"Bagaimana keadaan ayah saya?" Ujar Embun dengan suara bergetar. Kedua matanya sembab, seakan ingin menunjukkan tetes demi tetes air mata yang turun.
Air mata Embun terus menetes, saat rasa khawatir menyelimuti hatinya. Embun ketakutan, gelisah melihat sakit sang ayah. Ketegarannya seakan sirna, kalah oleh rasa takut kehilangan. Embun merasa lemah tanpa sosok ayah di sampingnya. Kini air mata yang nampak dari pribadi Embun yang selalu tegas dan kuat. Kekhawatiran Embun bukan tanpa alasan. Dunianya seolah runtuh, saat dia melihat tubuh sang ayah tergeletak tak berdaya di tengah ladang belakang rumahnya.
Di sinilah Embun menatap cemas pintu IGD yang tertutup rapat. Berharap pintu terbuka, membawa kabar baik akan kondisi sang ayah. Rasa gelisahnya berkurang, saat seorang dokter keluar dari ruang IGD. Dengan sebuah harapan, Embun berlari menghampiri sang dokter. Nampak wajah dokter yang begitu tenang, sedikit melegakan hati Embun yang bergemuruh.
"Sementara waktu, beliau baik-baik saja. Kita masih harus menunggu beberapa jam ke depan. Jika kondisinya membaik, beliau akan dipindahkan menuju ruang rawat inap!" Sahut sang dokter, Embun langsung menunduk lesu. Nampak ketakutan Embun yang begitu besar. Kehilangan sosok pelindung dalam hidupnya. Bukan sesuatu yang mudah diterima olehnya.
"Jadi!"
"Tim ruang IGD akan terus memantau kondisi beliau. Tentu saja dibawah arahan dan pengawasan saya. Sekarang kita hanya menunggu kesadaran beliau kembali. Sebab kesadaran beliau, tanda awal beliau melewati masa kritis!" Ujar sang dokter tenang.
Embun mengangguk pasrah, tubuh mungilnya terasa lunglai. Sendiri di rumah sakit sebesar ini, bukanlah alasan lemah dan takutnya. Namun memikirkan dia harus hidup sendiri tanpa sang ayah. Membuatnya tak berdaya dan takut akan sepi yang kelak menyelimuti hidupnya. Embun tertunduk lesu, lemah yang jelas ditangkap oleh dua mata indah sang dokter muda.
"Ibu tidak perlu khawatir, saya akan memantau kondisi beliau. Saya akan berusaha menyadarkan beliau. Sementara saya berusaha, ibu berdoalah. Agar beliau segera tersadar!" Ujar Naufal, dokter muda spesiali saraf. Dokter yang kini menangani ayah Embun.
Embun mendongak menatap wajah tampan sang dokter. Tatapan yang seolah menghiba akan sebuah pertolongan. Sesaat Embun terkesima akan pribadi sang dokter. Bukan karena ketampanan Embun, melainkan perkataan Naufal yang menyadarkan Embun akan satu pertolongan yang lain. Sebuah sujud yang terlupa oleh Embun. Doa yang seolah kalah oleh rasa takut dan air mata. Embun merasa malu, ketika dia berharap pada keahlian dokter. Namun sang dokter mengingatkan dirinya akan pertolongan yang jauh lebih hebat dan kuat.
"Terima kasih!" Ujar Embun, Naufal menatap tak mengerti. Sekilas nampak rasa kagum dari mata Embun. Namun semua sirna, kala dua mata Embun tertunduk.
"Untuk!"
"Sebuah sujud yang terlupa olehku. Ketakutan membuatku bergantu pada orang lain. Melupakan kekuatan paling besar, penolong yang selalu ada untuk hamba-NYA!" Ujar Embun, Naufal mengangguk mengerti.
"Jika memang anda ingin bersujud. Anda bisa pergi, percayalah beliau akan aman dalam pengawasan kami!"
"Terima kasih!" Ujar Embun, lirih dan ramah.
Embun dan Naufal terpisah, keduanya berjalan ke arah yang berbeda. Meninggalkan sejenak pertemuan mereka yang tak terduga. Melewati jalan yang berbeda, tanpa berharap akan bertemu kelak. Meski tanpa mereka sadari, keduanya akan terikat satu dengan yang lainnya. Pertemuan tanpa rencana, tapi pasti terjadi kelak. Hanya sang pemilik hidup yang tahu kepastian akan pertemuannya.
"Ibu!" Panggil Naufal, Embun menoleh seraya mengutas senyum.
"Embun Khafifah Fauziah, panggil aku Embun!" Sahut Embun, Naufal mengangguk pelan.
"Nafis Naufal Farzan, panggil aku dokter Naufal!" Sahut Naufal, Embun mengangguk pelan.
"Sekali lagi terima kasih!" Ujar Embun, lalu Embun melangkah menjauh. Hanya punggung yang nampak dalam pandangan Naufal.
"Wanita kuat yang akan lemah, ketika sang pelindung terluka!" Batin Naufal.
Buugh
"Jaga pandanganmu, takutnya dia sudah dimiliki!" Ujar Vian, salah satu sahabat Naufal.
"Aku kagum akan pandangannya. Dia begitu menjaga prinsipnya. Wanita yang begitu menjaga imannya. Wanita yang sulit kita dapatkan di zaman sekarang!" Ujar Naufal, Vian mengangguk pelan.
"Hati-hati dari kekaguman sesaat kamu bisa jatuh cinta. Ingat perjodohanmu akan berlangsung. Melihat penampilannya, dia bukan tipe menantu idaman orang tuamu. Kamu tentu masih ingat, apa yang terjadi dengan kekasihmu dulu? Jika memang kamu menyukainya, melupakan menjadi jalan paling baik!"
"Kamu terlalu panjang berpikir. Tak mungkin ada kata suka dalam pertemuan pertama!" Ujar Naufal membela diri.
"Aku harap itu benar!" Ujar Vian lalu meninggalkan Naufal. Keduanya sahabat sejak SMA, tapi memilih jurusan yang berbeda dalam spesialis.
"Aku pastikan takkan ada cinta untuk wanita seanggun dia. Cukup satu wanita yang hancur, karena cintaku. Takkan aku biarkan wanita lain terluka. Benih cinta takkan pernah aku tanamkan. Agar benih kasih sayang takkan tumbuh dalam gersang dan panas keluargaku!" Batin Naufal tegas.
TAP TAP TAP
Suara langkah tegap Naufal terdengar di lorong rumah sakit yang sunyi. Malam semakin larut, Naufal mulai merasa lelah. Dia berjalan menuju ruang istirahat khusus dokter. Setelah memeriksa kondisi Iman, Naufal memilih mengistirahatkan sebentar tubuhnya. Ada sedikit rasa kecewa, ketika dia tidak melihat Embun di depan ruang IGD. Setitik rasa kecewa yang tanpa sadar menjadi sebuah rasa rindu.
"Dia!" Ujar Naufal lirih, tapi terdengar keras di lorong rumah sakit yang sunyi.
Langkah kaki Naufal seketika terhenti, tepat di depan mushola rumah sakit. Suara merdu nan pelan Embun, terdengar begitu nyaring di telinga Naufal. Keterkejutan yang membuatnya tersadar. Jika Embun ada di dalam mushola. Di tengah gelap malam, diantara sunyi rumah sakit. Naufal melihat Embun bersujud, melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran. Menyerahkan kesembuhan sang ayah, menghiba akan pertolongan sang pencipta.
Naufal berdiri tegak, menatap Embun yang begitu khusyuk dalam bersujud. Terlintas dalam benaknya, sebuah kekaguman yang begitu besar. Embun menyinarkan sebuah terang dalam gelap malam yang dilalui Naufal. Ada rasa hangat menelisik dalam hati Naufal. Sebuah kehangatan yang membuatnya merasa ingin mengenal Embun lebih dalam.
"Wanita yang mengagumkan!" Batin Naufal.
"Anda mencari saya dokter!" Sapa Embun ramah, Naufal menggelengkan kepalanya.
"Kebetulan saya lewat!"
"Baiklah, saya harus menunggu abah!" Pamit Embun, Naufal mengangguk pelan.
"Kamu baik-baik saja!"
"Maksudnya?"
"Menunggu di luar ruang IGD!" Ujar Naufal khawatir, Embun tersenyum.
"Saya baik-baik saja!" Sahut Embun, Naufal mengangguk mengerti. Mencoba memahami, jika Embun takkan meninggalkan sang ayah sendirian.
"Embun!" Sapa Abra, Embun menoleh ke arah Abra. Nampak Abra berdiri dengan napas tersengal-sengal. Abra berlari sekuat tenaga, mencari Embun di dalam rumah sakit terbesar di kota ini.
"Sedang apa? Siapa yang mengatakannya padamu?" Ujar Embun, lalu berjalan melewati Abra.
"Embun!" Ujar Abra, sembari menahan tangan Embun.
"Lepaskan!" Ujar Embun dingin.
"Kita harus bicara!" Ujar Abra, Embun menatap dingin Abra.
"Embun!" Ujar Abra lirih.
"Siapa dia?" Batin Naufal.
"Maafkan aku, kita bicara lusa. Kondisi abah lebih penting saat ini!" Sahut Embun, Abra terdiam.
"Sayang!" Ujar Abra lirih.
"Embun!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
waduh tokoh baru lagi di kehidupan Embun yaa
2023-06-09
0
manda_
lanjut thor
2022-10-28
0
Riska Wulandari
apa ini seperti sebuah clue lagi bahwa Abra&Embun akan terpisah??
2022-10-28
0