tiba-tiba rapuh dalam cinta. Namun cinta yang tak pernah diinginkan Haykal. Sebaliknya Indira merasa iba, putra sambungnya benar-benar kacau. Tak ada raut wajah tegas, layaknya Abra setiap harinya. Abra nampak lesu tak bersemangat, Embun memporak-porandakan hati Abra.
"Abra!"
"Ada apa kakek?" Sahut Abra lemah, Ardi menggelengkan kepala tak percaya. Cucunya larut dalam kesedihan yang tak beralasan.
"Kenapa kamu lesu? Apa kalian bertengkar sebelum datang ke kantor? Atau terjadi sesuatu di rumah Embun?" Tanya Ardi, Abra menggelengkan kepalanya.
"Lalu!" Ujar Ardi tidak mengerti dengan perubahan sikap Abra.
"Dia sedang bingung, ingin melanjutkan atau mengakhiri pernikahan secara agamanya!" Sahut Haykal sinis, Abra mendongak terkejut. Kedua matanya membulat sempurna, tak percaya akan perkataan Haykal. Satu-satunya orang yang menginginkan pernikahannya gagal.
"Papa, aku mohon jangan memulai pertengkaran!" Ujar Abra lirih dan sopan. Haykal dan Ardi menatap Abra penuh tanya. Sikap tenang yang tak pernah dan tidak akan mungkin ada dalam diri Abra. Nyata kini terlihat oleh Ardi dan Haykal.
"Lantas, apa arti sikap lesumu? Saat rapat kamu kurang fokus. Pulang dari kantor, kamu nampak gelisah. Sejak tadi kakek melihatmu memutar ponsel tanpa henti. Katakan kegelisahanmu, agar kakek bisa membantumu!"
"Embun!" Ujar Abra singkat dan tegas.
Tak ada kata lain, satu kata yang sejak tadi ada dalam hatinya. Satu nama yang mengusik ketenangan Abra. Menghapus amarah menjadi sikap bijak. Mengukir kenangan indah, sekaligus ketakutan akan rasa kehilangan. Abra benar-benar larut dalam satu nama, Embun yang begitu bening mendinginkan hatinya.
"Kenapa dengan Embun? Kakek merasa dia baik-baik saja. Bahkan tadi dia pergi dengan baik-baik. Tidak ada pertengkaran atau penolakan akan hubungan kalian darinya. Jelas ketakutanmu tanpa alasan!"
"Entahlah kakek, semakin aku mengenalnya. Semakin aku takut kehilangan dirinya. Embun begitu dingin padaku, bahkan dia masih menyimpan banyak hal dariku. Termasuk kegiatan padat bersama teman-temannya!" Ujar Abra lirih, Ardi mengangguk mengerti.
"Itukah alasanmu mengekang Embun. Percayalah Abra, dia selalu menjaga kehormatannya. Bukankah kamu sudah membuktikan kesuciannya. Kamu sudah memiliki Embun sepenuhnya!"
"Belum kakek, aku masih memiliki dia setengah. Hatinya tak mampu aku rangkul. Meski tubuhnya telah aku dekap. Benteng tinggi seolah membatasi kami berdua. Embun menjaga jarak denganku. Dia melakukan semua kewajibannya, tapi menghalangiku memberikan haknya!"
"Abra, nikahi Embun secara resmi. Jadikan dia nyonya Abra Achmad Abimata yang sesungguhnya. Kenalkan dia pada duniamu, bawa dia hidup dalam lingkunganmu. Jadikan Embun bagian keluarga Abimata. Agar dia menjadi milikmu sepenuhnya!" Ujar Ardi, Abra menghela napas panjang. Sedangkan Haykal dan Indira saling menatap. Seakan tak percaya akan perkataan Ardi.
"Itu yang aku harapkan, tapi tidak untuk Embun!"
"Maksudmu!"
"Kakek, semalam aku menanyakan soal pernikahan kami. Embun hanya menjawab, jika belum waktunya. Jawaban yang sampai saat ini membuatku bingung. Dia istriku secara agama, aku telah merenggut kesuciannya. Namun kenapa Embun masih ragu menikah denganku? Apa yang membuat Embun begitu dingin?"
"Dia hanya jual mahal, meski sebenarnya dia murahan!" Sahut Naura sinis, Abra menoleh dengan tatapan tajamnya.
"Apa kamu ingin kakak menghentikan uang jajanmu?"
"Aku bicara yang sebenarnya kak. Dia bertemu dengan laki-laki di pusat perbelanjaan. Bahkan aku merekamnya!" Ujar Naura tegas, lalu menyodorkan ponselnya pada Abra.
Abra langsung mengambil ponsel Naura. Dengan perasaan was-was, Abra melihat rekaman yang ditunjukkan Naura. Kedua mata Abra terbelalak, melihat video yang ditunjukkan Naura. Seketika kedua mata Abra memerah. Amarah jelas telihat dari genggaman Abra yang begitu kuat. Naura tersenyum sinis, melihat amarah Abra. Seolah semua itu hal yang paling membahagiakan dalam hidupnya.
"Pantas dia menolak kujemput. Bahkan dia sengaja mematikan ponselnya. Kenapa Embun? Kenapa kamu menyakiti hatiku? Sumpah, hatiku sakit dan dadaku sesak. Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi? Jika aku bertemu denganmu saat ini!" Batin Abra penuh amarah.
"Sekarang, apa kakak masih menyalahkanku? Perempuan desa itu yang tidak tahu diri. Dia seharusnya bangga dan bahagia. Keluarga Abimata berniat menjadikannya keluarga. Bukan malah mengkhianati kakak!" Ujar Naura mencoba membakar amarah Abra.
Ardi berdiri lalu menepuk pelan pundak Abra. Sedikitpun raut wajah Ardi tidak berubah. Perkataan ataupun bukti yang ditunjukkan Naura. Tak membuat Ardi percaya, jika Embun telah melakukan semua itu. Ardi mengenal pribadi Embun. Jauh sebelum Embun menjadi cucu menantunya. Ardi satu-satunya orang yang mencoba mengerti jalan pikiran Embun.
"Abra, pikirkan semua dengan kepala dingin. Jangan sampai kamu salah langkah. Ingat Abra, amarah tidak akan menyelesaikan masalah. Jangan karena bukti tanpa penjelasan, membuatmu melakukan kesalahan yang akhirnya kamu sesali seumur hidup!" Tutur Ardi, sembari menepuk pelan pundak Abra.
"Maksud kakek!" Ujar Abra tak mengerti, Ardi tersenyum.
"Kamu harus memahami semuanya sendiri. Sebentar lagi Embun sampai, jika kamu bijak. Kamu akan mengetahui, cara menyelesaikan masalah kalian. Namun sebaliknya, jika amarahmu yang menguasai hatimu. Maka semua tidak akan berakhir baik!" Tutur Ardi, lalu pergi menuju ruang kerjanya.
Tap Tap Tap
"Maaf tuan Abra, ada mbak Embun di depan!" Ujar Siti, salah satu asisten rumah tangga Abra.
"Persilahkan dia masuk!"
"Mbak Embun tidak bersedia, gamisnya basah kuyub. Seban di luar hujan cukup deras. Beliau hanya meminta dipanggilkan tuan. Jika tuan tidak bersedia keluar, mbak Embun akan langsung pulang!"
"Kakak dengar sendiri, belum menjadi istri sah. Dia sudah memerintah kakak seenaknya sendiri!" Sahut Naura sinis, Siti diam menunduk. Sebaliknya Abra diam membisu, pikirannya kalut. Dia benar-benar bingung dengan yang terjadi.
"Suruh dia pergi!" Titah Haykal lantang, Siti mengangguk pelan. Lalu memutar tubuhnya, Siti berjalan menuju pintu utama. Tempat dimana Embun menunggu bersama Nur. Abra tidak menghentikan Siti, dia seolah setuju dengan perkataan Haykal.
Siti menyampaikan amanah dari Haykal. Dengan penuh senyum Embun menerima keputusan Abra. Setelah berpamitan pada Siti, Embun langsung memakai jaket dan helm. Setidaknya Embun tidak akan terlalu dingin. Sebab Nur lupa membawa jas hujan. Embun tersenyum ke arah Nur, seolah Embun mengerti kesedihan Nur. Ketika melihat sahabatnya diusir dari rumah suaminya.
"Kita pulang!"
"Kamu baik-baik saja!" Ujar Nur lirih, Embun mengangguk.
"Aku baik-baik saja, aku tidak akan sakit hanya karena penolakan ini. Namun satu hal yang harus kamu ingat. Apapun yang terjadi di rumah ini. Jangan sampai terdengar abah, dia akan terluka. Sedikitpun aku tidak marah atau sakit terusir dari rumah ini. Sebab sampai sekarang, tak pernah aku berpikir menjadi bagian dari keluarga ini!" Ujar Embun, lalu duduk di depan Nur.
Embun mengambil alih kemudi, dia yang akan menyetir sepeda matic milik Nur. Sedangkan Nur duduk di belakang dengan menggunakan jas hujan singel. Embun lebih ahli mengendarai sepeda motor dalam hujan. Sebab itu meski tanpa mantel, Embun memilih menyetir sepeda.
"Kamu akan pulang begitu saja. Kamu tidak menyapaku atau keluarga yang lain!" Ujar Abra dingin, Embun membuka kaca penutup helm. Dia menoleh ke arah Abra, tubuhnya sudah basah kuyub oleh air hujan. Tidak mungkin bagi Embun menghampiri Abra.
"Aku harus pulang, lain kali aku mampir ke rumahmu. Hujan semakin deras, sebentar lagi malam!"
"Hanya itu yang kamu katakan. Setelah pengkhianatamu!" Ujar Abra dengan penuh emosi, Embun menoleh ke arah Nur. Dengan mengangguk kepala, Embun mengisyaratkan Nur turun dari sepeda. Embun turun menghampiri Abra, dia melepas helm dan jaket yang terlanjur basah
"Pengkhianatan!" Ujar Embun tak mengerti.
"Iya, kamu pengkhianat. Kamu telah mengkhianati kebaikan kakakku. Di belakangnya kamu menemui laki-laki lain. Dasar kamu perempuan murah!" Sahut Naura memanasi keadaan.
"Laki-laki, siapa yang kalian maksud!" Sahut Embun tak mengerti.
"Jangan pura-pura bodoh, aku melihatnya. Kalian bertemu di pusat perbelanjaan!" Ujar Naura tegas, penuh percaya diri.
"Laki-laki itu!"
"Iya, laki-laki yang membelikanmu banyak barang. Dia yang membelimu dengan begitu murah!"
"Jaga bicaramu!" Ujar Embun marah, tangannya menunjuk tepat ke arah wajah Naura.
"Kamu memang murah!"
"Kenapa kamu diam Abra? Kamu setuju dengan perkataannya!"
"Kamu memang bertemu dengannya!" Ujar Abra singkat.
"Apa itu alasanmu mengusirku? Tapi sudahlah semua itu tidak penting. Aku juga tidak peduli kamu percaya perkataanku atau tidak. Satu hal yang membuatku sadar. Kita memang tidak ditakdirkan bersama!" Ujar Embun final, lalu memakai kembali jaket basah dan helmnya.
"Kita pulang Nur!"
"Tapi!" Sahut Nur ragu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
yang satu cemburu buta, yang satu sangat menjujung tinggi harga diri, yah jadi akan salah paham terus ini mah
2023-06-09
1
Aliya Jazila
jaga jarak dg pria yg bukan muhrim mu embun bukankah kamu tau agama
2023-05-13
0
manda_
lanjut thor semangat buat up lagi ya ditunggu thor aku suka abra bodoh bgt selalu pake emosi nanti kamu nyesel
2022-10-28
0