Malam semakin larut, tapi kedua mata Embun seakan tak ingin terpejam. Kejadian yang terjadi hari ini, mengusik ketenangan hatinya. Ada rasa takut akan pertemuannya dengan pemilik pabrik. Ketakutan akan sebuah janji pertemuan yang entah kapan terlaksana? Embun benar-benar gelisah, dia mulai menyadari keberaniannya telah membuatnya jatuh dalam ketakutan yang luar biasa.
Lama Embun berbaring, tapi mata dan hatinya enggan terpejam. Dengan lesu, Embun menoleh ke arah jam dinding. Nampak jam menunjukkan tengah malam. Sontak Embun menghela napas panjang. Tanda Embun lelah dengan tubuh yang tak ingin istirahat. Lalu dengan langkah gontai, Embun turun dari tempat tidurnya.
Sunyi malam terasa mencekam, tak ada suara yang terdengar. Hanya hewan malam yang bersahutan, suara burung hantu menambah kesunyian malam. Suasana sepi yang menjadi ciri khas sebuah pedesaan tanpa kemajuan. Walau listrik sudah masuk desa, tak serta merta membuat suasana desa ramai. Kebanyakan warga memilih istirahat lebih awal. Jadi tidak ada aktivitas warga di atas jam 20.00 malam.
Tap Tap Tap
Langkah kaki Embun menggema dalam sunyi malam. Kamar Embun yang terletak di lantai dua, membuatnya harus turun ke lantai pertama. Jika Embun ingin pergi ke dapur atau mushola yang ada di dalam rumah. Embun terus melangkah menuju mushola, dia memilih bangun dari tidur. Embun ingin menyerahkan gelisah hatinya pada sang pemilik hidup.
"Amiiin!" Ujar Embun lirih, sembari mengusapkan kedua tangan di wajahnya.
Embun memilih melakukan sholat malam. Kegelisahan hatinya benar-benar membuatnya Embun tidak tenang. Sholat malam sedikit membuatnya lupa akan masalah yang sedang mengusiknya. Sebuah janji yang tak pernah Embun bayangkan hasilnya. Bukan tanpa alasan Embun gelisah, namun janji bertemu seorang laki-laki tanpa izin abah. Baru pertama kali dilakukan oleh Embun.
"Apa yang membuatmu gelisah? Sampai kamu terjaga selarut ini!"
"Abah!" Sahut Embun kaget, lalu mencium punggung tangan ayah kandungnya.
"Kamu belum menjawab pertanyaan Abah!" Ujar Abah Iman lirih, Embun menunduk pelan. Dia bingung harus menjawab apa? Ketakutan akan amarah abah, terbayang dalam benaknya. Beban janji yang terlanjur terucap dari bibir mungilnya.
"Embun terlanjur janji pada seseorang!"
"Lalu, apa yang membuatmu gelisah? Janji yang terucap harus ditepati. Abah sudah katakan, jangan mudah mengucapkan janji. Jika kamu belum tentu bisa menepatinya!" Tutur Abah Iman hangat, Embun mengangguk mengerti akan kesalahannya.
Embun berani mengatakan janji, semua demi kesejahteraan warga desa. Namun saat Embun sadar, janji yang dia ucapkan akan mematik amarah Abah. Pertemuan yang tak tentu kapan dan dimana tempatnya. Membuat Embun harus siap kapanpun? Artinya dia harus berangkat, saat mereka menghendakinya.
"Jujurlah Embun, jangan takut pada Abah. Jika memang janjimu salah, Abah hanya akan mengingatkanmu. Abah tidak akan marah, bila kamu melakukan semua itu demi kebaikan. Abah selalu percaya, kamu sudah dewasa. Bisa memilih yang salah dan benar!"
"Tadi ada masalah di pabrik penggilingan singkong. Kebetulan Embun dan Nur lewat. Tanpa berpikir panjang, Embun ikut dalam kerumunun. Lama akhirnya Embun tahu, jika pabrik akan ditutup. Secara otomatis, banyak warga yang mengalami dampak akibat penutupan pabrik. Mungkin kita juga akan mengalami dampak penutupan pabrik!" Tutur Embun menjelaskan awal masalah yang terjadi.
"Lalu!" Sahut Abah Iman memperhatikan penjelasan Embun. Kehangatan seorang ayah yang mencoba mengerti masalah putrinya.
"Embun mencoba memberi pengertian pada pemilik pabrik!"
"Tuan Abimata!" Sahut Abah Iman, Embun langsung menoleh. Dia terkejut mendengar Abahnya mengenal pemilik pabrik. Tak berapa lama, Embun mengangkat pundaknya pelan. Mengisyaratkan dia tak mengenal, siapa pemilik pabrik yang akan ditemuinya?
"Kamu tidak mengenal pemilik pabrik itu!" Ujar Abah Iman, Embun menggelengkan kepalanya pelan.
"Embun belum bertemu pemilik pabrik. Alasan kegelisahan Embun saat ini!"
"Kenapa?"
"Embun berjanji bertemu dengan pewaris pabrik, untuk menjelaskan masalah yang terjadi. Agar pabrik tidak jadi ditutup. Jangankan namanya, wajahnya saja aku belum melihatnya. Embun takut Abah marah, karena berjanji bertemu dengannya. Saat itu Embun hanya memikirkan kesejahteraan warga desa. Embun ingin membantu semampunya!"
"Keluarga tuan Abimata sangat baik, tapi pewaris yang akan kamu temui. Abah tidak pernah mengenalnya. Namun percayalah, jika kita melakukan hal yang baik. Tentu akan mendapat perlindungan dari-NYA. Abah tidak melarang Embun bertemu dengan pemilik. Selama Embun bisa menjaga diri dan mengerti batasan diantara yang bukan mukhrim!"
"Abah mengizinkan!" Ujar Embun tak percaya. Abah Iman mengangguk sembari tersenyum. Dengan lembut Abah Iman mengelus kepala Embun. Kasih sayang seorang ayah yang mulai gelisah melihat putrinya semakin dewasa.
"Kamu harus menemuinya, demi harapan warga desa. Abah akan mendoakanmu, agar keinginanmu tercapai. Kamu memiliki hati yang bening. Abah bangga padamu!" Ujar Abah Iman tegas, lalu berdiri meninggalkan Embun sendirian.
Sepeninggal sang Abah, Embun mengaji ayat suci Al-Quran. Suara merdu Embun, meggema di sepi malam yang pekat. Abah Iman bangga akan putri yang dibesarkannya. Embun bukan hanya cantik wajahnya. D8a memiliki hati yang bersih dan suci. Demi membantu orang lain. Embun tak pernah takut atau peduli pada dirinya sendiri. Rasa kemanusiaan yang suci dan sebening Embun, sesuai nama indahnya.
"Embun, sudah saatnya kamu bertemu dengan keluarga Abimata. Keluarga yang pernah membantu Abah. Sekaligus keluarga yang terikat janji dengan Abah. Maafkan Abah Embun, jika kelak janji itu harus ditepati. Dulu Abah tak memiliki pilihan dan sekarangpun Abah tak berdaya. Namun percayalah Embun, apapun yang terjadi padamu. Merupakan yang terbaik diantara yang baik. Doa dan restu Abah akan selalu bersama langkahmu!" Batin Abah Iman sembari menatap punggung Embun.
"Alhamdulillah!" Ujar Embun lantang, sembari menutup Al-Quran yang tengah dipegangnya.
Embun kembali menuju kamarnya. Dia merasa tenang, setelah mengatakan semua masalahnya pada sang pemilik hidup. Bahkan Embun mendapatkan restu dari sang Abah. Izin yang akan membuat langkahnya lebih ringan. Embun masuk ke dalam kamarnya. Saat Embun hendak membaringkan tubuhnya. Terdengar ponselnya berbunyi, secepat kilat Embun mengambilnya.
"Dia kehilangan akal, jam berapa sekarang? Sampai hati dia memintaku datang. Kalau dia laki-laki, tak masalah baginya keluar. Sedangkan aku seorang perempuan, di samping tak baik bagiku keluar. Aku juga tidak berani keluar di malam yang gelap!" Gerutu Embun, sesaat setelah membaca pesan dari nomer yang tidak dikenalnya.
"Aku tidak akan datang!" Ujar Embun tegas, lalu meletakkan ponselnya.
Drrrtt Drrrtt Drrrtt
"Kenapa dia memaksa?" Ujar Embun kesal, sembari tangannya mengambil ponselnya kembali. Bukan pesan yang sekarang diterima Embun. Melainkan panggilan telpon, seolah Embun harus pergi sekarang juga.
"Assalammualaikum!" Ujar Embun lirih, tepat setelah dia mengangkat ponselnya.
"Kamu datang sekarang atau kuruntuhkan pabrik tua ini sekarang!" Ujar suara yang di seberang sana.
"Tapi ini masih malam!" Sahut Embun, tapi sang penelpon mematikan ponselnya cepat.
Tut Tut Tut Tut Tut
"Dimatikan!" Ujar Embun kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
semoga dengan restu dari abah kamu urusan dengan pemilik pabrik dimudahkan ya Mbun
2023-06-09
0
Itha Fitra
melek dlu mata mu embun,biar tahu jam brp orng itu nelp kmu
2023-02-11
0
candra rahma
wah sdh ada perjodohan kayaknya antara embun dan pewaris pabrik tua
2022-10-31
0